Sunday, June 23, 2019

Milawati Ainun Nisa [Terorisme]

Terorisme Sejarah Terorisme Terorisme dalam bahasa Arab disebut al-irhab. Istilah tersebut digunakan al-Quran untuk melawan “musuh Tuhan” (QS.8:60) . Karenanya, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh Tuhan”. Bagi mereka, barat disebut sebagai salah satu simbol musuh Tuhan. Dalam mengidentifikasi musuh, Islam politik menggunakan tiga pandangan mendasar. Pertama, politik sebagai bagian dari Islam. Berpolitik praktis merupakan kewajiban (fardlu) bagi setiap muslim. Ini mengakibatkan setiap muslim harus terlibat dalam politik guna melawan “politik kafir”. Kedua, Islam sebagai komunitas yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap murtad. Ketiga, kecenderungan untuk memaksakan pandangan dengan “tangan besi”, kekerasan, pembunuhan dan perang, yang biasa disebut dengan jihad fi sabililillah. (Sa’id Asymawi: 1996: 297) Di sini, letak problematikanya, tatkala Islam dijadikan sebagai lanskap politik, karena tidak mampu mengakomodasi “pandangan lain” dan “kelompok lain”. Karenanya, pandangan tersebut berdampak negatif, tidak hanya bagi “orang lain”, akan tetapi bagi Islam sendiri yang diamanatkan Tuhan menjadi agama rahmatan li al-‘alamien.[] Objek kajian Objek Material: Ilmu kalam Objek Formal: Terorisme kian mencuat ke permukaan, tatkala gedung pencakar langit, World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon, New York, hancur-lebur diserang sebuah kelompok, yang sampai detik ini masih misterius. Jaringan internasional al-Qaedah sering disebut-disebut sebagai aktor di balik aksi penyerangan tersebut. Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstremitas, dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. Pengeboman bus turis asing di Kairo, penembakan para turis di Luxor, Namun, sejauh yang kita amati sampai detik ini, terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan. Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan sebuah aksi personal. Pengeboman mal-mal dan pusat perbelanjaan juga dapat dikategorikan sebagai terorisme yang dilakukan secara personal. Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Yang sering disebut-sebut sebagai terorisme dalam kategori ini adalah Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah simbol- simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian. Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme (oleh) negara” (state terrorism). Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad dalam hajatan OKI terakhir. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang dilakukan sebuah negara dapat dilihat secara kasat mata. Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama mencari tumbal dan korban. Yang mencolok dalam terorisme adalah “balas dendam”. Karenanya, terorisme identik dengan kenekatan dan keterpanggilan untuk melawan secara serampangan. Pokoke ada korban. Berikutnya yang perlu dicatat adalah Radikalisme dan terorisme adalah sesuatu yang berbeda, namun dalam beberapa segi ada kesamaan. Pertama, terlepas dari beragamnya sebab, motif, dan ideologi di balik aksi-aksi teroris, semua upaya mencapai tujuan dengan cara- cara kekerasan terhadap warga sipil, apalagi aparat keamanan, selalu mengandung unsur radikalisme. Kedua, memang tak ada yang niscaya dalam transisi seseorang dari radikalisme ke terorisme. tidak semua orang yang radikal berakhir sebagai teroris. Contoh seseorang yang kita kenal baik, bahkan studi yang serius, menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang radikal yang pada kenyataannya berakhir menjadi teroris. Ini karena, untuk berhasil, dari potensial menuju aktual, aksi-aksi teroris juga bergantung pada faktor-faktor di luar diri sang teroris sendiri atau jaringannya, misalnya sejauh mana aparat keamanan atau masyarakat waspada atau tidak. Itu sebabnya, selain dengan upaya deradiklisasi dalam literatur tentang terorisme, dikenal istilah “disengagement”35 Premis1: Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstremitas, dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. Premis 2: terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan perorangan. Biasanya, dalam pengeboman bus seperti di Kairo merupakan sebuah aksi personal. Pengeboman mal-mal dan pusat perbelanjaan juga dapat dikategorikan sebagai terorisme yang dilakukan secara personal. Kedua, terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya secara terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Yang sering disebut-sebut sebagai terorisme dalam kategori ini adalah Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah simbol- simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian. Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme (oleh) negara” (state terrorism). Konklusi: Agama Islam bukanlah penyebab munculnya terorisme, namun pemahaman yang kurang lengkaplah menjadikan seseorang melakukan tindakan terorisme dan ini berlaku kepada siapapun dan dimanapun. Diantara munculnya terorisme, adalah semangat keberagamaan, separatis kedaerahan, patriotisme dan memungkinkan adanya stigmatisasi, terutama jika terjadi ketidakdilan satu kelompok terhadap kelompok lain. Oleh sebab itu, untuk pencegahan harus disesuaikan dengan faktor yang mempengaruhi dan kecenderungannya. Utamanya jangan melakukan tindakan yang dapat mengarahkan kepada perilaku mereka melakukan terorisme. Tidak semua semua akar penyebab terorisme dapat 'dihapus' atau tidak akan berakhir sebelum akar permasalahan mereka terjadi ditangani dan keluhan dan hak mendasar disediakan. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan alternatif pilihan bagi orang atau kelompok lain untuk memilih mode aksi yang lain daripada kekerasan teroris. Sangat penting untuk menegakkan prinsip dan pemeliharaan demokrasi, standar moral dan etika bukan dengan cara meningkatnya represi dan paksaan. Sebab hal ini akan cenderung memberi tumbuh suburnya terorisme. Deradikalisasi dan disengagement merupakan alternatif untuk mengendalikan perilaku radikalisme dan terorisme. Daftar Pustaka: Democracy Project, Yayasan Abad Demokrasi. Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com Sumber gambar: http://loganswarning.com Https://journal.unesa.ac.id Endang Turmudzi dkk, 2004, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press