Friday, June 21, 2019

[Firdha Ayu Nur S] Metode dan Prinsip Pemurnian Penafsiran Al-Qur’an ibnu Taimiyah

Firdha Ayu Nur Safitri/B01217019/A2

Ibnu Taimiyah

Objek Kajian Material : Ilmu Kalam
Objek Kajian Formal   : Ilmu Kalam dalam  Metode dan Prinsip Pemurnian Penafsiran Al-Qur’an menurut ajaran Ibnu Taimiyah

A.    Metode dan Prinsip Penafsiran
Metode penulisan tafsir Ibn Taimiyah adalah tahlili karena ia menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya, sesuai urutan bacaan yang terdapat didalam al-Qur’an Mushaf ‘Utsmani. Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasinya menggunakanmetode al-tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir dengan metode ini menggunakan prinsip penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lain, penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat Rasul, penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat sahabat, dan penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in. Beberapa contoh dikemukanan sebagai berikut; Pertama, Ibnu Taimiyah ketika menafsirkan Q.S. al-Mu’minun [23]: 17, Q.S. al-A’raf [7]: 6-7, dan Q.S. al-Baqarah [2]: 3 dijadikan satu rumpun karena ayat yang satu dengan yang lain saling menjelaskan.
 Ia membuat topik kajian pada 3 ayat tersebut di atas dengan “makna ghaib dan sahadah”. Makna ghaib lebih lanjut, menurut ulama salaf diartikan Allah. Iman dengan yang ghaib berarti iman kepada Allah. Ulama mutakalimin seperti Abu Ya’la (al-Qadhi), Ibn ‘Aqil dan Abu Zaghuni berpendapat bahwa ghaib adalah lawan dari syahid. Mereka menganggap al-Ghaib adalah Allah. Mengiyaskan ghaib dengan syahid dapat terjadi, tetapi harus memenuhi norma, alasan, dalil, dan syarat, sebagaimana terjadi sifat-sifat al-‘Ilmu, al-Khibrah, al-Iradah, dan lain-lain bagi Allah. Akan tetapi, Abu Muhammad tidak setuju dengan pendapat ini karena Allah tidak dapat disebut al-Ghaib.
Alasan yang dikemukakan Ibn Taimiyah dari dua pendapat yang berbeda ini adalah karena pemahaman yang keliru. Al-Ghaib di sini mempunyai makna noninderawi. Tidak seperti kita, jika salah seorang di antara kita tidak ada, maka tidak dapat dilihat. Bagi Allah tidak demikian, Allah Maha Menyaksikan semua hamba, Maha Meneliti dan Mengawasi. Bidang ini menyangkut keimanan yang harus dipercaya oleh mu’min. Lafal alGhâib adalah isim fa’il dari ghâba – yaghîbu, sedangkan al-ghaib adalah mashdar. Mashdar seperti ini banyak dipergunakan seperti lazimnya isim fa’il atau isim maf’ul. Ibnu Taimiyah lebih lanjut mengkomparasikan antara makna al-Ghaib dengan al-Syahadah. Lafal al-Syahadah adalah mashdar yang mempunyai makna al-Masyhûd atau al-Syâhid, sedangkan al-Ghaib adalah al-maghîb ‘anhu, yaitu sesuatu yang tidak dapat dilihat, lawan dari alsyahadah.
Ia kemudian menambah argumen bahwa pernyataan al-Qur’an tentang al-Ghaib adalah sahih, lalu mencantumkan Q.S. Saba [34]: 3 sebagai penguat. Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat di atas, memprioritaskan makna ayat al-Qur’an dengan ayat lain sebagai ciri khas ma’tsur, kemudian menyajikan beberapa pendapat mutakalimin, dan meluruskan pendapat yang lemah, serta memperkuat pendapat yang lebih sahih, untuk menjaga pemurnian pemahaman tersebut. Kedua; masalah keimanan umat Islam, Yahudi dan Nasrani. Ia mengangkat topik kajian; mawaqif al-umam min al-rusul. Ayat ini menjelaskan kedudukan Nabi Isa AS bagi umat manusia. Orang yang mengikuti ajaran Isa AS, dianggap kafir, kedudukannya di atas orangorang kafir lain. Orang yang mengikuti ajaran Isa, sebelum syari’atnya diganti, kedudukannya di atas Yahudi.
