Monday, April 22, 2019

[ilyunal] Ikhwanul Muslimin


Nama: Ilyunal Iqbal Kahfi
B91217071
Ikhwanul Muslimin

Kajian Formal             : Ilmu Kalam
Kajian Material           : Doktrin dan Pergerakan Ikhwanul Muslimin


A.           Ikhwanul Muslimin
Ikhwan Al Muslimin (Jam’iyyyat al-Ikhwan al-Muslimin) didirikan oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928. Al Banna menjalani pendidikan konservatif sederhana di pedesaan Mesir sehingga pada masa itu ia terasing dari kehidupan perkotaan yang luas seperti Kairo dan Alexandria. Ayahnya adalah seorang pemuka agama bernama Syaikh Ahmad Abd Al Rahman Al Banna Al Sa’aluti (1881-1958) dan seperti kebiasaan masyarakat Mesir, Al Banna mengikuti jejak langkah bapaknya, menekuni pendidikan agama, (Zahid, 2010:60-61). Setelah lulus dari Dar al-Ulum pada tahun 1927,  ia ditunjuk oleh Kementerian Pendidikan sebagai guru bahasa Arab di sekolah dasar di Ismailiya.
Di tempat inilah ia mulai mengamati besarnya masalah sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat Mesir, serta kuatnya dominasi asing dalam mengeksploitasi perekonomian negerinya. Orang-orang Eropa yang menjadi manajer di perusahaan Terusan Suez menjalani kehidupan yang mewah, sementara orang Mesir tinggal di tempat menyedihkan. Al Banna pun tergerak untuk memberikan pencerahan kepada masyarakatnya, menyadarkan masyarakat atas masalah yang sedang dihadapi, dan menawarkan solusinya, yaitu kembali kepada nilai-nilai Islam. Al Banna pun mendirikan Ikhwan Al Muslimin (IM) di Ismailiya tahun 1928 dan pada tahun 1930 IM telah memiliki lima kantor cabang.  Pada tahun 1932, IM berkembang menjadi 15 cabang dan pada tahun 1938, menjadi 300 cabang. Meskipun jumlah anggota tepatnya tidak diketahui, 300 cabang mewakili antara 50.000 sampai 150.000 anggota.
B.            Penyebab Ikhwanul Muslimin Berkembang Pesat dan Akhirnya dibubarkan
Pertama, IM memberikan layanan kepada masyarakat, seperti layanan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan, perawatan medis yang murah, bantuan keuangan dan keterampilan kerja dengan skema pelatihan, (Zahid, 2010:60-61). Penyediaan layanan membawa jutaan warga Mesir terhubung langsung dengan IM dan yang paling penting adalah IM menunjukkan kemampuannya menyampaikan sebuah janji perbaikan sosial dan ekonomi kepada penduduk Mesir.
Selama periode tahun 1930-an, IM bergerak sebagai lembaga sosial, dengan aktivitas yang didominasi oleh reformasi moral dan spiritual masyarakat. Namun setelah itu, terjadi transisi gerakan yang menunjukkan aspirasi politik IM, yaitu keinginan untuk terjun dalam politik berorientasi pada pemerintahan. Langkah Al Banna bertujuan mengakhiri sistem partai dan mengarahkan komunitas politik pada satu arah yaitu interpretasi teologis teks-teks Islam. Dalam pandangan Al Banna, sebuah sistem partai politik berbahaya, penyebab perselisihan dan kejahatan dalam masyarakat, dan mengancam jalinan masyarakat Islam. Transformasi IM dan keterlibatannya dalam ranah politik bertujuan untuk memperkuat hubungan antara kalangan Islam di negara lain, terutama di seluruh wilayah Arab, sehingga menghidupkan kembali gagasan Khilafah Islam, (Zahid, 2010:60-61).
Kedua, munculnya pemikiran radikal yang mendorong perlawanan frontal terhadap rezim yang dipandang telah menyengsarakan rakyat. Pemikiran ini dibawa seorang pemikir bernama Sayyid Qutb. Qutb awalnya adalah pegawai negeri di Kementerian Pendidikan yang dikirim untuk belajar ke AS selama dua setengah tahun. Masa tinggalnya di AS telah memunculkan pemikiran perlawanan terhadap Barat yang disebutnya ‘jahiliyah’. Pada tahun 1951, Qutb kembali dari AS, bergabung dengan IM, dan segera menjadi tokoh penting dalam struktur IM.
Pandangannya kerap kali mengkritisi nilai-nilai kebebasan, individualisme, dan materialisme yang membentuk basis fungsional masyarakat Amerika. Dia percaya bahwa nilai-nilai ini adalah penyebab dari masalah sosial yang dihadapi oleh Amerika, seperti tingginya konsumerisme, diskriminasi seksual, dan pergaulan bebas. Sayyid Qutb percaya bahwa Amerika berada dalam keadaan jahiliyyah (kebodohan), (Zahid, 2010:60-61).
Dalam periode 1951-1954, Qutb menjadi salah satu anggota dewan pimpinan IM dan ia menyebarkan pemikiran radikal di tengah aktivis IM. Ia memandang bahwa pemerintah Mesir tidak Islami, jahiliyah, sehingga harus dilawan agar mau menerapkan sistem Islam dalam pemerintahan. Kritikan-kritikan terbuka yang dilakukan Qutb membuatnya ditahan pada tahun 1954 dan divonis 25 tahun penjara atas tuduhan makar.
