Tuesday, April 9, 2019

(Sultan) Asy'ariyah dan Teologi


Nama:             M sultan hakim
Nim:                B01217028
Kelas:             A2



Asy'ariyah


Kajian formal:           Ilmu Kalam
Kajian material:        Ilmu Kalam Aliran Asy’ariyah dan Teologi

A.    Asal Asy’ariyah

Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.

Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah. Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya".
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal- soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.

B.     Doktrin Teologi Asy’ariyah

Formulasi pemikiran al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab; w. 854 M).


Adapun pokok-pokok ajaran Abu> Hasan al-Asy’ary adalah sebagai berikut:

1.      Zat dan sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat Allah, merupakan maslaha yang banyak dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua teori yaitu: teori is\bat al-sifat dan naïf> al-sifat. Teori pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti, mendengar, melihat dan berbicara. Teori inilah yang dianut oleh kaum Asy’ariyah. Sementara teori kedua mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut dianut oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli ahli falsafah.

2.      Kebebasan dalam berkehendak
Pada dasarnya al-Asy'ari>, menggambarkan manusia sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak.29 Karena manusia dipandang lemah, maka paham al-Asy'ari> dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy’ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan).

3.      Akal dan wahyu
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu.34 Namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu.

4.      Qadimnya kalam Allah (al-Qur’an)
Masalah Qadimnya al-Qur’an golongan Asy’ariyah memiliki pandangan tersendiri. Asy’ari> mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.

Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah (al-Qur’an) ini dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni firman Alla>h yang bersifat abstrak tidak berbentuk yang ada pada Z|at (Diri) Tuhan, Ia bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Alla>h yang diturunkan kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis\ (baru) dan termasuk makhluk.

5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari> berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat sesuai kehendaknya.

6.      Keadilan
Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak.

7.      Kedudukan orang yang berbuat dosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga. Dalam hal ini, al-Asy’ari> berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

Premis:          

1.      Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari.
2.      Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai
3.      Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
4.      Formulasi pemikiran al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain

Konklusi

Aliran Asy’ariyah diambil dari nama nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. ia awalnya belajar denga tokoh mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubai.
Lalu Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist. Dan pada umur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Secara teologi aliran ini mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan dan secara Formulasi pemikiran al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah di sisi lain.

Daftar Pustaka

Hasibuan, H. R. (2017, januari-juni). Aliran Asy'ariyah. al-Hadi, 2(02), 433-437.
Supriadin. (2014). Al-Asy'ariyah. sulesana, 9(2), 67-73.