Tuesday, April 9, 2019

[Hijratu R Nadzifa] Mu'tazilah


Nama : Hijratu Rahmatin Nadzifa / A2
NIM   : B01217021
PENGARUH MU’TAZILAH TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Objek kajian :
            Kajian Material : Ilmu Kalam
            Kajian Formal : Pengaruh Mu’tazilah terhadap Perkembangan Islam di Indonesia
Secara garis besar, pemikiran umat Islam dapat dibagi kepada empat kelompok, yakni: Pertama, bidang ketuhanan, yang meliputi pembahasan mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya dan hubungan alam semesta dengan-Nya. Kedua, bidang akhlak (etika), yang meliputi pembahasan mengenai manusia dan perilakunya; hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, bidang fisika; meliputi pembahasan tantang alam pertumbuhan dan perkembangannya. Keempat, bidang eksakta, yang meliputi pembahasan mengenai keilmuan seperti; matematika, geometri, astronomi dan lain sebagainya. Mu’tazilah adalah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah pemikiran dunia Islam, khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak menyumbangkan jasanya dalam perkembangan dan kemajuan keintelektualan Islam dalam jangka panjang. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat bahwa secara umum kaum Mu’tazilah adalah merupakan sosok muslim luar dalam.Artinya bahwa mereka telah bekerja dengan sekuat tenagaberupya membenahi intern umat Islam dalam memerangi kebodohan dan kemajuan berpikir dan sebagai penolong dalam kemurnian tauhid. Terhadap pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya perkembangan filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodoks. Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan. Ahmad Amin misalnya memandang bahwa mereka telah memiliki andil yang relatif besar dalam upaya melawan musuhmusuh Islam, baik dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi maupun kaum Materialis. Dan, memang hanya mereka yang memikul beban demikian berat tersebut. Dalam pernyataan yang lebih ekstrem lagi bahwa malapetaka terbesar umat Islam adalah lenyapnya kaum Mu’tazilah dari kancah pemikiran Islam. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah bahwa kaum Mu’tazilah bangkit untuk membela Islam dari kebatilan dan kebohongan, maka ‘Ilmu Kalam yang merupakan kekayaan besar Islam niscaya tidak akan pernah muncul. Dan, kita tidak akan sanggup sebagaimana mereka telah mampu melawan serangan-serangan dari luar. Mereka disibukkan dalam upaya membenahi ajaran agama, sementara yang lain disibukkan oleh urusan dunia. Fenomena Mu’tazilah memang sudah merupakan hal yang tidak dapat dihindari seiring perkembangan pluralisme dalam dunia Islam yang melahirkan berbagai interpretasi yang berbeda terhadap kandungan dasar ajaran Islam.Tampaknya ini sudah merupakan fenomena alamiah yang mestiterjadi, dan disinyalir timbulnya perbedaan merupakan rahmat dan karunia tersendiri bagi agama ini, agar terjadi kompetisi dalam upaya meraih kebaikan.





