Teologi Syiah
A. Objek Kajian
Kajian formal : Teologi Syiah
Kajian material : ilmu kalam
Syiah secara etimologi berarti pengikut,
pecinta, pembela, yang ditujukan kepada ide, individu, atau kelompok tertentu.
Syiah dalam arti kata lain dapat disandingkan juga dengan kata tasyaiyu’ yang
berarti patuh / menaati secara agama dan mengangkat kepada orang yang ditaati
itu dengan penuh keikhlasan tanpa keraguan.[1]
Adapun Syiah secara
terminologi memiliki banyak pengertian. Belum ada pengertian yang mampu
mewakili seluruh pengertian Syiah. Kesulitan ini terjadi karena banyaknya
sekte-sekte dalam paham keagamaan Syiah. Dalam Ensiklopedi Islam, Syiah yaitu
kelompok aliran atau paham yang mengidolakan Ali bin Abi Thalib. Dan
keturunannya, yakni imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad SAW.[2]
Kalangan sejarawan dan
peneliti umumnya mengklarifikasi kemunculan Syiah dalam dua periode yaitu
semasa hidup Nabi Muhammad SAW dan pasca pembunuhan Husain bin Ali.
Pertama, pandangan bahwa Syiah terbentuk pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Kalangan yang mendukung pandangan ini antara lain:
1.
Ibnu
Khaldun, yang berkata, “Syiah muncul ketika Rasulullah SAW. wafat. Saat itu
Ahlul Bait memandang dirinya lebih berhak memimpin umat Islam Kekhalifahan
hanyalah hak mereka, bukan untuk orang Quraisy lain. Saat itu pula sekelompok
sahabat Nabi SAW. mendukung Ali bin Abi
Thalib dan memandangnya lebih berhak ketimbang yang lain untuk menjadi
pemimpin. Namun, ketika kepemimpinan itu beralih kepada selain Ali, mereka pun
mengeluhkan kejadian itu.[3]
2.
Dr.
Ahmad Amin, yang berkata, “Benih pertama Syiah adalah sekelompok orag yang
berpendapat bahwa selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW, Ahlul Bait beliaulah yang lebih utama menjadi khalifah
dan penerus beliau ketimbang yang lain.[4]
Kedua,pandangan bahwa Syiah
terbentuk semasa kepemimpinan Ustman bin Affan. Pandangan ini diusung
sekelompok dan peneliti, salah satunya adalah Ibnu Hazm.[5]
Ketiga, pandangan bahwa Syiah
terbentuk semasa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Beberapa pengusung pandangan
ini adalah Naubakhti dalam bukunya yang berjudul Firoq Al-Syî’ah,[6] dan Ibnu Nadim dalam
buku Al-Fihrist. Dalam bukunya ia mengklaim bahwa peristiwa di Bashrah dan
sebelumnya berpengaruh langsung dalam proses pembentukan mazhab Syiah.”[7]
Keempat, pandangan bahwa Syiah terbentuk
pasca tragedi Thaff (Karbala). Kalangan pengusung pandangan ini berbeda
pendapat soal kronologi pembentukannya. Menurut sebagian mereka, Syiah
diindikasikan eksis sebelum tragedi Thaff tidak memenuhi syarat–syarat
terbentuknya mazhab yang khas dalam segi karakter dan ciri–cirinya. Jadi,
mazhab itu baru terbentuk pasca terjadinya tragedi Thaff. Adapun sebagian lain
berpendapat bahwa keberadaan mazhab Syiah pra tragedi Thaff tak lebih dari
sejenis gejala dan kecenderungan spiritual. Adapun pasca tragedi Thaff, mazhab
Syiah mulai menemukan karakter politiknya dan akar–akarnya tertanam jauh di
lubuk jiwa para pengikutnya, sekaligus menciptakan berbagai dimensi dalam
batang tubuhnya.[8]
Kalau
ditelusuri lebih jauh, persebaran Syiah di Indonesia yang sudah berlangsung
permulaan Islam datang ke nusantara, telah banyak memberikan warna keagamaan di
Indonesia. Banyak sekali ritus Islam Indonesia yang terindentifikasi
terpengaruh dari ajaran Syiah. Ritual dan tradisi Syiah mempunyai pengaruh yang
mendalam di kalangan komunitas Islam Indonesia, bukan saja di kalangan Syiah
sendiri, tetapi juga di kalangan Sunni. Salah satunya ialah praktek perayaan 10
Muharram yang biasa dirayakan oleh pengikut Syiah untuk memperingati
terbunuhnya Husain ibn Ali, cucu Nabi Muhammad. Husein terbunuh dalam Perang
Kabala pada 10 Muharram 61 H.[9]
Premis 1 :
Kemunculan
Syiah dalam dua periode yaitu semasa hidup Nabi Muhammad SAW dan pasca
pembunuhan Husain bin Ali.
