Nama: Ilyunal Iqbal Kahfi
B91217071
Ikhwanul Muslimin
Kajian Formal :
Ilmu Kalam
Kajian
Material : Doktrin dan Pergerakan Ikhwanul Muslimin
A.
Ikhwanul Muslimin
Ikhwan Al Muslimin (Jam’iyyyat al-Ikhwan al-Muslimin) didirikan
oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928. Al Banna menjalani pendidikan konservatif
sederhana di pedesaan Mesir sehingga pada masa itu ia terasing dari kehidupan
perkotaan yang luas seperti Kairo dan Alexandria. Ayahnya adalah seorang pemuka
agama bernama Syaikh Ahmad Abd Al Rahman Al Banna Al Sa’aluti (1881-1958) dan
seperti kebiasaan masyarakat Mesir, Al Banna mengikuti jejak langkah bapaknya,
menekuni pendidikan agama, (Zahid, 2010:60-61). Setelah lulus dari Dar al-Ulum
pada tahun 1927, ia ditunjuk oleh
Kementerian Pendidikan sebagai guru bahasa Arab di sekolah dasar di Ismailiya.
Di tempat inilah ia mulai mengamati besarnya masalah sosial ekonomi
yang dihadapi masyarakat Mesir, serta kuatnya dominasi asing dalam
mengeksploitasi perekonomian negerinya. Orang-orang Eropa yang menjadi manajer
di perusahaan Terusan Suez menjalani kehidupan yang mewah, sementara orang
Mesir tinggal di tempat menyedihkan. Al Banna pun tergerak untuk memberikan
pencerahan kepada masyarakatnya, menyadarkan masyarakat atas masalah yang
sedang dihadapi, dan menawarkan solusinya, yaitu kembali kepada nilai-nilai
Islam. Al Banna pun mendirikan Ikhwan Al Muslimin (IM) di Ismailiya tahun 1928
dan pada tahun 1930 IM telah memiliki lima kantor cabang. Pada tahun 1932, IM berkembang menjadi 15
cabang dan pada tahun 1938, menjadi 300 cabang. Meskipun jumlah anggota tepatnya
tidak diketahui, 300 cabang mewakili antara 50.000 sampai 150.000 anggota.
B.
Penyebab Ikhwanul Muslimin Berkembang Pesat dan Akhirnya dibubarkan
Pertama, IM memberikan layanan kepada masyarakat, seperti layanan
pendidikan bagi laki-laki dan perempuan, perawatan medis yang murah, bantuan
keuangan dan keterampilan kerja dengan skema pelatihan, (Zahid, 2010:60-61).
Penyediaan layanan membawa jutaan warga Mesir terhubung langsung dengan IM dan
yang paling penting adalah IM menunjukkan kemampuannya menyampaikan sebuah
janji perbaikan sosial dan ekonomi kepada penduduk Mesir.
Selama periode tahun 1930-an, IM bergerak sebagai lembaga sosial,
dengan aktivitas yang didominasi oleh reformasi moral dan spiritual masyarakat.
Namun setelah itu, terjadi transisi gerakan yang menunjukkan aspirasi politik
IM, yaitu keinginan untuk terjun dalam politik berorientasi pada pemerintahan.
Langkah Al Banna bertujuan mengakhiri sistem partai dan mengarahkan komunitas
politik pada satu arah yaitu interpretasi teologis teks-teks Islam. Dalam
pandangan Al Banna, sebuah sistem partai politik berbahaya, penyebab
perselisihan dan kejahatan dalam masyarakat, dan mengancam jalinan masyarakat
Islam. Transformasi IM dan keterlibatannya dalam ranah politik bertujuan untuk
memperkuat hubungan antara kalangan Islam di negara lain, terutama di seluruh
wilayah Arab, sehingga menghidupkan kembali gagasan Khilafah Islam, (Zahid,
2010:60-61).
Kedua, munculnya pemikiran radikal yang mendorong perlawanan frontal
terhadap rezim yang dipandang telah menyengsarakan rakyat. Pemikiran ini dibawa
seorang pemikir bernama Sayyid Qutb. Qutb awalnya adalah pegawai negeri di
Kementerian Pendidikan yang dikirim untuk belajar ke AS selama dua setengah
tahun. Masa tinggalnya di AS telah memunculkan pemikiran perlawanan terhadap
Barat yang disebutnya ‘jahiliyah’. Pada tahun 1951, Qutb kembali dari AS,
bergabung dengan IM, dan segera menjadi tokoh penting dalam struktur IM.
