Tuesday, April 9, 2019

(Indri Wachidah) Syiah dan Politik


Nama : Indri Wachidah W. T.
NIM/Kelas : B91217122/ A2
Syiah dan Politik
Kajian Material: Ilmu Kalam
Kajian Formal: Syiah dan Politik

                      Setelah mengalami perkembangan, Syi’ah kemudian menjadi madzhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin menggumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Oleh sebab itu, para propagandis Syi’ah mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturuan Ali, yang sekaligus merupakan keturunan Rasulullah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan perlakukan zalim serta banyak mengalami banyak penyiksaan pada masa Bani Umayah, cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang bahwa Ahlul Bait ini sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan demikian, semakin meluas pula madzhab Syi’ah dan pendukungnya pun semakin banyak. Maka, pada umumnya nama Syi’ah dipergunakan bagi setiap dan semua orang yang menjadikan Ali berikut keluarganya sebagai pemimpin secara terus menerus, sehingga Syi’ah itu akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja.[1]
                      Dalam politik, Syiah membangun konsep sendiri yang mengatur sistem agar senantiasa sesuai dengan kepentingan Syiah. Mereka memperkenalkan konsep wilayat al faqih yang mencoba menggabungkan konsep demokrasi dengan fondasi keagamaan sesuai dengan yang mereka paham. Implementasinya di Iran dikenal dengan bentuk negara Republik Islam Iran pasca revolusi 1979. Bahkan setelah itu, ideologi Iran semakin gencar diekspor ke berbagai negara lain, termasuk Indonesia.[2]
                      Wilayatul faqih ini merupakan kelanjutan dari doktrin imamah dalam teori politik Syi’ah khususnya Syi’ah Imamiyah. Struktur ini bukan merupakan gagasan yang baru dalam pemikiran kalangan Syi’ah. Imam Khomeini yang kemudian mengembangkan dan mempraktikkan Wilayatul faqih ini ke dalam sistem pemerintahan Iran Modern. Dalam mengaplikasikan gagasannya, Imam Khomeini berhasil menggabungkan struktur pemerintahan agama dengan pranata-pranata demokrasi. Akan tetapi Imam Khomeini memiliki definisi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi murni dan demokrasi liberal. Menurutnya kebebasan demokrasi harus dibatasi dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam.[3]
Pengaruh fatwa, yang pada awalnya hanya dikuasai oleh para Imam, sekarang sudah berkembang dengan sangat pesat. Munculnya konsep ijtihad dalam tradisi Syi’ah menjadi salah satu dasar perkembangan konsep fatwa ini. Peran para ulama juga menjadikan konsep ijtihad tidak stagnan. Para ulama Iran, yang pada awalnya hanya membatasi ijtihad dalam masalah-masalah keagamaan, masuk dalam problem-problem sosial dan politik, hingga akhirnya masuk dan menyatu dalam sistem politik sebagai satu otoritas tertinggi. Otoritas ini muncul bukannya tanpa tekanan. Pertikaian dialektis yang terjadi antarulama yang berbeda pendapat, juga antar ulama dan kekuasaan, merupakan bukti bahwa konsep fatwa mampu bertahan dan akhirnya menyatu dalam masyarakat menjadi sebuah identitas yang sulit dilepaskan dari sistem politik Iran.[4]
Sepajang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik. Pada masa pasca Ali itulah Syi’ah sebagai sebuah madzhab terbentuk. Awal sejarah Syi’ah dimulai dengan apa yang dapat dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Terpinggirkan dari ranah politik yang membuatnya apolitis, sehingga paham Syi’ah ini, yang digambarkan oleh Sayyid al-Murtadha (w. 436/1043), menganut paham politik dengan watak “isolasionis”. [5]
Ada beberapa macam kelompok aliran Syiah, akan tetapi tidak semua kelompok Syiah dapat berkembang hingga saat ini. Diantara kelompok Syiah yang berkembang hingga saat ini adalah Syiah Imamiyah Itsna Asyriyah. Kelompok Syiah Imamiyah merupakan kelompok Syiah yang terbesar dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dewasa ini, perkembangan Syiah di Indonesia telah mencapai ke pelosok-pelosok desa.[6]
 Hubungannya dengan negara Syi'ah modern; pertama, bahwa dalam konsep imamah, menurut kaum Syi’ah duabelas, Imam adalah hak Ali dan keturunannya. Tetapi karena Imam keduabelas berada dalam kegaiban, maka imamah diteruskan oleh para raja yang adil dan ulama mujtahid Syi’ah. Kedua, sesuai perkembangan zaman yang selalu berubah, maka pemikiran doktrin sistem imamah melalui perwakilanpun segera diinterprestasi. Kemenangan kaum ushuli atas akbari telah memberi peluang bagi legalisasi sistim perwakilan Imam selama Imam Dinanti masih dalam kegaiban. Ketiga, melihat kenyataan penguasa yang semakin jauh dari ajaran-ajaran dasar Syi’ah Duabelas, Imam Khumaini tampil untuk memperjelas teori wilayah al-faqih sebagai telah diletakkan oleh pendahulunya, dan diperjuangkannya untuk diterapkan di negara Iran. Teori Wilayah al-Faqih berhasil masuk dalam konstitusi Republik Islam Iran, dan menjadikan Iran sebagai negara modern. Kemodernan yang dimaksud adalah, terpadunya ajaran doktrinal Syi’ah dengan teori-teori politik modern. [7]
Hadis Gadir Khum adalah hadis pegangan utama kalangan Syiah yang mempunyai pendirian bahwa sebelum wafat Nabi Saw. telah mengkader dan menunjuk penggantinya, yakni Ali bin Abi Talib, untuk meneruskan risalah kenabiannya.[8]
Pendapat Syi’ah tertolak oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mewariskan kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat. Ayatullah Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi’ah, menurutnya: “Sejak awal mula sejarahnya, aliran Syi’ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi’ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi’ah selalu menentang pemerintahan yang menekan”. [9]
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa modernisasi poliitik memang tidak sepenuhnya berjalan di Iran namun dernikian modernasi politik sudah dimulai sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh sejarah berdirinya Republik Islam Iran dimana Mazhab Syiah sebagai ideologi revolusioner memberikan nilai-nilai tersendiri bagi perjuangannya. Berkenaan dengan modernisasi politik Iran, nampaknya Proses modernisasi yang terjadi di Iran menyerupai model modernisasi tipe kolektifitas suci (cosumatorry collective) yang berlangsung dalam sistem mobilisasi (mobilized system) dimana rakyat menjadi agen modernisasi.[10]

