Nama : M Sutan Hakim
Kelas : A2
Nim : B01217028
Wahabi
Kajian
Formal : Ilmu Kalam
Kajian Material
: Ilmu Kalam Ajaran Wahabi dan
Politik
A Muhammad ibn ‘Abd Wahhâb
Dilahirkan
di dusun Ujainah (Nejd), daerah Saudi Arabia sebelah timur (Hanafi, 1980:149).
Dari ayahnya sebagai kadi, ia memperoleh pengetahuan di bidang fikih dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya. Kemudian ia merantau ke Hijaz. Di negeri ini
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh pengetahuan agama dari ulama-ulama
Mekkah dan Madinah. Setelahmenyelesaikan pelajarannya di Madinah, ia merantau
ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke
Bagdad dan di sana ia memasuki hidup perkawinan dengan seorang wanita kaya.
Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia,ia pindah ke Kurdistan,
dan selanjutnya ke Hamdan dan Isfahan. Dikota Isfahan ia berhasil mempelajari
filsafat dan tasawuf.
Setelah
beberapa tahun dalam perlawatannya, ia kemudian kembali ke negeri kelahirannya.
Selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, ia kemudian
mengajarkan pahampahamnya, terutama di bidang ketauhidan. Dari sinilah Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh pengikut yang banyak, bahkan banyak di antaranya
berasal dari luar Ujainah. Meskipun demikian, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb
memperoleh banyak tantangan, termasuk tantangan dari kalangan keluarganya
sendiri.
Karena
ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributankeributan di negerinya, ia diusir
oleh penguasa setempat. Akhirnya, ia bersama keluarganya berpindah ke Dar’iah,
sebuah dusun tempat tinggal Muhammad ibn Sa’ûd (nenek Raja Faisal) yang telah menerima
ajaran Wahabi, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya. Dari dukungan yang
diberikan oleh Muhammad ibn Sa’ûd dan putranya ‘Abd al-Azîz di Nejd, pahampaham
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb semakin tersiar dan gerakannya bertambah kuat.
Sebagai seorang teoritis dan pemimpin, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb secara aktif
berusaha mewujudkan pemikirannya. Akhirnya, pada tahun 1773 M. ia bersama
pengikutpengikutnya dapat menduduki Riyadh. Pada tahun 1787, Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhâb wafat, namun ajaran-ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk
aliran yang dikenal dengan nama Wahabi, dan oleh Gibb disebutnya dengan
“Gerakan Wahabi”. “Gerakan Wahabi” bukan merupakan nama yang diberikan Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhâb, melainkan oleh golongan lain yang menjadi lawan-lawannya
dan orang-orang Eropa. Para pengikut Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb sendiri
menamakan dirinya sebagai kaum “Muhammadin” atau “Unitarian”, yaitu orang-orang
yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya.
B Gerakan Wahabi dan Poitik
Hasil
lawatan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb ke beberapa wilayah kekuasaan Islam
sebagaimana disebutkan sebelumnya, tampaknya merupakan indikator mengapa ia
mendirikan suatu gerakan, yang selanjutnya dikenal dengan nama “Gerakan
Wahabi”. Di setiap negeri Islam yang dikunjungunya, ia melihat berbagai macam
tradisi, kepercayaan, dan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat dalam
bentuk ritual-keagamaan. Ia juga menyaksikan betapa besarnya pengaruh ahli-ahli
tarekat di masa hidupnya sehingga kuburan-kuburan syaikh tarekat yang
bertebaran di setiap kota, bahkan kampung-kampung, ramai dikunjungi oleh
orang-orang yang ingin meminta berbagai macam pertolongan.
Karena
pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung ditujukan kepada
Tuhan, tetapi melalui syafaat para syaikh atau wali tarekat yang dipandang
sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan untuk memperoleh rahmat-Nya. Menurut
keyakinan orangorang yang berziarah ke kuburan para syaikh dan wali tarekat,
Tuhan tidak dapat didekati kecuali melalui perantara. Bagi mereka, sebagaimana
kata Ahmad Amin, Tuhan menyerupai “Raja Dunia Zalim” yang untuk memperoleh
belas kasih-Nya harus didekati melalui orang-orang besar dan penguasa yang ada di
sekitarnya.