Orang-orang Nasrani kedudukannya di atas orang Yahudi. Orang Islam yang mengakui kerasulan Isa, tidak termasuk kafir. Pada saat Allah mengubah syariatnya, kedudukan Muhammad SAW dan umatnya di atas kaum Nasrani. Ibnu Taimiyah berargumen dengan Hadis dari riwayat Abi Hurairah RA, “Kami golongan para Nabi, agama kami adalah satu, sesungguhnya orang yang lebih utama dengan Isa putra Maryam adalah saya karena tidak ada Nabi di antara saya dan dia”. Ibnu Taimiyah mempertegas makna ayat di atas dengan mengkorelasikan (munasabah) Q.S. al-Syura [42]: 13, Q.S. al-Mu’minun [23] 51-53, Q.S. al-Mu’min(Ghafir) [40]: 51, dan Q.S. al-Shaffat [37]: 171-173. Ia menyatakan bahwa umat Yahudi mendustakan Isa dan Muhammad SAW sebagai rasul. Kemudian mempertegas dengan pernyataan Q.S. al-Baqarah [2]: 90. Allah marah dua kali kepada ahli kitab, pertama kepada umat yang mendustakan Isa AS. Kedua, marah kepada umat yang mendustakan Muhammad SAW.
Umat Nasrani tidak mendustakan al-Masih, mereka mendapat pertolongan atas Yahudi, sedangkan kaum Muslimin dimenangkan atas Yahudi dan Nasrani. Mereka iman kepada seluruh kitab-kitab Allah dan Rasulrasul-Nya. Tidak mendustakan terhadap isi kitab-kitab serta tidak mendustakan kepada segenap rasul-Nya. Pernyataan ini dikuatkan dengan Q.S. al-Baqarah [2]: 136 dan 285 yang menjelaskan bahwa kaum muslimin secara menyeluruh berikrar bahwa, “Kami iman kepada Allah dan iman kepada apa yang diturunkan dan diberikan kepada Nabi-nabi terdahulu serta tidak akan membeda-bedakan mereka karena kami tunduk dan patuh kepada-Nya”. Demikian pula ikrar Rasul (Muhammad SAW) yang diikuti oleh kaum mukminin bahwa mereka iman kepada al-Qur’an dan iman pula kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, dan para Rasul, dengan tidak membeda-bedakan mereka. Ibnu Taimiyah menandaskan bahwa kaum Muslimin (sekarang) adalah parapengikut semua rasul secara keseluruhan, termasuk Isa AS. Allah telah berjanji dalam sebuah Hadis sahih alBukhari.
Ibnu Taimiyah dalam kupasan bidang kedua ini masih menggunakan dialek yang melekat pada dirinya, yaitu menggunakan pemaknaan ayat al-Qur’an dengan ayat lain, dikupas secara detil dari aspek bahasa maupun kupasan secara rasional. Ia kemudian menambah argumnetasi Hadis sebagai penguat.
Ketiga, Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan Q.S. al-Nisa [4] : 34 tentang istri nusuz dibandingkan dengan makna nusuz yang yang terdapat pada Q.S. al-Mumtahanah [60]: 11. Secara bahasa nusuz diartikan bangkit, berdiri, naik atau kasar. Al-nuzs min al-ardhi dimaknai bangkit dari tempat tinggi yang keras. Ia menghubungkan lagi dengan Q.S. al-Baqarah [2]: 259 dengan kata; kaifa nunsizuha, diartikan sebagian mengangkat sebagian yang lain. Ibnu Taimiyah berpendapat wanita nusuz adalah wanita yang lari atau tidak taat kepada suaminya, seperti enggan diajak hubungan seks atau pergi ke luar rumah tanpa seizin suaminya. Wanita seperti ini dihukumi maksiat karena bersikap kasar dan membangkang kepada suami. Tidak dikomentari, bagaimana seharusnya menangani problem ini, meskipun pada akhir ayat, dijelaskan cara mengatasi kasus tersebut.

