Firdha Ayu Nur Safitri/B01217019/A2
Aliran
Syi’ah
Objek Kajian
Material : Ilmu Kalam
Objek Kajian
Formal : Ilmu Kalam dalam Pemikiran Politik Aliran Syi’ah
Sebelum
merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak
sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini. Mengenai
kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan
oleh Iqbal (Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik
Islam, 2001) yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas
mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah
mendominasi dalam percaturan politik Islam, selanjutnya Munawir Sjadzali (Sjadzali,
Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1990) mengatakan
titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas
kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah
adalah Ali, para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi
Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan
antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah,
yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di
Madinah, dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah
lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya
pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya
perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin,
yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh
memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab
politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan
Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Pada
perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang
atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan
mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan
pengganti imam.
Kaum
Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
1.
Harus
ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2.
Seorang
imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3.
Seorang
imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan
syari’at.
4.
Imam
adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar
dari penyelewengan.
Tidak
seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori
imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari
keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah
menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan
sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya
pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh
suyuti (Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1997)
merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak
peristiwa tahkim (arbitrase). Tentunya untuk mengimbangi pernyataan dari kaum
yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat
doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan
pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat
Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
Iqbal
menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni :
Pertama,
imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan
politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan
yang tinggi. Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan
menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat realitas politik
tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka
mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.
Kedua,
sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam
corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan
raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu
kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan
Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.
Ketiga,
pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik
ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan
melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari
sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini
menjadi tiga aliran:
1.
Moderat,
umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar.
2.
Ekstrem,
menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad
sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.
3.
Diantara
kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan
menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak
memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa
lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara
sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalam mazhab Syi’ah
hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’
Asy’ariyah). [12]
Sebelum
membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh
Syi’ah:
1.
Zaidiyah:
Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn
Ali.
2.
Isma’iliyah
atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal
Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3.
Imamiyyah
atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali
Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al
– Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al –
Mahdi.
Premis 1 :
Syi’ah lahir setelah gagalnya
perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin,
yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh
memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab
politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan
Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Premis 2 :
Pada perkembangan selanjutnya,
aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini
disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat
imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.
Premis 3 :
Iqbal
menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni :
Pertama,
imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan
politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan
kesalehan yang tinggi. Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dalam
memerintah dan menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat
realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka
inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.
Kedua,
sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam
corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan
raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu
kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan
Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.
Ketiga,
pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik
ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan
melepaskan mereka dari penderitaan.
Konklusi :
Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali
dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at
– Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan
mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam,
mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir
masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi
puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda
dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam
menentukan pengganti imam.
Iqbal
menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni :
Pertama,
imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan
politik. Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk
paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya
yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci. Ketiga,
pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik
ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan
melepaskan mereka dari penderitaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996).
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik
Islam, (Jakarta: Gaya Media Persada, 2001).
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986).
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997).
Rahmat, Jalaluddin, Dikotomi Sunni-Syi’ah tidak Relevan lagi,
Ummul Qur’an, No.4, 1995.
Razak, Abdur dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puataka
Setia), cetakan kedua.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999), jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve), cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990).
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah,
terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam
Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cetakan kesatu.