Tuesday, April 9, 2019

(Sultan) Gerakan Wahabi dan Politik


Nama : M Sutan Hakim
Kelas   : A2
Nim     : B01217028


Wahabi


Kajian Formal   :       Ilmu Kalam
Kajian Material :       Ilmu Kalam Ajaran Wahabi dan Politik

A      Muhammad ibn ‘Abd Wahhâb

Dilahirkan di dusun Ujainah (Nejd), daerah Saudi Arabia sebelah timur (Hanafi, 1980:149). Dari ayahnya sebagai kadi, ia memperoleh pengetahuan di bidang fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Kemudian ia merantau ke Hijaz. Di negeri ini Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh pengetahuan agama dari ulama-ulama Mekkah dan Madinah. Setelahmenyelesaikan pelajarannya di Madinah, ia merantau ke Basrah dan tinggal di kota ini selama empat tahun. Selanjutnya ia pindah ke Bagdad dan di sana ia memasuki hidup perkawinan dengan seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia,ia pindah ke Kurdistan, dan selanjutnya ke Hamdan dan Isfahan. Dikota Isfahan ia berhasil mempelajari filsafat dan tasawuf.
Setelah beberapa tahun dalam perlawatannya, ia kemudian kembali ke negeri kelahirannya. Selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, ia kemudian mengajarkan pahampahamnya, terutama di bidang ketauhidan. Dari sinilah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh pengikut yang banyak, bahkan banyak di antaranya berasal dari luar Ujainah. Meskipun demikian, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh banyak tantangan, termasuk tantangan dari kalangan keluarganya sendiri.
Karena ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributankeributan di negerinya, ia diusir oleh penguasa setempat. Akhirnya, ia bersama keluarganya berpindah ke Dar’iah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad ibn Sa’ûd (nenek Raja Faisal) yang telah menerima ajaran Wahabi, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya. Dari dukungan yang diberikan oleh Muhammad ibn Sa’ûd dan putranya ‘Abd al-Azîz di Nejd, pahampaham Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb semakin tersiar dan gerakannya bertambah kuat. Sebagai seorang teoritis dan pemimpin, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb secara aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Akhirnya, pada tahun 1773 M. ia bersama pengikutpengikutnya dapat menduduki Riyadh. Pada tahun 1787, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb wafat, namun ajaran-ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabi, dan oleh Gibb disebutnya dengan “Gerakan Wahabi”. “Gerakan Wahabi” bukan merupakan nama yang diberikan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb, melainkan oleh golongan lain yang menjadi lawan-lawannya dan orang-orang Eropa. Para pengikut Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb sendiri menamakan dirinya sebagai kaum “Muhammadin” atau “Unitarian”, yaitu orang-orang yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya.

B       Gerakan Wahabi dan Poitik

 

