Nama : Imam Ataqwa Khamarullah
NIM : B01217022
A2
EPISTEMOLOGI PEMIKIRAN MU'TAZILAH
Objek Kajian : Ilmu Kalam
Objek Material : Epistemologi Pemikiran Mu'tazilah
Mu’tazilah adalah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah
pemikiran dunia Islam, khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak
menyumbangkan jasanya dalam perkembangan dan kemajuan keintelektualan Islam
dalam jangka panjang. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat bahwa secara
umum kaum Mu’tazilah adalah merupakan sosok muslim luar dalam.Artinya bahwa
mereka telah bekerja dengan sekuat tenagaberupya membenahi intern umat Islam
dalam memerangi kebodohan dan kemajuan berpikir dan sebagai penolong dalam
kemurnian tauhid. Terhadap pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya
perkembangan filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodoks.
Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya
diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan. Ahmad Amin
misalnya memandang bahwa mereka telah memiliki andil yang relatif besar dalam
upaya melawan musuhmusuh Islam, baik dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi
maupun kaum Materialis. Dan, memang hanya mereka yang memikul beban demikian
berat tersebut.
Dalam pernyataan yang lebih ekstrem lagi bahwa malapetaka terbesar
umat Islam adalah lenyapnya kaum Mu’tazilah dari kancah pemikiran Islam. Jika
tidak ditakdirkan oleh Allah bahwa kaum Mu’tazilah bangkit untuk membela Islam
dari kebatilan dan kebohongan, maka ‘Ilmu Kalam yang merupakan kekayaan besar
Islam niscaya tidak akan pernah muncul. Dan, kita tidak akan sanggup
sebagaimana mereka telah mampu melawan serangan-serangan dari luar. Mereka
disibukkan dalam upaya membenahi ajaran agama, sementara yang lain disibukkan
oleh urusan dunia. Fenomena Mu’tazilah memang sudah merupakan hal yang tidak
dapat dihindari seiring perkembangan pluralisme dalam dunia Islam yang
melahirkan berbagai interpretasi yang berbeda terhadap kandungan dasar ajaran
Islam.Tampaknya ini sudah merupakan fenomena alamiah yang mestiterjadi, dan
disinyalir timbulnya perbedaan merupakan rahmat dan karunia tersendiri bagi
agama ini, agar terjadi kompetisi dalam upaya meraih kebaikan.
Dalam tindakannya untuk pemikiran sistematik Islam mereka bertindak
terlalu jauh di luar batas-batas yang dapat diakui secara sah oleh Islam
tradisional.Mereka secara terus-menerus menunjukkan diri mereka sebagai pelopor
rasionalisme Hellenistik yang kaku dan tak mengenal kompromi. Sehingga tidak
mengherankan kalau sikap tersebut mendapat banyak reaksi dan tantangan dari
kalangan internal umat Islam sendiri. Di
antaranya adalah dari kalangan pengikut mazhab Hanbali.Mereka menganggap
pengikut Mu’tazilah sebagai aliran pembawa bid’ah yang wajib untuk diperangi.
Kaum Ahlu al-Ḥadīṡ dan pengikut Asy’arī mengklaim Wasil bin Aṭā’
telah kafir dan memiliki kepribadian yang tidak baik, sehingga ijtihadnya tidak
mendapatkan pahala. Demikian juga halnya dengan yang dialami oleh Amir bin
Ubaid. Ia juga mengalami nasib yang hampir sama, bahkan kategori hadis yang
diriwayatkannya tidak dapat diterima. Dan, bahkan secara ekstrim umat Islam
tidak diperkenankan mengambil hadis darinya. Dalam perkembangannya
anggapan-anggapan semacam itu dibantah oleh ulama-ulama ahli hadis dan para
pengikut teologi Asy’arī, sebagaimana Sufyān al-Ṡaurī berkomentar bahwa
sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang yang berbeda pendapat di
antara para ulama. Al-Ghazālīyang wafat pada 1111 M berpendapat bahwa tidak
benar dan rusak pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan orang yang
berbeda dengan mazhabnya. Apa yang diusahakan oleh pengikut Mu’tazilah akan
mendapat pahala.
