Tuesday, April 9, 2019

[Imam] Epistemologi Pemikiran Mu'tazilah


Nama : Imam Ataqwa Khamarullah
NIM   : B01217022
A2


EPISTEMOLOGI PEMIKIRAN MU'TAZILAH

Objek Kajian : Ilmu Kalam
Objek Material : Epistemologi Pemikiran Mu'tazilah

Mu’tazilah adalah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah pemikiran dunia Islam, khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak menyumbangkan jasanya dalam perkembangan dan kemajuan keintelektualan Islam dalam jangka panjang. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat bahwa secara umum kaum Mu’tazilah adalah merupakan sosok muslim luar dalam.Artinya bahwa mereka telah bekerja dengan sekuat tenagaberupya membenahi intern umat Islam dalam memerangi kebodohan dan kemajuan berpikir dan sebagai penolong dalam kemurnian tauhid. Terhadap pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya perkembangan filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodoks.
Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan. Ahmad Amin misalnya memandang bahwa mereka telah memiliki andil yang relatif besar dalam upaya melawan musuhmusuh Islam, baik dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi maupun kaum Materialis. Dan, memang hanya mereka yang memikul beban demikian berat tersebut.
Dalam pernyataan yang lebih ekstrem lagi bahwa malapetaka terbesar umat Islam adalah lenyapnya kaum Mu’tazilah dari kancah pemikiran Islam. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah bahwa kaum Mu’tazilah bangkit untuk membela Islam dari kebatilan dan kebohongan, maka ‘Ilmu Kalam yang merupakan kekayaan besar Islam niscaya tidak akan pernah muncul. Dan, kita tidak akan sanggup sebagaimana mereka telah mampu melawan serangan-serangan dari luar. Mereka disibukkan dalam upaya membenahi ajaran agama, sementara yang lain disibukkan oleh urusan dunia. Fenomena Mu’tazilah memang sudah merupakan hal yang tidak dapat dihindari seiring perkembangan pluralisme dalam dunia Islam yang melahirkan berbagai interpretasi yang berbeda terhadap kandungan dasar ajaran Islam.Tampaknya ini sudah merupakan fenomena alamiah yang mestiterjadi, dan disinyalir timbulnya perbedaan merupakan rahmat dan karunia tersendiri bagi agama ini, agar terjadi kompetisi dalam upaya meraih kebaikan.
Dalam tindakannya untuk pemikiran sistematik Islam mereka bertindak terlalu jauh di luar batas-batas yang dapat diakui secara sah oleh Islam tradisional.Mereka secara terus-menerus menunjukkan diri mereka sebagai pelopor rasionalisme Hellenistik yang kaku dan tak mengenal kompromi. Sehingga tidak mengherankan kalau sikap tersebut mendapat banyak reaksi dan tantangan dari kalangan internal umat Islam sendiri. Di antaranya adalah dari kalangan pengikut mazhab Hanbali.Mereka menganggap pengikut Mu’tazilah sebagai aliran pembawa bid’ah yang wajib untuk diperangi.
Kaum Ahlu al-Ḥadīṡ dan pengikut Asy’arī mengklaim Wasil bin Aṭā’ telah kafir dan memiliki kepribadian yang tidak baik, sehingga ijtihadnya tidak mendapatkan pahala. Demikian juga halnya dengan yang dialami oleh Amir bin Ubaid. Ia juga mengalami nasib yang hampir sama, bahkan kategori hadis yang diriwayatkannya tidak dapat diterima. Dan, bahkan secara ekstrim umat Islam tidak diperkenankan mengambil hadis darinya. Dalam perkembangannya anggapan-anggapan semacam itu dibantah oleh ulama-ulama ahli hadis dan para pengikut teologi Asy’arī, sebagaimana Sufyān al-Ṡaurī berkomentar bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang yang berbeda pendapat di antara para ulama. Al-Ghazālīyang wafat pada 1111 M berpendapat bahwa tidak benar dan rusak pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan orang yang berbeda dengan mazhabnya. Apa yang diusahakan oleh pengikut Mu’tazilah akan mendapat pahala.
Adapaun Syahrastanī sebagai pengikut Asy’ariyah, tidak menghakimi atau mencela Mu’tazilah bahkan menghormati dan menganggap sebagaimana muslim yang lain. Bahkan kesalahan dan sikap berlebih-lebihan oleh Mu’tazilah tidak menyebabkan keluarnya dari Islam dan tidak menyesatkan mereka. Perjalanan sejarah Mu’tazilah telah mengalami pasang surut yang diwarnai lembaran-lembaran gelap dan terang yang telah dialaminya. Puncak kejayaannya pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, terutama pada periode al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan alWaṡiq (198-232 H/813-846 M), yang mengiringi kejayaan dinasti tersebut.Dan, kondisi yang paling mendukung adalah setelah diproklamirkannya teologi Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara pada tahun 827 M oleh Khalifah al-Ma’mun.
Lapangan pemikiran umat Islam terbagi kepada empat: bidang Ketuhanan ; bidang akhlak (etika); Kbidang fisika; bidang eksakta. Pemikiran umat Islam tentang keempat hal tersebut membawa perkebangan terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Terkait dengan permasalahan ketuhanan, banyak konsep-konsep pemikiran yang muncul, sebab Ketuhanan merupakan hal mendasar dalam ajaran Islam.Tuhan merupakan hal yang Maha Ghaib, sehubungan dengan maha ghaibnya Tuhan, maka munculah bermacam-macam konsep pemikiran rasional. Masalah-masalah ini menjadi kajian dalam teologi, ia dibahas secara rasional oleh aliran mu’tazilah, as’ariyah, maturidiyah dan lain sebagainya, sedangkan dalam filsafat termasuk pada kajian metafisika. Golongan Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam melalui dialogis filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi Islam melaui argumentasi logis. (A. Hanafi 1983 : 18)