Premis 2 :
Syiah bermakna mereka
yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan
lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin.
Konklusi :
Syiah
muncul semasa Nabi Muhammad SAW dan setelah tragedi pembunuhan Husain bin Ali.
Mereka berpikir bahwasannya Ali bin Abu Thalib ialah seseorang yang lebih
berhak untuk memimpin dan menjadi khalifah kaum muslimin daripada sahabat-sahabat
yang lain.
Daftar Pustaka
Abbas,
Sirojuddin. I’itiqad Ahlussunnad Wal-Jama’ah.
Al-Syaiby Kamil
Mushtafa, (1886) Al-Shilah Bayn Al-Tashawwuf Wa Al-Tasyayyu’, Kuwait, Maktabah
Ibnu Taimiyyah.
Amin Ahmad, (1969)
Fajr Al-Islam, Bairut, Dar-Kitab Al-‘Arabi.
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, (1997) Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta, Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Farghal Hasyim,
(2013) ‘Awamil Wa Ahdaf Nasy’ah Ilm Al-Kalam, (Dar Al-Faq Al-‘Arabiyyah,
Khaldun Ibnu,
(1988) Tarikh Ibn Khaldun, Dar-Fikr, Bairut.
Nadim Ibn,
(1990) Al-Fihrist Li Ibn Al-Nadim, Mesir, Mathba’ah Ar-Rahmaniyah,
Naubakhti (t.t)
Firoq Al-Syî’ah, Bairut, Mansyuraat
Al-Ridha
Shihab Quraish
M, (2007) Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep
Ajaran Dan Pemikiran, Tangerang, Lentera Hati.
Tempo. Co. Cerita
Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5.
Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24 Februari
2019
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal
Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia
Yusuf Yunan M, Alam
Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Kencana, Jakarta, 2014), Hlm.164 Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal
Syiah Indonesia Bagian I-5. Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062.
Diakses:24 Februari 2019
[1] M. Quraish
Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep
Ajaran Dan Pemikiran. (Tangerang: Lentera Hati, 2007), h.11.
[2] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), Cet. Ke-4, h.5.
[3] Ibnu Khaldun, Tarikh
Ibn Khaldun (Dar-Fikr, Bairut, 1988), Jld 3, h.364.
[4] Ahmad Amin, Fajr
Al-Islam, (Dar-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, 1969) h.266.
[5] Hasyim
Farghal, ‘Awamil Wa Ahdaf Nasy’ah Ilm Al-Kalam, (Dar Al-Faq
Al-‘Arabiyyah, 2013), h.105.
[6] Naubakhti, Firoq
Al-Syî’ah, (Mansyuraat Al-Ridha, Bairut, T.T), h. 36.
[7] Ibn Nadim, Al-Fihrist
Li Ibn Al-Nadim, (Mathba’ah Ar-Rahmaniyah, Mesir, 1990), h.175.
[8] Kamil Mushtafa
Al-Syaiby, Al-Shilah Bayn Al-Tashawwuf Wa Al-Tasyayyu’, (Maktabah Ibnu
Taimiyyah, Kuwait,1886), h.23
[9] Tempo. Co. Cerita
Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5.
Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24 Februari
2019