Adapaun Syahrastanī sebagai pengikut Asy’ariyah, tidak menghakimi
atau mencela Mu’tazilah bahkan menghormati dan menganggap sebagaimana muslim
yang lain. Bahkan kesalahan dan sikap berlebih-lebihan oleh Mu’tazilah tidak
menyebabkan keluarnya dari Islam dan tidak menyesatkan mereka. Perjalanan
sejarah Mu’tazilah telah mengalami pasang surut yang diwarnai lembaran-lembaran
gelap dan terang yang telah dialaminya. Puncak kejayaannya pada masa
kekhalifahan Bani Abbasiyah, terutama pada periode al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan
alWaṡiq (198-232 H/813-846 M), yang mengiringi kejayaan dinasti tersebut.Dan,
kondisi yang paling mendukung adalah setelah diproklamirkannya teologi Mu’tazilah
sebagai ajaran resmi negara pada tahun 827 M oleh Khalifah al-Ma’mun.
Lapangan pemikiran umat Islam terbagi kepada empat: bidang
Ketuhanan ; bidang akhlak (etika); Kbidang fisika; bidang eksakta. Pemikiran
umat Islam tentang keempat hal tersebut membawa perkebangan terhadap ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Terkait dengan permasalahan ketuhanan, banyak
konsep-konsep pemikiran yang muncul, sebab Ketuhanan merupakan hal mendasar
dalam ajaran Islam.Tuhan merupakan hal yang Maha Ghaib, sehubungan dengan maha
ghaibnya Tuhan, maka munculah bermacam-macam konsep pemikiran rasional.
Masalah-masalah ini menjadi kajian dalam teologi, ia dibahas secara rasional
oleh aliran mu’tazilah, as’ariyah, maturidiyah dan lain sebagainya, sedangkan
dalam filsafat termasuk pada kajian metafisika. Golongan Mu’tazilah, memusatkan
perhatiannya untuk penyiaran Islam melalui dialogis filosofis dan membantah
alasan-alasan orang yang memusuhi Islam melaui argumentasi logis. (A. Hanafi
1983 : 18)
Orang Islam tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya, jika mereka
tidak mengetahui pendapat-pendapat lawannya. Akhirnya wilayah Islam menjadi
arena perdebatan bermacam-macam pendapat, hal ini mempengaruhi masing-masing
pihak, diantaranya menggunakan argumentasi rasional dalam menjelaskan dan
mempertahankan pendapat mereka. Sebagian umat Islam mempelajari metoda-metoda
filsafat Yunani untuk digunakan dalam menjelaskan dan mempertahankan ajaran
Islam, diantaranya adalah golongan mu’tazilah. Mu’tazilah mengakui adanya hukum
alam atau “sunnatullah” (Harun Nasution 1991 : 105), dalam al-Qur’an
sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan
sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian.
Menurut Muamar ibn al-Abbad (wafat 220 H/835 M) salah seorang tokoh sentral
mu’atazilah berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah bendabenda materi
saja, adapun “al-‘arad”atau “accidents” adalah kreasi benda-benda materi itu
sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh matahari
atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti, antara gerak dan diam, berkumpul
atau berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini menggambarkan paham naturalis
atau kepercayaan pada hukum alam yang terdapat dalam paham mu’tazilah. (Harun
Nasution : 49) Mu’tazilah juga mengakui bahwa kebebasan manusia dibatasi oleh
hukum alam (sunnatullah) yang berlaku. Hukum alam ini merupakan kadar yang
telah ditentukan Allah. Dalam Teologi yang pertama (Liberal) berpendapat bahwa
akal mempunyai kekuatan, dengan meneliti alam semesta akal dapat sampai ke alam
abstrak. Al-Qur'an mengajarkan menggunakan akal dan meneliti fenomena alam
untuk sampai pada rahasia-rahasia yang terletak dibelakangnya. Dengan cara
inilah akan sampai kepada kesimpulan bahwa akal sampai pada mengetahui adanya
Tuhan, kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan jahat, kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjahui yang jahat. (Harun Nasution, 1972, hal 86).