Premis 1: Syi’ah adalah madzhab politik pertama yang lahir dalam Islam
Premis 2: Syi’ah menganut konsep imamah. Bahwa dalam konsep imamah, menurut kaum Syi’ah duabelas, Imam adalah hak Ali dan keturunannya.

Konklusi: Syi’ah adalah madzhab politik pertama dalam Islam. Syi’ah menganut konsep imamah. Yang menyatakan bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah Ali dan keturunannya. Mereka meyakini bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW. Wafat, beliau telah mewariskan kepemimpinannya kepada Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam hadits gadir khum.






[1] Ahmad Atabik, 2016, Jurnal Studi Islam dan Keagamaan Vol 3 No 2, Melacak Historitas Syiah (Asal-Usul dan Perkembangannya) diakses dari https://www.google.com/search?q=penelitian+melacak+historitas+syiah+ahmad+atabik&oq=penelitian+melacak+historitas+syiah+ahmad+atabik&aqs=chrome..69i57.19925j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8#
[2] Gonda Yumitro, 2017, Jurnal Penelitian Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di Indonesia, Dauliyah Vol 2 No 2 diakses dari https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:ZRtvDccMw3UJ:https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/dauliyah/article/download/1361/995+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id 
[3] Zul Karnen, 2015, Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora Vol 3 No 1, Budaya struktur Pemerintahan Islam Iran, diakses dari https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/view/194
[4] Sofi Mubarok, 2016, Jurnal ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 2, Fatwa dalam Sejarah Politik Iran, diakses dari http://lppm.unida.gontor.ac.id/penelitian/13?sort=judul
[5] Sofi Mubarok, 2016, Jurnal ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 2, Fatwa dalam Sejarah Politik Iran, diakses dari http://lppm.unida.gontor.ac.id/penelitian/13?sort=judul
[6] Sofi Mubarok, 2016, Jurnal ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 2, Fatwa dalam Sejarah Politik Iran, diakses dari http://lppm.unida.gontor.ac.id/penelitian/13?sort=judul
[7] Tamyiez Dery, Jurnal, Wilayah al-Faqih Perkembangan Politik Syiah Iran Modern,
[8] Izzudin Wasil dan Ahmad Khairul Fatah, 2018, AL-DZIKRA Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, HADIS GADIR KHUM DALAM PANDANGAN SYIAH DAN SUNNAH,
[9] Sultriana, 2017, PALITA: Journal of Social-Religion Research, Vol 2 No 2, DINAMIKA KONFLIK SUNNI-SYIAH DI INDONESIA PRESPEKTIF KUASA MICHEL FOUCAULT
[10] Agus Masrukhin, Tesis, Syiah dan perubahan politik: studi kasus modernisasi politik di Iran 1963-1997, diakses dari http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-99730.pdf