Nama : Hariri Ulfa’i Rrosyidah / A2
Nim : B91217119
Radikalisme Islam di Indonesia
Objek
Kajian :
1. Kajian Material : Ilmu Kalam
2. Kajian Formal : Definisi, faktor
munculnya gerakan, dan berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia
Radikalisme Di
Kalangan Kaum Muslimin
Radikalisme dalam
makna yang positif adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih baik.
Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan).
Adapun radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan makna ekstrimitas,
kekerasan dan revolusi. Dalam istilah agama disebut ghuluw (melampaui batas)
atau ifrath (keterlaluan). Kedua kutub makna yang amat bertolak belakang ini
berakibat munculnya dua kutub gerakan keagamaan yang konfrontatif di Dunia
Islam. Di sinilah letak kerancuan generalisasi Radikalisme Islam dalam makna
serba negatif sehingga semangat Islamo Phobia memperoleh tempat penyalurannya.
Karena tidak dapat membedakan antara Radikalisme Islam dalam makna positif
dengan Radikalisme dalam makna negatif. Kedua semangat Radikal tersebut
disamakan, karena keduanya menghendaki perubahan total sosial-politik bangsa
dan negaranya. Walaupun perbedaan keduanya sangatlah konfrontatif dan tidak
mungkin dipertemukan dari sisi mana pun.[1]
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme
menyamakannya dengan teroris. Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan
membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian
dari kebijakan radikal tersebut5. Defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radikalisme itu
mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan
dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.[2] Gerakan radikalisme
sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar
belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme.
Diantara faktor-faktor
itu adalah :
Pertama, faktor-faktor
sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala
sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah
oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar
permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas
manusia
yang ada di masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra 11 bahwa memburuknya posisi
negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama
munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik
yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya
dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih
berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang
fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global
sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Dengan
membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba
menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan
“mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat
disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada
interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi
banyak Islam dan Wacana [Syamsul Bakri] penyimpangan dan
ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan
radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
Kedua, faktor
emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme
adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas
keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini
lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan
agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu
mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan
mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah
agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya
nisbi dan subjektif.
Ketiga, faktor
kultural. Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi
munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana
diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha
untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang
dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah
sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber
sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang
harus dihilangkan dari
bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari
berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat
sekarang inimerupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Barat telah dengan
sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan Muslim
sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan
sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya
bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan
moralitas Islam.
Keempat, faktor
ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang
membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga
simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun
motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan
keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru
menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam
budaya dan peradaban.
Kelima, faktor
kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk
bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan
sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari
negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim
belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak
kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang
dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu
memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan
yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki
kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian ekstrim yaitu
perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas
Muslim.[3]
Radikalisme Islam di Indonesia
Dalam catatan sejarah, radikalisme Islam
semakin menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak
Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). sebuah
gerakan politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya.
Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian
gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya,
gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer
atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin
yang merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh
melakukan berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan
Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa
kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok
radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah
lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya
gerakan ini lebih visible.
Setelah DI, muncul Komando Jihad (Komji) pada
1976 kemudian meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim
Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan
Revolusioner Islam, 1978. Tidak lama kemudian, setelah pasca
reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari
dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa
wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dll. Semangat yang dimunculkan pun juga
tidak luput dari persoalan politik. Persoalan politik memang sering kali
menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal.[4]
Beberapa kelompok pemikir dan gerakan islam di
Indonesia yang sempat di tandai sebagai kelompok radikal seperti:jamaah salafi,
Negara islam Indonesia (NII), hizbut tahrir Indonesia (HTI), dll. Memang dapat
dikatakan bahwa kelompok-kelompok ini merupakan organisasi fundamentalis dalam
sebuah radikal karena semuanya tidak mengakui adanya sendi-sendi Negara sekuler
yang berdasar kan hukum buatan manusia,akan tetapi semuanya dapat dibedakan. Adapun
majelis mujahidin Indonesia (MMI) adalah sebuah kelompok organisasi yang suudah
berbentuk gerakan yang bertujuan untuk menegakkan syri’at islam, MMI cukup
mendapat perhatian publik karena tokoh sentralnya yaitu abu baker ba’asyir
danggap mempunyai hubungan dengan jamaah islamiah yang di anggap sebagai
organisasi teroris oleh PBB.[5]
Premis
:
1.
Radikalisme dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yakni dari makna positif dan negatif.
2.
Kedua makna ini
memiliki
ghirah yang sama, yakni menghendaki perubahan total sosial-politik, bangsa dan
negaranya
3.
Radikalisme
mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan
dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru
4. Terdapat faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme
5.
Radikalisme
Islam semakin menggeliat di Indonesia pada pasca kemerdekaan hingga pasca
reformasi
Konklusi
:
Radikalisme
dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni dari makna yang positif dan negatif.
Radikalisme
dalam makna yang positif adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih
baik. Sedangkan radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan makna
ekstrimitas, kekerasan dan revolusi. Makna ynag
terkandung dalam dua pengertian ini memiliki ghirah yang
sama, yakni menghendaki perubahan total sosial-politik, bangsa dan negaranya.
Dalam suatu gerakan radikalisme, mengandung
sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah
tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan yang baru. Munculnya gerakan
radikalisme didukung oleh beberapa faktor, antara lain
sosial-politik, emosi
keagamaan, kultural, ideologis anti westernisme, dan kebijakan pemerintah.
Berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia dimulai pada pasca kemerdekaan
hingga pasca reformasi.
[1] http://makalahkuliahstai.blogspot.com/2016/03/islam-radikal.html
diakses tanggal 10 Juni 2019 pada pukul 00.13
[2] http://pakdhekeong.blogspot.com/2013/04/makalah-radikalisme-islam.html
diakses tanggal 10 Juni 2019 pada pukul 05.31
[3] http://pakdhekeong.blogspot.com/2013/04/makalah-radikalisme-islam.html
diakses tanggal 10 Juni 2019 pada pukul 05.33
[4] https://yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-di-indonesia/
diakses tanggal 9 Juni 2019 pada pukul 23.57
[5] http://pengertiandanartikel.blogspot.com/2017/04/makalah-islam-dan-radikalisme.html diakses tanggal 9 Juni 2019 pada pukul 20.10