Nama : Indri Wachidah W. T.
NIM/Kelas : B91217122/ A2
Syiah dan
Politik
Kajian Material:
Ilmu Kalam
Kajian Formal:
Syiah dan Politik
Setelah
mengalami perkembangan, Syi’ah kemudian menjadi madzhab politik yang pertama
lahir dalam Islam. Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka
semakin menggumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Oleh sebab itu,
para propagandis Syi’ah mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturuan
Ali, yang sekaligus merupakan keturunan Rasulullah mendapatkan perlakuan yang
tidak adil dan perlakukan zalim serta banyak mengalami banyak penyiksaan pada
masa Bani Umayah, cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka
memandang bahwa Ahlul Bait ini sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan
demikian, semakin meluas pula madzhab Syi’ah dan pendukungnya pun semakin
banyak. Maka, pada umumnya nama Syi’ah dipergunakan bagi setiap dan semua orang
yang menjadikan Ali berikut keluarganya sebagai pemimpin secara terus menerus,
sehingga Syi’ah itu akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja.[1]
Dalam politik, Syiah membangun konsep
sendiri yang mengatur sistem agar senantiasa sesuai dengan kepentingan Syiah.
Mereka memperkenalkan konsep wilayat al faqih yang mencoba menggabungkan
konsep demokrasi dengan fondasi keagamaan sesuai dengan yang mereka paham.
Implementasinya di Iran dikenal dengan bentuk negara Republik Islam Iran pasca
revolusi 1979. Bahkan setelah itu, ideologi Iran semakin gencar diekspor ke
berbagai negara lain, termasuk Indonesia.[2]
Wilayatul
faqih ini merupakan kelanjutan dari doktrin imamah dalam teori politik Syi’ah
khususnya Syi’ah Imamiyah. Struktur ini bukan merupakan gagasan yang baru dalam
pemikiran kalangan Syi’ah. Imam Khomeini yang kemudian mengembangkan dan
mempraktikkan Wilayatul faqih ini ke dalam sistem pemerintahan Iran Modern. Dalam
mengaplikasikan gagasannya, Imam Khomeini berhasil menggabungkan struktur
pemerintahan agama dengan pranata-pranata demokrasi. Akan tetapi Imam Khomeini
memiliki definisi demokrasi yang berbeda dengan demokrasi murni dan demokrasi
liberal. Menurutnya kebebasan demokrasi harus dibatasi dan kebebasan yang
diberikan itu harus dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam.[3]
Pengaruh fatwa, yang pada awalnya
hanya dikuasai oleh para Imam, sekarang sudah berkembang dengan sangat pesat.
Munculnya konsep ijtihad dalam tradisi Syi’ah menjadi salah satu dasar
perkembangan konsep fatwa ini. Peran para ulama juga menjadikan konsep ijtihad
tidak stagnan. Para ulama Iran, yang pada awalnya hanya membatasi ijtihad
dalam masalah-masalah keagamaan, masuk dalam problem-problem sosial dan
politik, hingga akhirnya masuk dan menyatu dalam sistem politik sebagai satu
otoritas tertinggi. Otoritas ini muncul bukannya tanpa tekanan. Pertikaian
dialektis yang terjadi antarulama yang berbeda pendapat, juga antar ulama dan
kekuasaan, merupakan bukti bahwa konsep fatwa mampu bertahan dan akhirnya
menyatu dalam masyarakat menjadi sebuah identitas yang sulit dilepaskan dari
sistem politik Iran.[4]
Sepajang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah
sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk
diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik. Pada masa
pasca Ali itulah Syi’ah sebagai sebuah madzhab terbentuk. Awal sejarah Syi’ah
dimulai dengan apa yang dapat dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Terpinggirkan
dari ranah politik yang membuatnya apolitis, sehingga paham Syi’ah ini, yang
digambarkan oleh Sayyid al-Murtadha (w. 436/1043), menganut paham politik
dengan watak “isolasionis”. [5]
Ada
beberapa macam kelompok aliran Syiah, akan tetapi tidak semua kelompok Syiah
dapat berkembang hingga saat ini. Diantara kelompok Syiah yang berkembang
hingga saat ini adalah Syiah Imamiyah Itsna Asyriyah. Kelompok Syiah
Imamiyah merupakan kelompok Syiah yang terbesar dan tersebar ke berbagai
penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dewasa ini, perkembangan Syiah di Indonesia
telah mencapai ke pelosok-pelosok desa.[6]
Hubungannya dengan negara Syi'ah
modern; pertama, bahwa dalam konsep imamah, menurut kaum Syi’ah duabelas, Imam adalah hak Ali
dan keturunannya. Tetapi karena Imam keduabelas berada dalam kegaiban, maka imamah
diteruskan oleh para raja yang adil dan ulama mujtahid Syi’ah. Kedua, sesuai
perkembangan zaman yang selalu berubah, maka pemikiran doktrin sistem imamah
melalui perwakilanpun segera diinterprestasi. Kemenangan kaum ushuli
atas akbari telah memberi peluang bagi legalisasi sistim perwakilan Imam
selama Imam Dinanti masih dalam kegaiban. Ketiga, melihat kenyataan