Dalam tindakannya untuk pemikiran sistematik Islam mereka bertindak terlalu jauh di luar batas-batas yang dapat diakui secara sah oleh Islam tradisional.Mereka secara terus-menerus menunjukkan diri mereka sebagai pelopor rasionalisme Hellenistik yang kaku dan tak mengenal kompromi. Sehingga tidak mengherankan kalau sikap tersebut mendapat banyak reaksi dan tantangan dari kalangan internal umat Islam sendiri.Di antaranya adalah dari kalangan pengikut mazhab Hanbali.Mereka menganggap pengikut Mu’tazilah sebagai aliran pembawa bid’ah yang wajib untuk diperangi. Kaum Ahlu al-Ḥadīṡ dan pengikut Asy’arī mengklaim Wasil bin Aṭā’ telah kafir dan memiliki kepribadian yang tidak baik, sehingga ijtihadnya tidak mendapatkan pahala. Demikian juga halnya dengan yang dialami oleh Amir bin Ubaid. Ia juga mengalami nasib yang hampir sama, bahkan kategori hadis yang diriwayatkannya tidak dapat diterima. Dan, bahkan secara ekstrim umat Islam tidak diperkenankan mengambil hadis darinya. Dalam perkembangannya anggapan-anggapan semacam itu dibantah oleh ulama-ulama ahli hadis dan para pengikut teologi Asy’arī, sebagaimana Sufyān al-Ṡaurī berkomentar bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang yang berbeda pendapat di antara para ulama. Al-Ghazālīyang wafat pada 1111 M berpendapat bahwa tidak benar dan rusak pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan orang yang berbeda dengan mazhabnya. Apa yang diusahakan oleh pengikut Mu’tazilah akan mendapat pahala. Adapaun Syahrastanī sebagai pengikut Asy’ariyah, tidak menghakimi atau mencela Mu’tazilah bahkan menghormati dan menganggap sebagaimana muslim yang lain. Bahkan kesalahan dan sikap berlebih-lebihan oleh Mu’tazilah tidak menyebabkan keluarnya dari Islam dan tidak menyesatkan mereka. Perjalanan sejarah Mu’tazilah telah mengalami pasang surut yang diwarnai lembaran-lembaran gelap dan terang yang telah dialaminya. Puncak kejayaannya pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, terutama pada periode al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan alWaṡiq (198-232 H/813-846 M), yang mengiringi kejayaan dinasti tersebut.Dan, kondisi yang paling mendukung adalah setelah diproklamirkannya teologi Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara pada tahun 827 M oleh Khalifah al-Ma’mun.
Latar Belakang Lahirnya Aliran-Aliran Teologi Islam
Terjadinya Aliran-aliran dalam teologi Islam karena perbedaan pandangan dalam dan memberikan penjelasan tentang Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan persoalan-persoalan Theologi Islam lainnya. Kaum muslimin dengan segala ketekunan memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul yang bertalian dengan soal-soal tersebut, menguraikan dan menganalisanya, dan masing-masing golongan Theologi Islam berusaha memperkuat pendapat-pendapatnya dengan Zulhelmi Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 7 ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut. Dalil-dalil akal-pikiran yang telah dipersubur oleh filsafat Yunani dan peradaban-peradaban lainnya yang berperan penting dalam memperkembang Teologi Islam. Bahasa Arab digunakan sebagai alat memahami al-Qur’an dan hadits Rasul sebagai sumber theologi Islam, juga merupakan hal yang penting untuk memberikan analisis, dalam memberikan pemahaman sebagai dalil naqli dan ‘aqli.
            Dari sinilah timbulnya persoalan besar yang menyebakan perpecahan umat Islam, yang berkaitan dengan pelaku dosa besar, sedangkan mereka pada awalnya sudah beriman, kemudian berlanjut pada persoalan orang mukmin yang melakukan dosa kecil terus-menerus. Selanjutnya merembet pada persoalan status al-Qur’an apakah hadits atau qadim, dan masuk pada pemahaman makna ayat-ayat mutasyabihat, sampai pada zat, sifat dan af’al Allah. Asy-syahrastani menjelaskan bahwa faktor terjadinya perbedaan pandangangan yang menyebabkan melahirkan aliran-aliran Teologi Islam disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 15 Pertama, masalah sifat dan keesaan Allah, termasuk sifat azali-Nya, sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat Zulhelmi Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 9 Allah dan sebagian ada yang menolaknya. Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil, dan jaiz. Masalah ini menjadi ajang perdebatan di antara golongan Asy’ariyyah, Karamiyyah, Mujasamah dan Mu’tazilah.
            Pengaruh Pemikiran Rasional Mu’tazilah terhadap Perkembangan Pemikiran Islam Di Indonesia Intelektual Muslim Indonesia
Semakin memperhatikan persoalan yang cocok bagi Islam dalam pembangunan negara, dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan rasionalisme. Persoalan rutinitas dalam teologi dan hukum Islam (fiqh) masih diperdebatkan, tetapi tidak menjadi perhatian utama intelektual. Yang lebih penting bagi mereka adalah teologi pembangunan, istilah Nurcholis Madjid “Gerakan pembahruan Pemikiran Islam”.17 Penggunaan istilah “pembaharuan” (renewal) oleh Nurcholis Madjid dan seringnya beliau merujuk Ibn Taimiyah, menciptakan hubungan simbolik antara yang dikenal sebagai neomodernisme dan konsep tajdid. Muslim Indonesia yang tergabung dalam Muhammadiyah dan organisasi modernis lainnya, yang pada dasarnya adalah apologi. Modernis terdahulu menekankan rasionalitas dalam usaha menghilangkan praktek-praktek keagamaan tradisional, dan menegaskan bahwa Islam tidak hanya sekedar mengizinkan, tetapi membutuhkan kemodernan. Tentang wacana di Indonesia, diam-diam kemodernan Zulhelmi Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 11 di pertegas dalam istilah teknologi dan ilmu pengetahuan. Karena modernisme sebelumnya menggabungkan rasionalitas teknologi serta ilmu pengetahuan dengan skritualisme Islam, maka persoalan agama dikeluarkan dari wilayah kerja rasionalitas. Ini berarti konsep kaum modernis tentang masyarakat Islam terbatas pada pemahaman literal ajaran sosial dari al-Qur’an dan Hadits. Sumbangan yang paling penting dari Nurcholis Madjid untuk pengembangan wacana Islam Indonesia adalah usaha beliau untuk memisahkan modernisme dari skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang lebih realistis tentang bagamana Muslim harus mendekati kemoderenan. 18 Menurut Nurcholis Madjid, Muslim Indonesia kembali mengalami kelambanan dalam pemikiran dan perkembangan pendidikan Islam. Beliau menerangkan bahwa kebutuhan terhadap pembaharuan pemikiran lebih mendesak ketimbang kebutuhan untuk mempertahankan kesepakatan intelektual umat. Dalam pidatonya beliau menggambarkan organisasi modernis seperti Muhammadiyah telah kaku, mungkin tidak mampu menangkap semangat dinamis dan progresif dari gagasan perbaikan itu sendiri. 19 Ia menghibau untuk mengakhiri perdebatan antar aliran dan beralih untuk memperjuangkan sebuah metode penalaran.

