Nama : Hijratu Rahmatin
Nadzifa / A2
NIM : B01217021
PENGARUH
MU’TAZILAH TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Objek kajian :
Kajian Material : Ilmu Kalam
Kajian Formal : Pengaruh Mu’tazilah terhadap Perkembangan
Islam di Indonesia
Secara
garis besar, pemikiran umat Islam dapat dibagi kepada empat kelompok, yakni:
Pertama, bidang ketuhanan, yang meliputi pembahasan mengenai Allah dan
sifat-sifat-Nya dan hubungan alam semesta dengan-Nya. Kedua, bidang akhlak
(etika), yang meliputi pembahasan mengenai manusia dan perilakunya; hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia
dengan alam semesta. Ketiga, bidang fisika; meliputi pembahasan tantang alam
pertumbuhan dan perkembangannya. Keempat, bidang eksakta, yang meliputi
pembahasan mengenai keilmuan seperti; matematika, geometri, astronomi dan lain
sebagainya. Mu’tazilah adalah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah
pemikiran dunia Islam, khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak
menyumbangkan jasanya dalam perkembangan dan kemajuan keintelektualan Islam
dalam jangka panjang. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat bahwa secara
umum kaum Mu’tazilah adalah merupakan sosok muslim luar dalam.Artinya bahwa
mereka telah bekerja dengan sekuat tenagaberupya membenahi intern umat Islam
dalam memerangi kebodohan dan kemajuan berpikir dan sebagai penolong dalam
kemurnian tauhid. Terhadap pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang
derasnya perkembangan filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodoks.
Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh
beberapa kalangan intelektual muslim belakangan. Ahmad Amin misalnya memandang
bahwa mereka telah memiliki andil yang relatif besar dalam upaya melawan
musuhmusuh Islam, baik dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi maupun kaum
Materialis. Dan, memang hanya mereka yang memikul beban demikian berat
tersebut. Dalam pernyataan yang lebih ekstrem lagi bahwa malapetaka terbesar
umat Islam adalah lenyapnya kaum Mu’tazilah dari kancah pemikiran Islam. Jika
tidak ditakdirkan oleh Allah bahwa kaum Mu’tazilah bangkit untuk membela Islam
dari kebatilan dan kebohongan, maka ‘Ilmu Kalam yang merupakan kekayaan besar
Islam niscaya tidak akan pernah muncul. Dan, kita tidak akan sanggup sebagaimana
mereka telah mampu melawan serangan-serangan dari luar. Mereka disibukkan dalam
upaya membenahi ajaran agama, sementara yang lain disibukkan oleh urusan dunia.
Fenomena Mu’tazilah memang sudah merupakan hal yang tidak dapat dihindari
seiring perkembangan pluralisme dalam dunia Islam yang melahirkan berbagai
interpretasi yang berbeda terhadap kandungan dasar ajaran Islam.Tampaknya ini
sudah merupakan fenomena alamiah yang mestiterjadi, dan disinyalir timbulnya
perbedaan merupakan rahmat dan karunia tersendiri bagi agama ini, agar terjadi
kompetisi dalam upaya meraih kebaikan.
Dalam
tindakannya untuk pemikiran sistematik Islam mereka bertindak terlalu jauh di
luar batas-batas yang dapat diakui secara sah oleh Islam tradisional.Mereka
secara terus-menerus menunjukkan diri mereka sebagai pelopor rasionalisme
Hellenistik yang kaku dan tak mengenal kompromi. Sehingga tidak mengherankan
kalau sikap tersebut mendapat banyak reaksi dan tantangan dari kalangan
internal umat Islam sendiri.Di antaranya adalah dari kalangan pengikut mazhab
Hanbali.Mereka menganggap pengikut Mu’tazilah sebagai aliran pembawa bid’ah
yang wajib untuk diperangi. Kaum Ahlu al-Ḥadīṡ dan pengikut Asy’arī mengklaim
Wasil bin Aṭā’ telah kafir dan memiliki kepribadian yang tidak baik, sehingga
ijtihadnya tidak mendapatkan pahala. Demikian juga halnya dengan yang dialami
oleh Amir bin Ubaid. Ia juga mengalami nasib yang hampir sama, bahkan kategori
hadis yang diriwayatkannya tidak dapat diterima. Dan, bahkan secara ekstrim
umat Islam tidak diperkenankan mengambil hadis darinya. Dalam perkembangannya
anggapan-anggapan semacam itu dibantah oleh ulama-ulama ahli hadis dan para
pengikut teologi Asy’arī, sebagaimana Sufyān al-Ṡaurī berkomentar bahwa
sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang yang berbeda pendapat di
antara para ulama. Al-Ghazālīyang wafat pada 1111 M berpendapat bahwa tidak
benar dan rusak pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan orang yang
berbeda dengan mazhabnya. Apa yang diusahakan oleh pengikut Mu’tazilah akan
mendapat pahala. Adapaun Syahrastanī sebagai pengikut Asy’ariyah, tidak
menghakimi atau mencela Mu’tazilah bahkan menghormati dan menganggap
sebagaimana muslim yang lain. Bahkan kesalahan dan sikap berlebih-lebihan oleh
Mu’tazilah tidak menyebabkan keluarnya dari Islam dan tidak menyesatkan mereka.