Hasil lawatan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb ke beberapa wilayah kekuasaan Islam sebagaimana disebutkan sebelumnya, tampaknya merupakan indikator mengapa ia mendirikan suatu gerakan, yang selanjutnya dikenal dengan nama “Gerakan Wahabi”. Di setiap negeri Islam yang dikunjungunya, ia melihat berbagai macam tradisi, kepercayaan, dan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk ritual-keagamaan. Ia juga menyaksikan betapa besarnya pengaruh ahli-ahli tarekat di masa hidupnya sehingga kuburan-kuburan syaikh tarekat yang bertebaran di setiap kota, bahkan kampung-kampung, ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin meminta berbagai macam pertolongan.
Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung ditujukan kepada Tuhan, tetapi melalui syafaat para syaikh atau wali tarekat yang dipandang sebagai orang yang dapat mendekati Tuhan untuk memperoleh rahmat-Nya. Menurut keyakinan orangorang yang berziarah ke kuburan para syaikh dan wali tarekat, Tuhan tidak dapat didekati kecuali melalui perantara. Bagi mereka, sebagaimana kata Ahmad Amin, Tuhan menyerupai “Raja Dunia Zalim” yang untuk memperoleh belas kasih-Nya harus didekati melalui orang-orang besar dan penguasa yang ada di sekitarnya.
Meskipun demikian, pemikiran pembaruan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb banyak dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah tidak harus ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah identik dengan kaum Wahabi sebab seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Amin “walaupun dipengaruhi oleh pikiran-pikiran reformatif Ibnu Taimiyah, Gerakan Wahabi tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah”. Muhammad Amin (1991:34) menyatakan bahwa Gerakan Wahabi bukanlah gerakan yang taklid kepada Ibnu Taimiyah dan mengingkari pikiran-pikiran keagamaannya sendiri sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orang, termasuk Husyn Hilmi Isikh dalam bukunya Advice for the Wahhabi.
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh perlindungan dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn Sa’ûd dan semangat pembaruannya menjadi kekuatan pendorong ekspansi politik keluarga Sa’ûd. Pada akhir abad ke-18, seluruh Nejd dapat ditaklukkannya, dan Irak pun diserbunya, yang berpuncak pada penjarahan Karbala. Kaum Wahabi memandang Karbala sebagai pusat takhayul Syi’ah, dan kota-kota suci Hijaz pun direbut dan dibersihkannya seluruh yang dianggapnya takhayul.
Al-Kindi (dalam Madjid, 1984:61) menyatakan bahwa dari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pembaruan, penyegaran, atau pemurnian pemahaman umat terhadap agamanya, dan ini merupakan sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah. Nabi dalam sebuah hadis mengisyaratkan adanya hal itu. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa wajar saja bila pada abad ke-18, di Jazirah Arab, telah disaksikan usaha pembaruan yang militan,—yang dilancarkan oleh Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb— yang melahirkan Gerakan Wahabi. Selain merupakan hampir satu satunya gerakan pembaruan keagamaan yang paling sukses secara politik karena telah bergabung dengan kekuatan Dinasti Sa’ûd, pembaruan di jazirah ini juga sangat menarik karena dilakukan tanpa sedikit pun persinggungan dengan kemodernan Barat.

C      Ajaran Wahabi

Ajaran tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memusatkan perhatian pada masalah ini. Ia berpendapat bahwa (1) yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang-orang yang menyembah selain Tuhan telah menjadi musyrik, dan boleh dibunuh; (2) kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Tuhan, tetapi kepada para syaikh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik; (3) menyebut nama nabi, syaikh atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik; (4) meminta syafaat selain kepada Tuhan adalah juga syirik; (5) bernazar kepada selain Tuhan juga syirik; (6) memperoleh pengetahuan selain dari Alquran, hadis, dan kias (analogi) merupakan kekufuran;(7) tidak percaya kepada kada dan kadar Tuhan juga merupakan kekufuran; dan (8) penafsiran Alquran dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.
Bila diamati seluruh butir ajaran tersebut di atas, pada prinsipnya butir-butir ajaran tersebut bertemakan pemurnian tauhid (akidah). Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan bahwa semua poin di atas oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb) diannggapnya bidah dan bidah adalah kesesatan. Oleh karena itu, untuk melepaskan umat Islam dari praktek-praktek bidah, merela harus kembali kepada Islam asli. Dengan demikian, delapan butir ajaran di atas dapat dijadikan acuan dalam melihat gerakan pemurnian dalam bidang akidah.

Premis :
1.      Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb adalah seorang ulama yang telah menuntut ilmu dan maerantau diberbagai daerah dari situ ia mengajarkan ilmunya dan menyebarkan dakwahnya hingga memiliki banyak pengikut disebut “gerakan wahabi”.
2.      Gerakan ini bermula dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb yang melihat tradisi, adat yang dicampur dengan agama seperti ziarah kubur syekh untuk berdoa meminta pertolongan.
3.      Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh perlindungan dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn Sa’ûd dan semangat pembaruannya menjadi kekuatan pendorong ekspansi politik keluarga Sa’ûd.
4.      Pada prinsipnya butir-butir ajaran wahabi bertemakan pemurnian tauhid (akidah).

Konklusi : Ajaran wahabi yakni berasal dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb adalah seorang ulama yang telah menuntut ilmu dan maerantau diberbagai daerah yang melihat tradisi, adat yang dicampur dengan agama. Pada prinsipnya tujuan dari ajaran ini adalah pemurnian tauhid dari al-quran dan sunnah yang terbebas dari bid’ah, lalu setelah ajaran ini berkembang luas Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb memperoleh perlindungan dari pimpinan Nejd, Muhammad ibn Sa’ûd dan semangat pembaruannya menjadi kekuatan pendorong ekspansi politik keluarga Sa’ûd.