Terorisme
Sejarah Terorisme
Terorisme dalam bahasa Arab disebut
al-irhab. Istilah tersebut digunakan
al-Quran untuk melawan “musuh
Tuhan” (QS.8:60) . Karenanya,
kalau kita mencermati gerakan Islam
Politik, pandangan fundamentalistik
dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh
Tuhan”. Bagi mereka, barat disebut
sebagai salah satu simbol musuh
Tuhan.
Dalam mengidentifikasi musuh,
Islam politik menggunakan tiga
pandangan mendasar. Pertama,
politik sebagai bagian dari Islam.
Berpolitik praktis merupakan
kewajiban (fardlu) bagi setiap
muslim. Ini mengakibatkan setiap
muslim harus terlibat dalam politik
guna melawan “politik kafir”. Kedua,
Islam sebagai komunitas yang paling
benar, sedangkan yang lain dianggap
murtad. Ketiga, kecenderungan
untuk memaksakan pandangan
dengan “tangan besi”, kekerasan,
pembunuhan dan perang, yang biasa
disebut dengan jihad fi sabililillah.
(Sa’id Asymawi: 1996: 297)
Di sini, letak problematikanya,
tatkala Islam dijadikan sebagai
lanskap politik, karena tidak mampu
mengakomodasi “pandangan lain”
dan “kelompok lain”. Karenanya,
pandangan tersebut berdampak negatif, tidak hanya bagi “orang
lain”, akan tetapi bagi Islam sendiri
yang diamanatkan Tuhan menjadi
agama rahmatan li al-‘alamien.[]
Objek kajian
Objek Material: Ilmu kalam
Objek Formal: Terorisme kian mencuat ke
permukaan, tatkala gedung pencakar
langit, World Trade Center (WTC)
dan gedung Pentagon, New York,
hancur-lebur diserang sebuah kelompok, yang sampai detik
ini masih misterius. Jaringan
internasional al-Qaedah sering
disebut-disebut sebagai aktor di balik
aksi penyerangan tersebut. Terorisme sebagai sebuah paham
memang berbeda dengan kebanyakan
paham yang tumbuh dan berkembang
di dunia, baik dulu maupun yang
mutakhir. Terorisme selalu identik
dengan teror, kekerasan, ekstremitas,
dan intimidasi. Para pelakunya biasa
disebut sebagai teroris. Karena
itu, terorisme sebagai paham yang
identik dengan teror seringkali
menimbulkan konsekuensi negatif
bagi kemanusiaan. Terorisme kerap
menjatuhkan korban kemanusiaan
dalam jumlah yang tak terhitung.
Pengeboman bus turis asing di Kairo,
penembakan para turis di Luxor, Namun, sejauh yang kita amati
sampai detik ini, terorisme
diartikulasikan dalam tiga bentuk.
Pertama, terorisme yang bersifat
personal. Aksi-aksi terorisme
dilakukan perorangan. Biasanya,
dalam pengeboman bus seperti
di Kairo merupakan sebuah aksi
personal. Pengeboman mal-mal
dan pusat perbelanjaan juga dapat
dikategorikan sebagai terorisme yang
dilakukan secara personal.
Kedua, terorisme yang bersifat
kolektif. Para teroris melakukannya
secara terencana. Biasanya, terorisme
semacam ini dilembagakan dalam
sebuah jaringan yang rapi. Yang
sering disebut-sebut sebagai
terorisme dalam kategori ini adalah
Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme
dalam kategori ini adalah simbol-
simbol kekuasaan dan pusat-pusat
perekonomian.
Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong
baru, yang biasa disebut dengan
“terorisme (oleh) negara” (state
terrorism). Penggagasnya adalah
Perdana Menteri Malaysia, Mahathir
Muhammad dalam hajatan OKI
terakhir. Menurutnya, terorisme
yang dikerahkan negara, tidak kalah
dahsyatnya dari terorisme personal
maupun kolektif. Kalau kedua
bentuk terdahulu dilaksanakan secara
sembunyi-sembunyi, terorisme yang
dilakukan sebuah negara dapat dilihat
secara kasat mata.
Ketiga-tiganya mempunyai titik temu,
yaitu sama-sama mencari tumbal
dan korban. Yang mencolok dalam
terorisme adalah “balas dendam”.
