Monday, June 10, 2019

[Hariri Ulfa'i Rrosyidah] Radikalisme Islam di Indonesia


Nama   : Hariri Ulfa’i Rrosyidah / A2
Nim     : B91217119
Radikalisme Islam di Indonesia
Objek Kajian :
1.      Kajian Material : Ilmu Kalam
2.   Kajian Formal : Definisi, faktor munculnya gerakan, dan berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia


Radikalisme Di Kalangan Kaum Muslimin
Radikalisme dalam makna yang positif adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih baik. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Adapun radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan makna ekstrimitas, kekerasan dan revolusi. Dalam istilah agama disebut ghuluw (melampaui batas) atau ifrath (keterlaluan). Kedua kutub makna yang amat bertolak belakang ini berakibat munculnya dua kutub gerakan keagamaan yang konfrontatif di Dunia Islam. Di sinilah letak kerancuan generalisasi Radikalisme Islam dalam makna serba negatif sehingga semangat Islamo Phobia memperoleh tempat penyalurannya. Karena tidak dapat membedakan antara Radikalisme Islam dalam makna positif dengan Radikalisme dalam makna negatif. Kedua semangat Radikal tersebut disamakan, karena keduanya menghendaki perubahan total sosial-politik bangsa dan negaranya. Walaupun perbedaan keduanya sangatlah konfrontatif dan tidak mungkin dipertemukan dari sisi mana pun.[1]
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan teroris. Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut5. Defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.[2] Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme.
Diantara faktor-faktor itu adalah :
Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia
yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra 11 bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
            Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana [Syamsul Bakri]  penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
            Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan  sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
            Ketiga, faktor kultural. Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang
harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang inimerupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
            Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Kelimafaktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat. Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian ekstrim yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.[3]


Radikalisme Islam di Indonesia
Dalam catatan sejarah, radikalisme Islam semakin menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih visible.
Setelah DI, muncul Komando Jihad (Komji) pada 1976 kemudian meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam, 1978. Tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia, seperti Poso, Ambon dll. Semangat yang dimunculkan pun juga tidak luput dari persoalan politik. Persoalan politik memang sering kali menimbulkan gejala-gejala tindakan yang radikal.[4]
Beberapa kelompok pemikir dan gerakan islam di Indonesia yang sempat di tandai sebagai kelompok radikal seperti:jamaah salafi, Negara islam Indonesia (NII), hizbut tahrir Indonesia (HTI), dll. Memang dapat dikatakan bahwa kelompok-kelompok ini merupakan organisasi fundamentalis dalam sebuah radikal karena semuanya tidak mengakui adanya sendi-sendi Negara sekuler yang berdasar kan hukum buatan manusia,akan tetapi semuanya dapat dibedakan. Adapun majelis mujahidin Indonesia (MMI) adalah sebuah kelompok organisasi yang suudah berbentuk gerakan yang bertujuan untuk menegakkan syri’at islam, MMI cukup mendapat perhatian publik karena tokoh sentralnya yaitu abu baker ba’asyir danggap mempunyai hubungan dengan jamaah islamiah yang di anggap sebagai organisasi teroris oleh PBB.[5]

Premis :
1.      Radikalisme dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni dari makna positif dan negatif.
2.      Kedua makna ini memiliki ghirah yang sama, yakni menghendaki perubahan total sosial-politik, bangsa dan negaranya
3.      Radikalisme mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru
4.      Terdapat faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme
5.      Radikalisme Islam semakin menggeliat di Indonesia pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi

Konklusi :
            Radikalisme dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni dari makna yang positif dan negatif. Radikalisme dalam makna yang positif adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih baik. Sedangkan radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan makna ekstrimitas, kekerasan dan revolusi. Makna ynag terkandung dalam dua pengertian ini memiliki ghirah yang sama, yakni menghendaki perubahan total sosial-politik, bangsa dan negaranya. Dalam suatu gerakan radikalisme, mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan gagasan yang baru. Munculnya gerakan radikalisme didukung oleh beberapa faktor, antara lain
sosial-politik, emosi keagamaan, kultural, ideologis anti westernisme, dan kebijakan pemerintah. Berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia dimulai pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi.