Nama: M sultan hakim
Nim: B01217028
Kelas: A2
Asy'ariyah
Kajian formal: Ilmu Kalam
Kajian material: Ilmu Kalam Aliran Asy’ariyah dan Teologi
A. Asal Asy’ariyah
Al
Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari
kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan
mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu
Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada
tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh
Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu
lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah
dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.
Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid
Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku,
sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku
mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa
Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata,
maka perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat,
bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya".
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah,
tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia
menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama
atau membahas soal- soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan
suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai
akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
B. Doktrin Teologi Asy’ariyah
Formulasi pemikiran al-Asy’ari, secara esensial,
menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu
sisi dan Mu’tazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat
reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi
Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab; w. 854 M).
Adapun pokok-pokok ajaran Abu> Hasan al-Asy’ary
adalah sebagai berikut:
1. Zat dan sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat Allah, merupakan maslaha yang
banyak dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua
teori yaitu: teori is\bat al-sifat dan naïf> al-sifat. Teori
pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti, mendengar,
melihat dan berbicara. Teori inilah yang dianut oleh kaum Asy’ariyah. Sementara
teori kedua mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut
dianut oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli ahli falsafah.
2. Kebebasan dalam berkehendak
Pada dasarnya al-Asy'ari>, menggambarkan manusia
sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak.29 Karena manusia dipandang lemah,
maka paham al-Asy'ari> dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah
(fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya
banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan
hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy’ari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan).
3. Akal dan wahyu
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah
mengakui pentingnya akal dan wahyu.34 Namun mereka berbeda pendapat dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Mu’tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan,
mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk adalah dapat diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu.
4. Qadimnya kalam Allah (al-Qur’an)
Masalah Qadimnya al-Qur’an golongan Asy’ariyah
memiliki pandangan tersendiri. Asy’ari> mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an
terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi
Allah dan karenanya tidak qadim.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah
(al-Qur’an) ini dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni firman
Alla>h yang bersifat abstrak tidak berbentuk yang ada pada Z|at (Diri)
Tuhan, Ia bersifat Qadim dan Azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan
ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini
bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Alla>h yang
diturunkan kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang dapat
ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat
dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis\ (baru) dan termasuk
makhluk.
5. Melihat Allah
Al-Asy’ari> berpendapat bahwa Allah dapat dilihat
di akhirat, tetapi tidak digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat sesuai kehendaknya.
6. Keadilan
Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak.
7. Kedudukan orang yang berbuat dosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang
mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya
dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi
dimasukkan-Nya kedalam surga. Dalam hal ini, al-Asy’ari> berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Premis:
1. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail
Al-Asy’ari.
2. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu
itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai
3. Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, Dalam
hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran,
karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
4. Formulasi pemikiran al-Asy’ari, secara esensial,
menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu
sisi dan Mu’tazilah di sisi lain
Konklusi
Aliran Asy’ariyah diambil dari nama nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota
Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. ia awalnya belajar denga tokoh
mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubai.
Lalu Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan
mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih
dan hadist. Dan pada umur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid
Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Secara
teologi aliran ini mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran,
karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan dan secara Formulasi pemikiran al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan
sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan
Mu’tazilah di sisi lain.
Daftar Pustaka
Hasibuan, H. R. (2017, januari-juni). Aliran
Asy'ariyah. al-Hadi, 2(02), 433-437.
Supriadin. (2014). Al-Asy'ariyah. sulesana, 9(2),
67-73.