Perjalanan sejarah Mu’tazilah telah mengalami pasang surut yang diwarnai
lembaran-lembaran gelap dan terang yang telah dialaminya. Puncak kejayaannya
pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, terutama pada periode al-Ma’mun,
al-Mu’tasim dan alWaṡiq (198-232 H/813-846 M), yang mengiringi kejayaan dinasti
tersebut.Dan, kondisi yang paling mendukung adalah setelah diproklamirkannya
teologi Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara pada tahun 827 M oleh Khalifah
al-Ma’mun.
Latar Belakang Lahirnya
Aliran-Aliran Teologi Islam
Terjadinya
Aliran-aliran dalam teologi Islam karena perbedaan pandangan dalam dan
memberikan penjelasan tentang Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan
persoalan-persoalan Theologi Islam lainnya. Kaum muslimin dengan segala
ketekunan memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul yang bertalian dengan
soal-soal tersebut, menguraikan dan menganalisanya, dan masing-masing golongan
Theologi Islam berusaha memperkuat pendapat-pendapatnya dengan Zulhelmi Intizar,
Vol. 20, No. 1, 2014 7 ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut.
Dalil-dalil akal-pikiran yang telah dipersubur oleh filsafat Yunani dan
peradaban-peradaban lainnya yang berperan penting dalam memperkembang Teologi
Islam. Bahasa Arab digunakan sebagai alat memahami al-Qur’an dan hadits Rasul
sebagai sumber theologi Islam, juga merupakan hal yang penting untuk memberikan
analisis, dalam memberikan pemahaman sebagai dalil naqli dan ‘aqli.
Dari sinilah timbulnya persoalan
besar yang menyebakan perpecahan umat Islam, yang berkaitan dengan pelaku dosa
besar, sedangkan mereka pada awalnya sudah beriman, kemudian berlanjut pada
persoalan orang mukmin yang melakukan dosa kecil terus-menerus. Selanjutnya
merembet pada persoalan status al-Qur’an apakah hadits atau qadim, dan masuk
pada pemahaman makna ayat-ayat mutasyabihat, sampai pada zat, sifat dan af’al
Allah. Asy-syahrastani menjelaskan bahwa faktor terjadinya perbedaan
pandangangan yang menyebabkan melahirkan aliran-aliran Teologi Islam disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain: 15 Pertama, masalah sifat dan keesaan Allah,
termasuk sifat azali-Nya, sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat
Zulhelmi Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 9 Allah dan sebagian ada yang
menolaknya. Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil, dan jaiz. Masalah
ini menjadi ajang perdebatan di antara golongan Asy’ariyyah, Karamiyyah,
Mujasamah dan Mu’tazilah.