Karenanya, terorisme identik dengan
kenekatan dan keterpanggilan untuk
melawan secara serampangan. Pokoke
ada korban. Berikutnya yang perlu dicatat adalah Radikalisme dan
terorisme adalah sesuatu yang berbeda, namun dalam beberapa segi ada
kesamaan. Pertama, terlepas dari beragamnya sebab, motif, dan ideologi
di balik aksi-aksi teroris, semua upaya mencapai tujuan dengan cara-
cara kekerasan terhadap warga sipil, apalagi aparat keamanan, selalu
mengandung unsur radikalisme. Kedua, memang tak ada yang niscaya
dalam transisi seseorang dari radikalisme ke terorisme. tidak semua
orang yang radikal berakhir sebagai teroris. Contoh seseorang yang kita
kenal baik, bahkan studi yang serius, menunjukkan bahwa hanya sedikit
orang yang radikal yang pada kenyataannya berakhir menjadi teroris.
Ini karena, untuk berhasil, dari potensial menuju aktual, aksi-aksi teroris
juga bergantung pada faktor-faktor di luar diri sang teroris sendiri atau
jaringannya, misalnya sejauh mana aparat keamanan atau masyarakat
waspada atau tidak. Itu sebabnya, selain dengan upaya deradiklisasi
dalam literatur tentang terorisme, dikenal istilah “disengagement”35
Premis1: Terorisme selalu identik
dengan teror, kekerasan, ekstremitas,
dan intimidasi. Para pelakunya biasa
disebut sebagai teroris. Karena
itu, terorisme sebagai paham yang
identik dengan teror seringkali
menimbulkan konsekuensi negatif
bagi kemanusiaan. Terorisme kerap
menjatuhkan korban kemanusiaan
dalam jumlah yang tak terhitung.
Premis 2: terorisme
diartikulasikan dalam tiga bentuk.
Pertama, terorisme yang bersifat
personal. Aksi-aksi terorisme
dilakukan perorangan. Biasanya,
dalam pengeboman bus seperti
di Kairo merupakan sebuah aksi
personal. Pengeboman mal-mal
dan pusat perbelanjaan juga dapat
dikategorikan sebagai terorisme yang
dilakukan secara personal.
Kedua, terorisme yang bersifat
kolektif. Para teroris melakukannya
secara terencana. Biasanya, terorisme
semacam ini dilembagakan dalam
sebuah jaringan yang rapi. Yang
sering disebut-sebut sebagai
terorisme dalam kategori ini adalah
Jaringan al-Qaeda. Sasaran terorisme
dalam kategori ini adalah simbol-
simbol kekuasaan dan pusat-pusat
perekonomian.
Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong
baru, yang biasa disebut dengan
“terorisme (oleh) negara” (state
terrorism).
Konklusi: Agama Islam bukanlah penyebab munculnya terorisme, namun pemahaman yang kurang lengkaplah menjadikan
seseorang melakukan tindakan terorisme dan ini berlaku
kepada siapapun dan dimanapun. Diantara munculnya terorisme, adalah semangat keberagamaan, separatis kedaerahan,
patriotisme dan memungkinkan adanya stigmatisasi, terutama jika
terjadi ketidakdilan satu kelompok terhadap kelompok lain. Oleh sebab
itu, untuk pencegahan harus disesuaikan dengan faktor yang
mempengaruhi dan kecenderungannya. Utamanya jangan melakukan
tindakan yang dapat mengarahkan kepada perilaku mereka melakukan
terorisme. Tidak semua semua akar penyebab terorisme dapat 'dihapus'
atau tidak akan berakhir sebelum akar permasalahan mereka terjadi
ditangani dan keluhan dan hak mendasar disediakan. Upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan alternatif
pilihan bagi orang atau kelompok lain untuk memilih mode aksi yang
lain daripada kekerasan teroris. Sangat penting untuk menegakkan
prinsip dan pemeliharaan demokrasi, standar moral dan etika bukan
dengan cara meningkatnya represi dan paksaan. Sebab hal ini akan
cenderung memberi tumbuh suburnya terorisme. Deradikalisasi dan
disengagement merupakan alternatif untuk mengendalikan perilaku
radikalisme dan terorisme.
Daftar Pustaka:
Democracy Project,
Yayasan Abad Demokrasi.
Untuk berlangganan, kunjungi
www.abad-demokrasi.com
Sumber gambar: http://loganswarning.com
Https://journal.unesa.ac.id
Endang Turmudzi dkk, 2004, Islam dan Radikalisme di Indonesia
(Jakarta: LIPI Press