Firdha Ayu Nur Safitri/B01217019/A2
Aliran
Mu’tazilah
Objek Kajian
Material : Ilmu Kalam
Objek Kajian
Formal : Ilmu Kalam dalam Pemikiran Politik Aliran Mu’tazilah
Kelompok
ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa
sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan
Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai
pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman
kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan –
perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II
H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa,dalam referensi lain
disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri
menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah
mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok
Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan
tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran
mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka
Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash
tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.
Abd
al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam
lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana
pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk
menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal
negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan
pemilihan umat Islam sendiri.
Premis 1 :
Kelompok ini
Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat
yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali.
Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya
khalifah yang keempat
Premis 2 :
Kelompok
Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan
tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran
mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka
Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash
tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama
dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa
sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku
Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun
boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara
ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.
Konklusi :
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap
politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada
masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam
mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Kelompok
Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan
tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran
mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka
Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash
tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama
dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa
sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku
Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun
boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara
ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996).
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik
Islam, (Jakarta: Gaya Media Persada, 2001).
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986).
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997).
Rahmat, Jalaluddin, Dikotomi Sunni-Syi’ah tidak Relevan lagi,
Ummul Qur’an, No.4, 1995.
Razak, Abdur dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
Puataka Setia), cetakan kedua.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999), jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve), cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990).
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah,
terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam
Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cetakan kesatu.