Dalam Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka
wajarlah jika Mu'tazilah dikenal dengan Teologi Liberal. Teologi Tradisional
adalah Aliran Teologi yang memberikan kedudukan lemah pada akal, menurut
Teologi ini akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
untuk itu wahyu diperlukan (Harun Nasution, 1972, hal 82). Namun kedua corak
Teologi itu (Teologi Liberal dan Teologi Tradisional ) tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam dan bukan kafir. (Harun Nasution, 1972, hal 10).
Karena mereka masih mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW.
adalah utusanNya, lagi pula mereka sama-sama mengetahui bahwasanya Al Qur'an
dan Al Hadits kebenarannya Absolut. Bahwa sejarah telah mencatat, Aliran
Mu'tazilah yang dikenal kuat menjalankan ajaran Qur'an dan Hadits Nabi SAW.
banyak menggunakan akal. Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam
lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan
Sunnah Nabi, sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional. Juga pembahasan
tentang dasar-dasar agama buat pertama kali secara filosofis ditangan
Mu'tazilah, setelah mereka mempelajari Filsafat Yunani. Timbullah dalam sejarah
pemikiran Islam Ilmu Kalam, yaitu ilmu tauhid yang bersifat filosofis. (Harun
Nasution, 1972, hal 47). Ini bukan berarti bahwa rasio dalam pengkajian tentang
dasar-dasar agama tanpa batas. Dalam ilmu kalam atau Teologi Islam, para
mutakallimin (Ahli Kalam) baik dari kalangan Mu'tazilah maupun dari kalangan
lain seperti Ahlussunnah. Perbedaan yang kuat antara mereka itu adalah; bahwa
Mu'tazilah lebih bersifat Liberal dalam arti, berani melepaskan diri dari arti
lafzi dalam menginterpretaskan Teks Ayat dan Sunnah Nabi SAW. dari pada Teologi
Tradisional ( Ahlussunnah ). Dengan kata lain Mu'tazilah banyak memakai arti
majasi atau metaforis ayat dari pada Ahlussunnah yang lebih terikat pada arti
lafzi ayat. (Harun Nasution. 1972, hal 7).
Premis
1.
Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya
diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan.
2.
Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”,
dalam al-Qur’an sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia
dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan
penelitian.
3.
Dalam Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka
wajarlah jika Mu'tazilah dikenal dengan Teologi Liberal. Teologi Tradisional
adalah Aliran Teologi yang memberikan kedudukan lemah pada akal, menurut
Teologi ini akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
4.
Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan
IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi,
sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional.
5.
Dengan kata lain Mu'tazilah banyak memakai arti majasi atau
metaforis ayat dari pada Ahlussunnah yang lebih terikat pada arti lafzi ayat.
Konklusi
Kebesaran jasa Mu’tazilah terhadap pemikiran Islam ini setidaknya
diakui oleh beberapa kalangan intelektual muslim belakangan. Mu’tazilah
mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”,
dalam al-Qur’an sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia
dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan
penelitian. Dalam
Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka wajarlah jika Mu'tazilah
dikenal dengan Teologi Liberal. Teologi Tradisional adalah Aliran Teologi yang
memberikan kedudukan lemah pada akal, menurut Teologi ini akal tidak mampu
untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Pemakaian
akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga
dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran
keagamaannya bercorak rasional. Dengan
kata lain Mu'tazilah banyak memakai arti majasi atau metaforis ayat dari pada
Ahlussunnah yang lebih terikat pada arti lafzi ayat.
Daftar
Pustaka
Abduh,
Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairp: Dār al-Manār, 1366H.
Āmīn,
Ahmad, Fajr al-Islām, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1978.
Hanafi,
Ahmad., 1974. Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta, Bulan Bintang.
Ḥanbalī,
Ibn al-‘Imad, Syażarat al-Żahāb fī Akhbār min Żahāb, Juz I, Beirūt: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.
Hasbullah
Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, Tinta Mas, Jakarta, 1961
KH.Sirajuddin
Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1982
Nasution,
Harun, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta. Universitas Indonesia