Meskipun
demikian, pemikiran pembaruan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb banyak dipengaruhi
oleh Ibnu Taimiyah tidak harus ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah identik dengan
kaum Wahabi sebab seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Amin “walaupun dipengaruhi
oleh pikiran-pikiran reformatif Ibnu Taimiyah, Gerakan Wahabi tidak sepenuhnya
merupakan duplikat pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah”. Muhammad Amin (1991:34)
menyatakan bahwa Gerakan Wahabi bukanlah gerakan yang taklid kepada Ibnu
Taimiyah dan mengingkari pikiran-pikiran keagamaannya sendiri sebagaimana yang
dituduhkan oleh sebagian orang, termasuk Husyn Hilmi Isikh dalam bukunya Advice
for the Wahhabi.
Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh perlindungan dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn
Sa’ûd dan semangat pembaruannya menjadi kekuatan pendorong ekspansi politik
keluarga Sa’ûd. Pada akhir abad ke-18, seluruh Nejd dapat ditaklukkannya, dan
Irak pun diserbunya, yang berpuncak pada penjarahan Karbala. Kaum Wahabi memandang
Karbala sebagai pusat takhayul Syi’ah, dan kota-kota suci Hijaz pun direbut dan
dibersihkannya seluruh yang dianggapnya takhayul.
Al-Kindi
(dalam Madjid, 1984:61) menyatakan bahwa dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha
pembaruan, penyegaran, atau pemurnian pemahaman umat terhadap agamanya, dan ini
merupakan sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah. Nabi
dalam sebuah hadis mengisyaratkan adanya hal itu. Dari sudut pandang ini, dapat
dikatakan bahwa wajar saja bila pada abad ke-18, di Jazirah Arab, telah
disaksikan usaha pembaruan yang militan,—yang dilancarkan oleh Syaikh Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhâb— yang melahirkan Gerakan Wahabi. Selain merupakan hampir
satu satunya gerakan pembaruan keagamaan yang paling sukses secara politik
karena telah bergabung dengan kekuatan Dinasti Sa’ûd, pembaruan di jazirah ini
juga sangat menarik karena dilakukan tanpa sedikit pun persinggungan dengan
kemodernan Barat.
C
Ajaran Wahabi
Ajaran
tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memusatkan perhatian pada
masalah ini. Ia berpendapat bahwa (1) yang boleh dan harus disembah hanyalah
Tuhan, dan orang-orang yang menyembah selain Tuhan telah menjadi musyrik, dan
boleh dibunuh; (2) kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi
kepada para syaikh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga
telah menjadi musyrik; (3) menyebut nama nabi, syaikh atau malaikat sebagai
perantara dalam doa juga merupakan syirik; (4) meminta syafaat selain kepada
Tuhan adalah juga syirik; (5) bernazar kepada selain Tuhan juga syirik; (6)
memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, hadis, dan kias (analogi) merupakan
kekufuran;(7) tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga
merupakan kekufuran; dan (8) penafsiran Alquran dengan takwil (interpretasi
bebas) adalah kufur.
Bila
diamati seluruh butir ajaran tersebut di atas, pada prinsipnya butir-butir
ajaran tersebut bertemakan pemurnian tauhid (akidah). Harun Nasution lebih
lanjut menjelaskan bahwa semua poin di atas oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb)
diannggapnya bidah dan bidah adalah kesesatan. Oleh karena itu,
untuk melepaskan umat Islam dari praktek-praktek bidah, merela harus kembali
kepada Islam asli. Dengan demikian, delapan butir ajaran di atas dapat
dijadikan acuan dalam melihat gerakan pemurnian dalam bidang akidah.
Premis :
1.
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb
adalah seorang ulama yang telah menuntut ilmu dan maerantau diberbagai daerah
dari situ ia mengajarkan ilmunya dan menyebarkan dakwahnya hingga memiliki
banyak pengikut disebut “gerakan wahabi”.
2.
Gerakan ini bermula dari Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhâb yang melihat tradisi, adat yang dicampur dengan agama
seperti ziarah kubur syekh untuk berdoa meminta pertolongan.
3.
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb
memperoleh perlindungan dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn Sa’ûd dan semangat pembaruannya
menjadi kekuatan pendorong ekspansi politik keluarga Sa’ûd.
4.
Pada prinsipnya butir-butir
ajaran wahabi bertemakan pemurnian tauhid (akidah).
Konklusi : Ajaran wahabi
yakni berasal dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb adalah seorang ulama yang telah
menuntut ilmu dan maerantau diberbagai daerah yang melihat tradisi, adat yang
dicampur dengan agama. Pada prinsipnya tujuan dari ajaran ini adalah pemurnian
tauhid dari al-quran dan sunnah yang terbebas dari bid’ah, lalu setelah
ajaran ini berkembang luas Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh perlindungan
dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn Sa’ûd dan semangat pembaruannya menjadi
kekuatan pendorong ekspansi politik keluarga Sa’ûd.