Pengaruh
Pemikiran Rasional Mu’tazilah terhadap Perkembangan Pemikiran Islam Di
Indonesia Intelektual Muslim Indonesia
Semakin
memperhatikan persoalan yang cocok bagi Islam dalam pembangunan negara, dan
nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan rasionalisme. Persoalan rutinitas
dalam teologi dan hukum Islam (fiqh) masih diperdebatkan, tetapi tidak menjadi
perhatian utama intelektual. Yang lebih penting bagi mereka adalah teologi
pembangunan, istilah Nurcholis Madjid “Gerakan pembahruan Pemikiran Islam”.17
Penggunaan istilah “pembaharuan” (renewal) oleh Nurcholis Madjid dan seringnya
beliau merujuk Ibn Taimiyah, menciptakan hubungan simbolik antara yang dikenal
sebagai neomodernisme dan konsep tajdid. Muslim Indonesia yang tergabung dalam
Muhammadiyah dan organisasi modernis lainnya, yang pada dasarnya adalah
apologi. Modernis terdahulu menekankan rasionalitas dalam usaha menghilangkan
praktek-praktek keagamaan tradisional, dan menegaskan bahwa Islam tidak hanya
sekedar mengizinkan, tetapi membutuhkan kemodernan. Tentang wacana di
Indonesia, diam-diam kemodernan Zulhelmi Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 11 di
pertegas dalam istilah teknologi dan ilmu pengetahuan. Karena modernisme
sebelumnya menggabungkan rasionalitas teknologi serta ilmu pengetahuan dengan
skritualisme Islam, maka persoalan agama dikeluarkan dari wilayah kerja
rasionalitas. Ini berarti konsep kaum modernis tentang masyarakat Islam
terbatas pada pemahaman literal ajaran sosial dari al-Qur’an dan Hadits.
Sumbangan yang paling penting dari Nurcholis Madjid untuk pengembangan wacana
Islam Indonesia adalah usaha beliau untuk memisahkan modernisme dari
skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang lebih realistis
tentang bagamana Muslim harus mendekati kemoderenan. 18 Menurut Nurcholis
Madjid, Muslim Indonesia kembali mengalami kelambanan dalam pemikiran dan
perkembangan pendidikan Islam. Beliau menerangkan bahwa kebutuhan terhadap
pembaharuan pemikiran lebih mendesak ketimbang kebutuhan untuk mempertahankan
kesepakatan intelektual umat. Dalam pidatonya beliau menggambarkan organisasi
modernis seperti Muhammadiyah telah kaku, mungkin tidak mampu menangkap semangat
dinamis dan progresif dari gagasan perbaikan itu sendiri. 19 Ia menghibau untuk
mengakhiri perdebatan antar aliran dan beralih untuk memperjuangkan sebuah
metode penalaran.
Premis :
1. Kebesaran
jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh beberapa
kalangan intelektual muslim belakangan.
2. Merembet
pada persoalan status al-Qur’an apakah hadits atau qadim, dan masuk pada
pemahaman makna ayat-ayat mutasyabihat, sampai pada zat, sifat dan af’al Allah.
3. Mu’tazilah
yang meyakini bahwa kewajiban bagi manusia menggunakan akalnya untuk mengetahui
Tuhan.
Konklusi
:
Terjadinya
Aliran-aliran dalam teologi Islam karena perbedaan pandangan dalam dan
memberikan penjelasan tentang Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan
persoalan-persoalan Teologi Islam lainnya. Kaum muslimin menguraikan dan
menganalisanya, dan masing-masing golongan Teologi Islam berusaha memperkuat
pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut.
Dalil-dalil akal-pikiran yang telah dipersubur oleh filsafat Yunani dan
peradaban-peradaban lainnya yang berperan penting dalam Teologi Islam. Esensi
pemikiran Mu’tazilah tentang rasio, yakni semua pengetahuan manusia bersumber
dari akal manusia, mensyukuri nikmat hukumnya wajib menurut akal sebelum wahyu
diturunkan. Kebaikan dan keburukan adalah sifat yang melekat pada yang baik dan
yang buruk. Pemikir Islam Indonesia kontemporer menyerupai teologi Mu’tazilah
klasik dalam penekanan mereka terhadap nalar spekulatif sebagai alat untuk
memecahkan persoalan agama.
Daftar
Pustaka
Abduh,
Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairp: Dār al-Manār, 1366H.
Āmīn,
Ahmad, Fajr al-Islām, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1978.
Hanafi,
Ahmad., 1974. Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang.
Ḥanbalī,
Ibn al-‘Imad, Syażarat al-Żahāb fī Akhbār min Żahāb, Juz I, Beirūt: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.
Hasbullah
Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, Tinta Mas, Jakarta, 1961
KH.Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1982
Nasution,
Harun, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta. Universitas Indonesia