Monday, April 22, 2019

(Muhammad Khabib) Wahabi


Muhammad Khabib/B91217080/KPI A2
Ilmu Kalam/Wahabi
Wahabi
  1. Objek Kajian
  1. Objek Material : Ilmu Kalam
  2. Objek Firmal    : Ilmu Kalam dan Hasil Pemikiran Teologi Wahabi
Ibnu Abdu al-Wahab dan Muhammad Ibnu Saud menyebarluaskan ide-ide dan paham wahabi ini melalui ekspansi pada awal abad sembilan belas, yang puncaknya pada penaklukan sebagian besar semenanjung arab, namun kerajaan wahabiyah pertama ini ditaklukkan oleh kekuatan Mesir pada 1818, dan ibu kotanya Dir’iyah dihancurkan sehingga kekuasaanya hanyab tersisa pada daerah Najd selatan. Ciri khusus kerajaan ini memakai istilah al-Syaikh. Paham ini masih berurat berakar di Najd, hingga bangkit kembali ketika memasuki awal abad ke dua puluh, yakni pada tahun 1902, Abd. Aziz Ibnu Saud, seorang keturunan penguasa Saudi pertama di Najd, merebut kota Riyadh dan meneruskan serta menyebarluaskan ideologi wahabiyah pada masyarakat, mendukung pengajaran al-Quran, shalat di mesjid dan misi pengajaran di desa-desa terpencil dan di kalangan suku Badui dan menciptakan kekuatan militer, disebut ikhwan (persaudaraan), yang diilhami oleh semangat penaklukan melalui keimanan.
Ikhwan ini menjadi kenyataan setelah 1912, suku-suku Badui tersebut menghentikan cara hidup nomadis dan menetap di suatu perkampungan dengan hidup bertani dan ideolgi wahabiyah diterapkan dalam hidupnya dengan shalat berjamaah yakni hadir di mesjid, memisahkan jenis kelamin (dalam suatu pertemuan, kelas), mengutuk musik, alkohol, rokok dan teknologi yang tidak dikenal pada masa Nabi SAW. masyarakat inilah yang bergabung dalam Ikhwan menjadi tulang punggung angkatan bersenjata Abd al-Aziz dan membantunya dalam ekspansi (perluasan daerah kekuasaan). Pada masa 1920-an dimulai keselarasan perilaku, karena tinkah laku dipandang sebagai ungkapan lahiriyah dari keimanan yang bersifat bathiniyah setelah wafatnya Abd. al-Aziz tahun 1957, kepemimpinan Saudi melonggarkan penekanan identitasnya sebagai pewaris ajaran wahabiyah dan keluarga Syaikh-pun tidak lagi memegang jabatan-jabatan tertinggi dalam birokrasi keseragaman berpakaian, perilaku umum dan sholat berjamaah, dan pada etos-etos sosial yang menganggap bahwa pemerintah bertanggung jawab atas moral kolektif yang mengatur masyarakat dari perilaku individu hingga lembaga bisnis dan pemerintah itu sendiri.
Ajaran Wahabiyah adalah suatu gerakan keagamaan, kadang disebut sebagai paham wahabi, didirikan atas dasar ajaran Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791. Beliau banyak menulis berbagai subyek keislaman, seperti teologi, tafsir, hukum Islam dan kehidupan Nabi SAW., menekankan ajarannya pada tauhid (keesaan Allah), tawassul (perantara), ziarah kubur, takfir, Bid’ah, ijtihad dan taklid.
Tema pokok ajarannya adalah tauhid karena beliau memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri. Beliau berpendapat keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk, yaitu:
Pertama. Tauhid Rububiyah, penegasan keesaan Tuhan dan tindakan-Nya, Tuhan sendiri adalah pencipta, penyedia, dan penentu alam semesta.
Kedua. Tauhid al-Asma‘ wa al-Sifat (keesaan nama dan sifatnya), yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah. (QS. Thaha ayat 6, surah 20).
Ketiga. Tauhid al-Ilahiyah; menjelaskan hanya tuhan yang berhak disembah. Penegasan “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya“, berarti bahwa semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata kepada Tuhan; Muhammad tidak untuk disembah tetapi sebagi Nabi, beliau seharusnya dipatuhi dan diikuti.
Tentang tawassul (perantara), menurut Muhammad Ibn Abd al-Wahab, ibadah (sembahan) merujuk pada seluruh ucapan dan tindakan lahir dan bathin, sesuai yang dikehendaki dan diperintahkan oleh Tuhan. Dalam tulisannya beliau menyatakan bahwa meminta perlindungan kepada pohon batu dan semacamnya adalah syirik. Dengan kata lain, tidak ada bantuan, perlindungan, ataupun tempat berlindung kecuali Tuhan. Hal inilah sehingga golongan ini melarang ziarah kubur, boleh saja kekuburan dengan syarat dilakukan sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya, sehingga kuburan itu harus rata dengan tanah karena seorang muslim yang masih melakukan praktek-praktek syirik dikategorikan sebagai kafir dan seharusnya dibunuh.
