Tuesday, June 18, 2019

( Indri Wachidah ) Metodologi Islam Nusantara

Islam Nusantara
    Islam Nusantara (IN) terdiri dari dua kata, Islam dan Nusantara. Islam berarti “penyerahan, kepatuhan, ketundukan, dan perdamaian”. Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari Sumatera hingga Papua. Maka, Islam Nusantara dapat berarti  ajaran agama yang terdapat dalam Alquran dan Hadits yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad yang diikuti oleh penduduk asli Nusantara (Indonesia), atau orang yang berdomisili di dalamnya.
   Kehadiran wacana Islam Nusantara (IN) tidak terlepas dari pertarungan tiga kelompok. Yakni kelompok pertama, yaitu kelompok yang ingin agar Islam sesuai dengan budaya yang dibawa oleh Nabi dan tidak mengakui budaya lain. Kelompok kedua yaitu agar Islam mempengaruhi semua budaya yang ada. Dan kelompom ketiga yaitu yang menengahi keduanya yakni, ada Islam yang bersifat substantif dan ada pula yang lateral. 
     IN (Islam Nusantara) ingin memosisikan diri pada kelompok ketiga. Ia muncul akibat “kegagalan” kelompok pertama yang menghadirkan wajah Islam tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada budaya lain, bahkan menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Begitu juga kelompok kedua yang dianggap mendistorsi ajaran Islam.

Metodologi Islam Nusantara
      Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fikih disebut dengan ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad untuk menerapkan hukum.

1. Maslahah Mursalah
         Dalil mashlahah mursalah ini juga telah dipakai para ulama untuk menerima Pancasila sebagai asas dalam bernegara. Nahdhatul Ulama telah menetapkan bahwa kedudukan Pancasila sebagai dasar bernegara merupakan keputusan final. Ini karena para kiai NU menyadari bahwa tak ada dalil yang menyuruh sekaligus yang melarang Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.
      Tentang Pancasila, para kiai berkata: Pertama, tak ada satu sila pun dalam Pancasila yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Bahkan, sila-silanya selaras dengan pokok-pokok ajaran Islam. Kedua, dari sudut realitas politik, Pancasila ini bisa menjadi payung politik yang menyatukan seluruh warga negara yang plural dari sudut etnis, suku, dan agama.

2. Istihsan
      Ulama Hanafiyah membagi istihsan ini kedalam enam bagian. Salah satunya adalah istihsan bi al-‘urf, yaitu istihsan yang didasarkan pada tradisi masyarakat. Misalnya, disebut dalam syari’at bahwa menutup aurat bagi perempuan muslimah adalah wajib. Namun, di kalangan para ulama terjadi perselisihan mengenai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada juga ulama yang ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan suaranya adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. 
      Keragaman pandangan ulama mengenai batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada keragaman ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Ada pakaian perempuan muslimah di Nusantara yang membiarkan kaki bahkan separuh betisnya kelihatan. Contohnya pakaian istri tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu. Mereka memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup kepala, dan membiarkan tapak kaki dan bagian paling bawah betisnya tersingkap ke publik. Itulah istihsan bi al-`urf.

3. 'Urf
          Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi “sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al-Qur’an-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber hukum). 
         Alih-alih menghancurkan tradisi, tak jarang para ulama mengakomodasi budaya yang sedang berjalan di masyarakat. Tradisi sesajen yang sudah berlangsung lama dibiarkan berjalan untuk selanjutnya diberi makna baru. Sesajen tak lagi dimaknai pemberian pada dewa melainkan sebagai bentuk kepedulian kepada sesama. 
Para ulama pun tak antipati terhadap simbol-simbol agama lain. Sunan Kudus membangun mesjid dengan menara menyerupai candi atau pura. Memodifikasi konsep “Meru” Hindu-Budha, Sunan Kalijogo membangun ranggon atau atap mesjid dengan tiga susun yang menurut Abdurrahman Wahid untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, islam, dan ihsan.

Premis:
1. Islam Nusantara adalah wacana mengenai Islam dan budaya di Nusantara
2. Metodologi Islam nusantara adalah menerapkan hukum Islam dengan budaya lokal
3. Ada tiga metodologi, yakni Maslahah mursalah, istihsan, dan 'urf

Konklusi: 
    Islam nusantara merupakan suatu wacana dalam menerapkan Islam di Nusantara sesuai dengan budaya yang ada di Nusantara sendiri. Metodologi yang digunakan dalam Islam nusantara adalah maslahah mursalah, istihsan, dan 'urf.              Maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada dalil syara' datang untuk mengakuinya  atau menolaknya. Istihsan adalah kecendurungan seseorang kepada sesuatu karena menganggapnya baik. 'urf adalah adat atau kebiasaan. 

Daftar Pustaka
Taufik Bilfaghi, ISLAM NUSANTARA; 
STRATEGI KEBUDAYAAN NU DI TENGAH 
TANTANGAN GLOBAL
Abdul Muqsith Ghozali, Metodologi Islam Nusantara
Tuti Munfaridah, ISLAM NUSANTARA SEBAGAI MANIFESTASI  NAHDLATUL ULAMA (NU) DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN
Gerakan Kultural Islam Nusantara