Orang Islam tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya, jika mereka tidak mengetahui pendapat-pendapat lawannya. Akhirnya wilayah Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat, hal ini mempengaruhi masing-masing pihak, diantaranya menggunakan argumentasi rasional dalam menjelaskan dan mempertahankan pendapat mereka. Sebagian umat Islam mempelajari metoda-metoda filsafat Yunani untuk digunakan dalam menjelaskan dan mempertahankan ajaran Islam, diantaranya adalah golongan mu’tazilah. Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah” (Harun Nasution 1991 : 105), dalam al-Qur’an sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian. Menurut Muamar ibn al-Abbad (wafat 220 H/835 M) salah seorang tokoh sentral mu’atazilah berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah bendabenda materi saja, adapun “al-‘arad”atau “accidents” adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti, antara gerak dan diam, berkumpul atau berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan pada hukum alam yang terdapat dalam paham mu’tazilah. (Harun Nasution : 49) Mu’tazilah juga mengakui bahwa kebebasan manusia dibatasi oleh hukum alam (sunnatullah) yang berlaku. Hukum alam ini merupakan kadar yang telah ditentukan Allah. Dalam Teologi yang pertama (Liberal) berpendapat bahwa akal mempunyai kekuatan, dengan meneliti alam semesta akal dapat sampai ke alam abstrak. Al-Qur'an mengajarkan menggunakan akal dan meneliti fenomena alam untuk sampai pada rahasia-rahasia yang terletak dibelakangnya. Dengan cara inilah akan sampai kepada kesimpulan bahwa akal sampai pada mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan jahat, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang jahat. (Harun Nasution, 1972, hal 86).
Dalam Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka wajarlah jika Mu'tazilah dikenal dengan Teologi Liberal. Teologi Tradisional adalah Aliran Teologi yang memberikan kedudukan lemah pada akal, menurut Teologi ini akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. untuk itu wahyu diperlukan (Harun Nasution, 1972, hal 82). Namun kedua corak Teologi itu (Teologi Liberal dan Teologi Tradisional ) tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan bukan kafir. (Harun Nasution, 1972, hal 10). Karena mereka masih mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW. adalah utusanNya, lagi pula mereka sama-sama mengetahui bahwasanya Al Qur'an dan Al Hadits kebenarannya Absolut. Bahwa sejarah telah mencatat, Aliran Mu'tazilah yang dikenal kuat menjalankan ajaran Qur'an dan Hadits Nabi SAW. banyak menggunakan akal. Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional. Juga pembahasan tentang dasar-dasar agama buat pertama kali secara filosofis ditangan Mu'tazilah, setelah mereka mempelajari Filsafat Yunani. Timbullah dalam sejarah pemikiran Islam Ilmu Kalam, yaitu ilmu tauhid yang bersifat filosofis. (Harun Nasution, 1972, hal 47). Ini bukan berarti bahwa rasio dalam pengkajian tentang dasar-dasar agama tanpa batas. Dalam ilmu kalam atau Teologi Islam, para mutakallimin (Ahli Kalam) baik dari kalangan Mu'tazilah maupun dari kalangan lain seperti Ahlussunnah. Perbedaan yang kuat antara mereka itu adalah; bahwa Mu'tazilah lebih bersifat Liberal dalam arti, berani melepaskan diri dari arti lafzi dalam menginterpretaskan Teks Ayat dan Sunnah Nabi SAW. dari pada Teologi Tradisional ( Ahlussunnah ). Dengan kata lain Mu'tazilah banyak memakai arti majasi atau metaforis ayat dari pada Ahlussunnah yang lebih terikat pada arti lafzi ayat. (Harun Nasution. 1972, hal 7).
Premis
1.      Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan.
2.      Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam al-Qur’an sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian.
3.      Dalam Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka wajarlah jika Mu'tazilah dikenal dengan Teologi Liberal. Teologi Tradisional adalah Aliran Teologi yang memberikan kedudukan lemah pada akal, menurut Teologi ini akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
4.      Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional.
5.      Dengan kata lain Mu'tazilah banyak memakai arti majasi atau metaforis ayat dari pada Ahlussunnah yang lebih terikat pada arti lafzi ayat.
Konklusi
Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan. Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam al-Qur’an sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian. Dalam Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka wajarlah jika Mu'tazilah dikenal dengan Teologi Liberal. Teologi Tradisional adalah Aliran Teologi yang memberikan kedudukan lemah pada akal, menurut Teologi ini akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional. Dengan kata lain Mu'tazilah banyak memakai arti majasi atau metaforis ayat dari pada Ahlussunnah yang lebih terikat pada arti lafzi ayat.

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairp: Dār al-Manār, 1366H.
Āmīn, Ahmad, Fajr al-Islām, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1978.
Hanafi, Ahmad., 1974. Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang.
Ḥanbalī, Ibn al-‘Imad, Syażarat al-Żahāb fī Akhbār min Żahāb, Juz I, Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.
Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, Tinta Mas, Jakarta, 1961
KH.Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1982
Nasution, Harun, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta. Universitas Indonesia