            Premis :
1.      Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan.
2.      Merembet pada persoalan status al-Qur’an apakah hadits atau qadim, dan masuk pada pemahaman makna ayat-ayat mutasyabihat, sampai pada zat, sifat dan af’al Allah.
3.      Mu’tazilah yang meyakini bahwa kewajiban bagi manusia menggunakan akalnya untuk mengetahui Tuhan.


Konklusi :
Terjadinya Aliran-aliran dalam teologi Islam karena perbedaan pandangan dalam dan memberikan penjelasan tentang Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan persoalan-persoalan Teologi Islam lainnya. Kaum muslimin menguraikan dan menganalisanya, dan masing-masing golongan Teologi Islam berusaha memperkuat pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut. Dalil-dalil akal-pikiran yang telah dipersubur oleh filsafat Yunani dan peradaban-peradaban lainnya yang berperan penting dalam Teologi Islam. Esensi pemikiran Mu’tazilah tentang rasio, yakni semua pengetahuan manusia bersumber dari akal manusia, mensyukuri nikmat hukumnya wajib menurut akal sebelum wahyu diturunkan. Kebaikan dan keburukan adalah sifat yang melekat pada yang baik dan yang buruk. Pemikir Islam Indonesia kontemporer menyerupai teologi Mu’tazilah klasik dalam penekanan mereka terhadap nalar spekulatif sebagai alat untuk memecahkan persoalan agama.













Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairp: Dār al-Manār, 1366H.
Āmīn, Ahmad, Fajr al-Islām, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1978.
Hanafi, Ahmad., 1974. Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang.
Ḥanbalī, Ibn al-‘Imad, Syażarat al-Żahāb fī Akhbār min Żahāb, Juz I, Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.
Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, Tinta Mas, Jakarta, 1961
KH.Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1982
Nasution, Harun, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta. Universitas Indonesia