Di saat Qutb mengalami penyiksaan dalam penjara, publik Mesir tengah merayakan nasionalisasi Terusan Suez, sikap tegas Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser terhadap Barat. Kepemimpinan Naser di tengah negara-negara Arab memunculkan kebanggaan pada rakyat Mesir. Pengalaman pribadi Qutb membuatnya tetap berpegang pada pendapatnya bahwa pemerintahan Mesir adalah jahiliyah dan harus dilawan. Pada periode ini, ia menulis buku yang menjadi rujukan utama kalangan IM, Ma’aalim fi al-tariq. Dalam buku ini ia menyerang nasionalisme Mesir dan Arab, sosialisme, dan rezim Naser yang menurutnya menggabungkan semua ide yang sesat itu. Tahun 1964 ia dilepaskan dari penjara, namun beberapa bulan kemudian ditangkap kembali dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1966, (Rubin, 1990:49-50).
Meskipun Qutb sudah tiada, pemikirannya terus diduplikasi berbagai kelompok radikal di Mesir. Pada tahun 1970-an muncullah beberapa kelompok militan Islam yang terinspirasi dari pemikiran radikal Sayyid Qutb tentang takfirisme. 2 Kelompok yang paling menonjol di antaranya adalah Military Academy Group yang dipimpin oleh Saleh Sirriyya, seorang Palestina, yang berusaha untuk menghasut pemberontakan di sebuah lembaga militer di pinggiran kota Kairo pada tahun 1974. Menurut pemimpin senior IM, penganiayaan brutal yang dialami oleh para anggota IM di kamp. penjara yang dilakukan oleh rezim Naser telah meyakinkan beberapa dari mereka bahwa rezim ini dan masyarakat yang mendukungnya tidak bisa lagi disebut sebagai Muslim; mereka adalah orang-orang kafir, (Wickhman, 2013:43)
Meskipun beberapa tokoh IM sendiri banyak yang mengkritik pandangan radikal Qutb, di antaranya Al Hudaybi, semakin memburuknya kondisi sosial, ekonomi, dan politik Mesir semakin memperluas perkembangan paham radikal itu.
Ketiga, isu Palestina juga menjadi faktor penting dalam berkembangnya IM. Israel dideklarasikan tahun 1948 dengan berlandaskan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1947 yang memberikan sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara khusus Yahudi. Menurut IM, Israel adalah entitas yang didukung oleh semua kekuatan anti-Islam. Di saat yang sama, pandangan ini juga didukung oleh para ulama mainstream, misalnya ulama Al Azhar, ‘Ali Jadd al Haqq, menyatakan bahwa kekuatan kolonial yang pernah menjajah negara-negara Arab masih ingin meneruskan penjajahan mereka dan melalui tangan Zionisme internasional, negara-negara Arab terus dipecah-belah.” (Wickhman, 2013:112).
Pembelaan terhadap Palestina dan perlawanan terhadap Barat yang mendukung Israel pun menjadi salah satu isu utama yang berperan penting dalam rekrutmen IM di Mesir.  Pada tahun 1948, IM menggalang dana, membeli senjata, mendirikan kamp. militer, dan mengirimkan petempur untuk berperang melawan Israel. Dan di saat yang sama, anggota IM membesar hingga lebih dari setengah juta orang. Isu Palestina pula yang akhirnya membuat pemerintah Mesir memutuskan untuk membubarkan IM. Sebagai respon, militan IM menembak Perdana Menteri Mahmoud Fahmi Nuqrashi. Rezim Mesir membalasnya dengan memerintahkan pembunuhan terhadap pemimpin IM, Hasan Al Banna pada Februari 1949. Peristiwa ini disusul berbagai aksi kekerasan lainnya dan ribuan aktivis IM kemudian dipenjarakan, (Rubin, 1990:11).
Pada era Anwar Sadat, konflik antara IM dan rezim semakin menguat. IM memandang bahwa perjanjian damai yang ditandatangani Sadat dengan Israel sebagai penghianatan bagi masyarakat muslim di Mesir. IM pun bangkit mengecam perjanjian Camp David pada 17 September 1978, mengecam perjanjian damai Mesir-Israel pada 26 Maret 1979, dan berkampanye melawan proses normalisasi hubungan Mesir-Israel pada Agustus 1979, (Rubin, 1990:19). Berbagai kerusuhan dan penangkapan terhadap aktivis Islam radikal (tidak hanya IM) terjadi pada masa ini. Sadat kemudian tewas dibunuh oleh anggota militer Mesir yang menjadi anggota kelompok radikal ‘Al Jihad’.
Dalam gelombang Arab Spring, kekuatan IM berhasil naik ke puncak pemerintahan Mesir, dengan terpilihnya Mohammad Morsi sebagai presiden pada tanggal 30 Juni 2012. Namun, hanya selang setahun, ia digulingkan dalam aksi-aksi demo anti IM yang didukung militer. Pada 3 Juli 2013, Morsi dipaksa mundur dan pemerintahan Mesir kini berada di tangan Jenderal Al Sisi yang kemudian melakukan berbagai aksi represif terhadap aktivis IM. Kondisi ini semakin meradikalisasi aktivis IM dan banyak di antara mereka yang kemudian bergabung dengan kelompokkelompok radikal bersenjata, termasuk ISIS, (Hashem, 2014).

Premis 1: Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928.
Premis 2: Berkembang pesatnya Ikhwanul Muslimin disebabkan 3 faktor, yaitu bergerak sebagai lembaga social, munculnya pemikiran radikal dari sayyid qutub, dan isu Palestina dan Israel.

Konklusi: Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928. Ikhwanul Muslimin bisa berkembang pesat disebabkan 3 faktor, yaitu karena IM bergerak sebagai lembaga sosial, munculnya pemikiran radikal dari sayyid qutub sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang menyengsarakan rakyat, dan isu Palestina-Israel.