penguasa yang semakin jauh dari ajaran-ajaran dasar Syi’ah Duabelas, Imam Khumaini tampil untuk memperjelas teori wilayah
al-faqih sebagai telah diletakkan oleh pendahulunya, dan diperjuangkannya
untuk diterapkan di negara Iran. Teori Wilayah al-Faqih berhasil masuk
dalam konstitusi Republik Islam Iran, dan menjadikan Iran sebagai negara
modern. Kemodernan yang dimaksud adalah, terpadunya ajaran doktrinal Syi’ah dengan teori-teori politik
modern. [7]
Hadis Gadir Khum adalah hadis
pegangan utama kalangan Syiah yang mempunyai pendirian bahwa sebelum wafat Nabi
Saw. telah mengkader dan menunjuk penggantinya, yakni Ali bin Abi Talib, untuk meneruskan
risalah kenabiannya.[8]
Pendapat Syi’ah tertolak oleh kalangan
Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mewariskan kepemimpinan dan
juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah
kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat. Ayatullah Imam Khomeini,
pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan
aliran Syi’ah, menurutnya: “Sejak awal mula sejarahnya, aliran Syi’ah, yang
merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu,
jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun
mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi’ahisme menganjurkan perlawanan
terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang
tidak sah. Sejak dulu orang Syi’ah selalu menentang pemerintahan yang menekan”.
[9]
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
modernisasi poliitik memang tidak sepenuhnya berjalan di Iran namun dernikian
modernasi politik sudah dimulai sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979, dalam
kenyataannya sangat dipengaruhi oleh sejarah berdirinya Republik Islam Iran
dimana Mazhab Syiah sebagai ideologi revolusioner memberikan nilai-nilai
tersendiri bagi perjuangannya. Berkenaan dengan modernisasi politik Iran,
nampaknya Proses modernisasi yang terjadi di Iran menyerupai model modernisasi
tipe kolektifitas suci (cosumatorry collective) yang berlangsung dalam sistem
mobilisasi (mobilized system) dimana rakyat menjadi agen modernisasi.[10]
Premis 1: Syi’ah
adalah madzhab politik pertama yang lahir dalam Islam
Premis 2: Syi’ah
menganut konsep imamah. Bahwa dalam konsep imamah, menurut kaum Syi’ah duabelas, Imam adalah hak Ali
dan keturunannya.
Konklusi: Syi’ah adalah
madzhab politik pertama dalam Islam. Syi’ah menganut konsep imamah. Yang menyatakan
bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah Ali dan keturunannya. Mereka meyakini
bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW. Wafat, beliau telah mewariskan kepemimpinannya
kepada Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam hadits gadir khum.
[1] Ahmad Atabik, 2016, Jurnal Studi
Islam dan Keagamaan Vol 3 No 2, Melacak Historitas Syiah (Asal-Usul dan
Perkembangannya) diakses dari https://www.google.com/search?q=penelitian+melacak+historitas+syiah+ahmad+atabik&oq=penelitian+melacak+historitas+syiah+ahmad+atabik&aqs=chrome..69i57.19925j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8#
[2] Gonda Yumitro,
2017, Jurnal Penelitian Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syiah Iran di
Indonesia, Dauliyah Vol 2 No 2 diakses dari https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:ZRtvDccMw3UJ:https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/dauliyah/article/download/1361/995+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id
[3] Zul Karnen, 2015, Jurnal Al-Azhar Indonesia
Seri Humaniora Vol 3 No 1, Budaya struktur Pemerintahan Islam Iran,
diakses dari https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/view/194
[4] Sofi Mubarok, 2016, Jurnal ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 2, Fatwa dalam
Sejarah Politik Iran, diakses dari http://lppm.unida.gontor.ac.id/penelitian/13?sort=judul
[5] Sofi Mubarok, 2016, Jurnal ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 2, Fatwa dalam
Sejarah Politik Iran, diakses dari http://lppm.unida.gontor.ac.id/penelitian/13?sort=judul
[6] Sofi Mubarok, 2016, Jurnal ThaqafiyyaT Vol. 16, No. 2, Fatwa dalam
Sejarah Politik Iran, diakses dari http://lppm.unida.gontor.ac.id/penelitian/13?sort=judul
[8] Izzudin Wasil dan Ahmad Khairul Fatah, 2018,
AL-DZIKRA Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, HADIS GADIR
KHUM DALAM PANDANGAN SYIAH DAN SUNNAH,
[9] Sultriana, 2017, PALITA: Journal
of Social-Religion Research, Vol 2 No 2, DINAMIKA KONFLIK SUNNI-SYIAH DI
INDONESIA PRESPEKTIF KUASA MICHEL FOUCAULT
[10] Agus Masrukhin, Tesis, Syiah dan perubahan
politik: studi kasus modernisasi politik di Iran 1963-1997, diakses dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-99730.pdf