Tuesday, April 9, 2019

[Lettycia Nia Wiviana] Syiah

Teologi Syiah
A.    Objek Kajian
Kajian formal     : Teologi Syiah
Kajian material   : ilmu kalam

Syiah secara etimologi berarti pengikut, pecinta, pembela, yang ditujukan kepada ide, individu, atau kelompok tertentu. Syiah dalam arti kata lain dapat disandingkan juga dengan kata tasyaiyu’ yang berarti patuh / menaati secara agama dan mengangkat kepada orang yang ditaati itu dengan penuh keikhlasan tanpa keraguan.[1]
   Adapun Syiah secara terminologi memiliki banyak pengertian. Belum ada pengertian yang mampu mewakili seluruh pengertian Syiah. Kesulitan ini terjadi karena banyaknya sekte-sekte dalam paham keagamaan Syiah. Dalam Ensiklopedi Islam, Syiah yaitu kelompok aliran atau paham yang mengidolakan Ali bin Abi Thalib. Dan keturunannya, yakni imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW.[2]
   Kalangan sejarawan dan peneliti umumnya mengklarifikasi kemunculan Syiah dalam dua periode yaitu semasa hidup Nabi Muhammad SAW dan pasca pembunuhan Husain bin Ali.
Pertama, pandangan bahwa Syiah terbentuk pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kalangan yang mendukung pandangan ini antara lain:
1.     Ibnu Khaldun, yang berkata, “Syiah muncul ketika Rasulullah SAW. wafat. Saat itu Ahlul Bait memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam Kekhalifahan hanyalah hak mereka, bukan untuk orang Quraisy lain. Saat itu pula sekelompok sahabat  Nabi SAW. mendukung Ali bin Abi Thalib dan memandangnya lebih berhak ketimbang yang lain untuk menjadi pemimpin. Namun, ketika kepemimpinan itu beralih kepada selain Ali, mereka pun mengeluhkan kejadian itu.[3]
2.     Dr. Ahmad Amin, yang berkata, “Benih pertama Syiah adalah sekelompok orag yang berpendapat bahwa selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW, Ahlul Bait  beliaulah yang lebih utama menjadi khalifah dan penerus beliau ketimbang yang lain.[4]
Kedua,pandangan bahwa Syiah terbentuk semasa kepemimpinan Ustman bin Affan. Pandangan ini diusung sekelompok dan peneliti, salah satunya adalah Ibnu Hazm.[5]
Ketiga, pandangan bahwa Syiah terbentuk semasa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Beberapa pengusung pandangan ini adalah Naubakhti dalam bukunya yang berjudul Firoq Al-Syî’ah,[6] dan Ibnu Nadim dalam buku Al-Fihrist. Dalam bukunya ia mengklaim bahwa peristiwa di Bashrah dan sebelumnya berpengaruh langsung dalam proses pembentukan mazhab Syiah.”[7]
Keempat, pandangan bahwa Syiah terbentuk pasca tragedi Thaff (Karbala). Kalangan pengusung pandangan ini berbeda pendapat soal kronologi pembentukannya. Menurut sebagian mereka, Syiah diindikasikan eksis sebelum tragedi Thaff tidak memenuhi syarat–syarat terbentuknya mazhab yang khas dalam segi karakter dan ciri–cirinya. Jadi, mazhab itu baru terbentuk pasca terjadinya tragedi Thaff. Adapun sebagian lain berpendapat bahwa keberadaan mazhab Syiah pra tragedi Thaff tak lebih dari sejenis gejala dan kecenderungan spiritual. Adapun pasca tragedi Thaff, mazhab Syiah mulai menemukan karakter politiknya dan akar–akarnya tertanam jauh di lubuk jiwa para pengikutnya, sekaligus menciptakan berbagai dimensi dalam batang tubuhnya.[8]
Kalau ditelusuri lebih jauh, persebaran Syiah di Indonesia yang sudah berlangsung permulaan Islam datang ke nusantara, telah banyak memberikan warna keagamaan di Indonesia. Banyak sekali ritus Islam Indonesia yang terindentifikasi terpengaruh dari ajaran Syiah. Ritual dan tradisi Syiah mempunyai pengaruh yang mendalam di kalangan komunitas Islam Indonesia, bukan saja di kalangan Syiah sendiri, tetapi juga di kalangan Sunni. Salah satunya ialah praktek perayaan 10 Muharram yang biasa dirayakan oleh pengikut Syiah untuk memperingati terbunuhnya Husain ibn Ali, cucu Nabi Muhammad. Husein terbunuh dalam Perang Kabala pada 10 Muharram 61 H.[9]






Premis 1 :
Kemunculan Syiah dalam dua periode yaitu semasa hidup Nabi Muhammad SAW dan pasca pembunuhan Husain bin Ali.

Premis 2 :
Syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin.

Konklusi :
            Syiah muncul semasa Nabi Muhammad SAW dan setelah tragedi pembunuhan Husain bin Ali. Mereka berpikir bahwasannya Ali bin Abu Thalib ialah seseorang yang lebih berhak untuk memimpin dan menjadi khalifah kaum muslimin daripada sahabat-sahabat yang lain.


Daftar Pustaka

Abbas, Sirojuddin. I’itiqad Ahlussunnad Wal-Jama’ah.
Al-Syaiby Kamil Mushtafa, (1886) Al-Shilah Bayn Al-Tashawwuf Wa Al-Tasyayyu’, Kuwait, Maktabah Ibnu Taimiyyah.
Amin Ahmad, (1969) Fajr Al-Islam, Bairut, Dar-Kitab Al-‘Arabi.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, (1997) Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve.
Farghal Hasyim, (2013) ‘Awamil Wa Ahdaf Nasy’ah Ilm Al-Kalam, (Dar Al-Faq Al-‘Arabiyyah,
Khaldun Ibnu, (1988) Tarikh Ibn Khaldun, Dar-Fikr, Bairut.
Nadim Ibn, (1990) Al-Fihrist Li Ibn Al-Nadim, Mesir, Mathba’ah Ar-Rahmaniyah,
Naubakhti (t.t)  Firoq Al-Syî’ah, Bairut, Mansyuraat Al-Ridha
Shihab Quraish M, (2007) Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, Tangerang, Lentera Hati.
Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5. Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24 Februari 2019 
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia
Yusuf Yunan M, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Kencana, Jakarta, 2014), Hlm.164  Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5. Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses:24 Februari 2019 



[1] M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran. (Tangerang: Lentera Hati, 2007), h.11.
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet. Ke-4, h.5.
[3] Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun (Dar-Fikr, Bairut, 1988), Jld 3, h.364.
[4] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, (Dar-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, 1969) h.266.
[5] Hasyim Farghal, ‘Awamil Wa Ahdaf Nasy’ah Ilm Al-Kalam, (Dar Al-Faq Al-‘Arabiyyah, 2013), h.105.
[6] Naubakhti, Firoq Al-Syî’ah, (Mansyuraat Al-Ridha, Bairut, T.T), h. 36. 
[7] Ibn Nadim, Al-Fihrist Li Ibn Al-Nadim, (Mathba’ah Ar-Rahmaniyah, Mesir, 1990), h.175.
[8] Kamil Mushtafa Al-Syaiby, Al-Shilah Bayn Al-Tashawwuf Wa Al-Tasyayyu’, (Maktabah Ibnu Taimiyyah, Kuwait,1886), h.23
[9] Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5. Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24 Februari 2019