B.     Pemurnian Pemahaman al-Qur’an
Ibnu Taimiyah dalam mengupas aliran-aliran dan faham yang dianggapnya membahayakan Islam dikupas panjang lebar. Dalam jilid pertama hampir semua isinya mengupas hal-hal demikian. Hal-hal yang dianggap menghawatirkan umat Islam dalam memahami ayat al-Qur’an dapat digologkan sebagai berikut.
1. Persoalan eksternal; persoalan dari luar yang dianggap membahayakan dan mempengaruhi pemikiran umat Islam adalah masalah politik yang mewarnai negeri tempat Ibnu Taimiyah hidup. Sisa-sisa perang Salib, gempuran serta pendudukan bangsa Tartar di Syam, di sanalah umat Islam dipengaruhi oleh berbagai budaya – tradisi, kebiasaan, dan gaya hidup dari luar. Barat mampu membuat hukum perang-- damai serta undangundang perdagangan dan mu’amalah yang sekaligus berpengaruh pada pola hidup mereka. Jenghis Khan menetapkan hukum secara paksa yang wajib ditaati oleh setiap warga. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah menganggap umat Islam wajib kembali kepada ajaran al-Qur’an dengan benar. Hal yang menjadi catatan penting bagi Ibnu Taimiyah adalah Tartar ternyata dapat ditaklukkan oleh kekuatan Islam dari Mesir, dipimpin oleh Mudhaffar Saifuddin dalam perang ‘Ain Jalut. Ibnu Taimiyah memahami, kemenangan Mesir adalah karena memegang teguh ajaran al-Qur’an dan ulama-ulama dilibatkan dalam pembangunan negara.
2. Persoalan internal; persoalan dari dalam yang mempengaruhi pemahaman al-Qur’an menurut Ibnu Taimiyah adalah aliran-aliran dalam Islam, seperti Jahamiyah-Jabariyah dan Khawarij. Menurut Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah), aliran-aliran ini memaknai al-Qur’an sekehendak hati mereka, yang tercakup dalam isyarat Q.S. Ali Imran [3]: 7.
Lebih lanjut, Ibnu Katsir menamai golongan itu dengan Khawarij, Jahamiyah atau Jabariyah Rasul memberi isyarat dalam sebuah Hadis, “Barangsiapa menemukan orang-orang yang condong kepada kesesatan, mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah maka bunuhlah”. Ibnu Katsir secara tegas menuduh golongan tersebut. Jabariyah atau Jahamiyah berkeyakinan bahwa Allah memperbuat segala pekerjaan manusia. Dia tidak punya sifat, mereka berlebih-lebihan mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an tentang al-Kalam, al-Sama’ al-Bashar, dll. Golongan Khawarij beranggapan bahwa orang melakukan dosa besar dihukum kafir. Mereka kebanyakan orang Baduy yang jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis diartikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan. Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr ibn al-‘Ash, dan Abu Musa al-As’ary dianggap kafir karena menyetujui tahkim. Semua aliran di atas menurut Ibnu Taimiyah membahayakan umat Islam dan merusak pemaknaan al-Qur’an.