Bid’ah, setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada al-Quran, sunah Nabi saw. atau otoritas para sahabat Nabi saw., seperti 1) memperingati kelahiran Nabi saw (maulid), 2) meminta perantara (tawassul) dari para wali, 3) membaca al-Fatihah atas nama pendiri tarekat sufi, sesudah menunaikan shalat lima waktu, 4) mengulangi shalat lima waktu sesudah shalat jumat pada bulan Ramadhan.
Ijtihad dan Taqlid menurut wahabiyah, Tuhan memerintahkan manusia untuk hanya mematuhi-Nya dan hanya mengikuti ajaran Nabi SAW. bila ada masalah/persoalan yag timbul (tentang agama) maka jawabnya diambil dari al-Quran dan hadist Nabi SAW., bila tidak ada pada al-Quran dan hadist maka diambildari consensus “kaum terdahulu yang shaleh”, dari sahabat dan tabi’in, ijma’para ulama yang sejalan denga al-Quran dan Hadits. Menolak pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup. Al-Quran dan Hadits satu-satunya dasat penetap hokum Islam.[1]
Gerakan Wahabiyah menjadi kekuatan keagamaan dan politik yang dominan di Jazirah Arab pada sekitar 1746, ketika al-Saud memadukan kekuatan politik dan ajaran wahabi, satu demi satu kerajaan jatuh oleh serangan kekauatan Arab Saudi. Tahun 1773 Riyadh dapat dikuasai dan kekayaannya masuk ke bendaharawan al-Saud yang menambah kekuatan keagamaan dan politik di Jazirah Arab selama abad 19 dan awal abad 20.
Dewasa ini banyak prinsip dan ajaran wahabiyah yang mengilhami hokum dan social di Kerajaan Arab Saudi. Suatu hal yang menarik bahwa penguasa al-Saud memakai gerakan dan ajaran wahabi ini sebagai kekuatan politik untuk mempertahankan dan memperluas daerah kekauasaannya dan dibalik itu ajaran Muhammad Ibn Abd al-Wahab ini diterima dianut dan dilaksanakan oleh masyarakat karena ditopang oleh penguasa (diperintahkan oleh Ulil Amri). Sebagaimana disebutkan terdahulu bahwa pemikiran teologi Muhammad Ibn Abd al-Wahab dilatarbelakangi antara lain untuk memperbaiki keadaan umat Islam, yang timbul bukan sebagai reaksi politik, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat dikalangan umat Islam. Pemikiran-pemikirannya yang terdapat dikalangan umat Islam bersumber dari aliran salaf yang bertitik tolak dari ajaran Imam Ahmad Bin Hanbal yang ditafsirkan oleh Ibn Taimiyah kemudian diidentikkan dengan aliran Wahabiyah.
Muhammad Ibn Abd al-Wahab memilih perbaikan akidah sebagai sasaran awal perjuangan dakwahnya. Ia tidak memulainya denga memperbaiki keadaan social, politik dan ekonomi, karena ia berkeyakinan bahwa jika akidah tauhid masyarakat itu baik, murni dan bersih dari syirik maka bidang kehidupan lainnya seperti social, politik dan ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi baik pula sebab akidah adalah ruh kehidupan keagamaan seseorang yang akan mempengaruhi bahkan menentukan pola-pola tingkah laku seseorang dalam aspek kehidupan lahir bathin.
Premis 1 : Ibnu Abdul Wahab dan Muhammad Ibnu Saud menyebarkan  ide dan paham wahabi pada awal abad sembilan belas.
Premis 2 : Tema pokok ajaran wahabi adalah tauhid. Karena ia memandang bahwa tauhid adalah agama Islam itu sendiri
Premis 3 : Ajaran Wahabi melarang untuk bertawasul jika kepada selain Allah. Bertawasul kepada selain Allah sama dengan melakukan perbuatan syirik.
Premis 4 :  Ajaran wahabi menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berdasarkan Al-Qur'an, Hadits Nabi, dan otoritas para sahabat nabi saw, termasuk perbuatan bid'ah
Premis 5 :  Ajaran wahabi menolak bahwa pintu ijtihad ditutup.
Konklusi : Pada awal abad 19 Ibnu Abdul Saud dan Muhammad Ibnu Saud menyebarkan paham wahabi dengan pokok ajaran tauhid yang isinya melarang bertawasul kepada selain Allah, jika tidak berdasarlan Al-Qur'an, hadits nabi dan otoritas para sahabat maka bid'ah serta tetap membuka pintu ijtihad.




[1] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet. II ; Bandung : LSAF, 1995), h. 173.