Premis 1 :
            Ibnu Taimiyah dianggap salah satu tokoh pertama yang merumuskan kerangka dasar atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dalam bukunya Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Karya tafsirnya merupakan tafsir klasik yang berusaha mempertajam prinsip-prinsip penafsiran dengan sejumlah prosedur yang dipergunakan dalam rangka melakukan humanisasi ayat al-Qur’an dengan model; menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat Sahabat, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in, serta mengikuti mufasir sebelumnya. Ibnu Taimiyah menggunakan metode tahlili dan pendeketatan riwayat (tafsir bi al-ma’tsur/ tafsir bi al-naql). Corak penafsirannya bersifat kombinatif karena tidak ada unsur yang dominan. Prosedur ma’tsur dikuatkan dengan karakter pokok Ibnu Taimiyah yang menghindari penafsiran akal semata, mengkritik penafsiran dengan akal seperti Zamahsyari. Hal itu dengan cara menggunakan jalur transmisi riwayat yang berlapis, menggunakan penjelasan qira’at, menggembalikan ukuran kebahasaan pada syair Arab klasik, serta kritis terhadap narasi Israiliyat maupun tafsir kalangan mutakallimin.
Premis 2 :
            Upaya pemurnian pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan konsistensi terhadap penggunaan prinsipprinsip serta prosedur-prosedur yang dipegangnya dengan teguh dalam penafsiran bi al-matsur, seperti tersebut di atas. Penta’wilan ayat atau pengalihan makna ayat dari makna lahiriah dilakukannya sepanjang masih dalam cakupan makna tersebut, sebatas tidak bertentangan dengan semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunah. Ibnu Taimiyah mengkritik (tidak setuju) dengan penta’wilan al-Qur’an yang dilakukan oleh berbagai kalangan yang tidak sejalan dengan cara ulama Salaf.

Konklusi :
Ibnu Taimiyah dianggap salah satu tokoh pertama yang merumuskan kerangka dasar atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dalam bukunya Muqaddimat fi Ushul al-Tafsir. Karya tafsirnya merupakan tafsir klasik yang berusaha mempertajam prinsip-prinsip penafsiran dengan sejumlah prosedur yang dipergunakan dalam rangka melakukan humanisasi ayat al-Qur’an dengan model; menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat Sahabat, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in, serta mengikuti mufasir sebelumnya. Ibnu Taimiyah menggunakan metode tahlili dan pendeketatan riwayat (tafsir bi al-ma’tsur/ tafsir bi al-naql). Corak penafsirannya bersifat kombinatif karena tidak ada unsur yang dominan. Prosedur ma’tsur dikuatkan dengan karakter pokok Ibnu Taimiyah yang menghindari penafsiran akal semata, mengkritik penafsiran dengan akal seperti Zamahsyari. Hal itu dengan cara menggunakan jalur transmisi riwayat yang berlapis, menggunakan penjelasan qira’at, menggembalikan ukuran kebahasaan pada syair Arab klasik, serta kritis terhadap narasi Israiliyat maupun tafsir kalangan mutakallimin.
Upaya pemurnian pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan konsistensi terhadap penggunaan prinsipprinsip serta prosedur-prosedur yang dipegangnya dengan teguh dalam penafsiran bi al-matsur, seperti tersebut di atas. Penta’wilan ayat atau pengalihan makna ayat dari makna lahiriah dilakukannya sepanjang masih dalam cakupan makna tersebut, sebatas tidak bertentangan dengan semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunah. Ibnu Taimiyah mengkritik (tidak setuju) dengan penta’wilan al-Qur’an yang dilakukan oleh berbagai kalangan yang tidak sejalan dengan cara ulama Salaf.


DAFTAR PUSTAKA
Ibn Taimiyah. 1971. Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim.
Khan, Qamaruddin. 1983. Pemikiran Politik Ibn Taimiyah. Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.
Madjid, Nurcholish (Ed.). 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Paraja, Juhaya S. 1990. “Epistemologi Ibn Taimiyah”, dalam Jurnal ‘Ulumul Qur’an, No. 7. Th. II, 1990.
Rahman, Fazlur. 1979. Islam. Chicago: The University of Chicago Press.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. . 1994. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.
Syafruddin, Didin.1994. “The Principles of Ibn Taimiyya’s Quranic Interpretation”, dalam Thesis, Institut of Islamic Studies, Mc Gill University.

Wach, Joachim. 1956. The Comparative Study of Religions (New York: Columbia University Press.