Pandangannya kerap kali mengkritisi
nilai-nilai kebebasan, individualisme, dan materialisme yang membentuk basis
fungsional masyarakat Amerika. Dia percaya bahwa nilai-nilai ini adalah
penyebab dari masalah sosial yang dihadapi oleh Amerika, seperti tingginya
konsumerisme, diskriminasi seksual, dan pergaulan bebas. Sayyid Qutb percaya
bahwa Amerika berada dalam keadaan jahiliyyah (kebodohan), (Zahid, 2010:60-61).
Dalam periode 1951-1954, Qutb menjadi salah
satu anggota dewan pimpinan IM dan ia menyebarkan pemikiran radikal di tengah
aktivis IM. Ia memandang bahwa pemerintah Mesir tidak Islami, jahiliyah,
sehingga harus dilawan agar mau menerapkan sistem Islam dalam pemerintahan.
Kritikan-kritikan terbuka yang dilakukan Qutb membuatnya ditahan pada tahun
1954 dan divonis 25 tahun penjara atas tuduhan makar.
Di saat Qutb mengalami penyiksaan dalam
penjara, publik Mesir tengah merayakan nasionalisasi Terusan Suez, sikap tegas
Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser terhadap Barat. Kepemimpinan Naser di tengah
negara-negara Arab memunculkan kebanggaan pada rakyat Mesir. Pengalaman pribadi
Qutb membuatnya tetap berpegang pada pendapatnya bahwa pemerintahan Mesir
adalah jahiliyah dan harus dilawan. Pada periode ini, ia menulis buku yang
menjadi rujukan utama kalangan IM, Ma’aalim fi al-tariq. Dalam buku ini ia
menyerang nasionalisme Mesir dan Arab, sosialisme, dan rezim Naser yang
menurutnya menggabungkan semua ide yang sesat itu. Tahun 1964 ia dilepaskan
dari penjara, namun beberapa bulan kemudian ditangkap kembali dan dijatuhi hukuman
mati pada tahun 1966, (Rubin, 1990:49-50).
Meskipun Qutb sudah tiada, pemikirannya
terus diduplikasi berbagai kelompok radikal di Mesir. Pada tahun 1970-an
muncullah beberapa kelompok militan Islam yang terinspirasi dari pemikiran
radikal Sayyid Qutb tentang takfirisme. 2 Kelompok yang paling menonjol di
antaranya adalah Military Academy Group yang dipimpin oleh Saleh Sirriyya,
seorang Palestina, yang berusaha untuk menghasut pemberontakan di sebuah
lembaga militer di pinggiran kota Kairo pada tahun 1974. Menurut pemimpin
senior IM, penganiayaan brutal yang dialami oleh para anggota IM di kamp.
penjara yang dilakukan oleh rezim Naser telah meyakinkan beberapa dari mereka
bahwa rezim ini dan masyarakat yang mendukungnya tidak bisa lagi disebut
sebagai Muslim; mereka adalah orang-orang kafir, (Wickhman, 2013:43)
Meskipun beberapa tokoh IM sendiri banyak
yang mengkritik pandangan radikal Qutb, di antaranya Al Hudaybi, semakin
memburuknya kondisi sosial, ekonomi, dan politik Mesir semakin memperluas
perkembangan paham radikal itu.
Ketiga, isu
Palestina juga menjadi faktor penting dalam berkembangnya IM. Israel
dideklarasikan tahun 1948 dengan berlandaskan Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun
1947 yang memberikan sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara khusus
Yahudi. Menurut IM, Israel adalah entitas yang didukung oleh semua kekuatan
anti-Islam. Di saat yang sama, pandangan ini juga didukung oleh para ulama
mainstream, misalnya ulama Al Azhar, ‘Ali Jadd al Haqq, menyatakan bahwa
kekuatan kolonial yang pernah menjajah negara-negara Arab masih ingin
meneruskan penjajahan mereka dan melalui tangan Zionisme internasional, negara-negara
Arab terus dipecah-belah.” (Wickhman, 2013:112).
Pembelaan terhadap Palestina dan perlawanan
terhadap Barat yang mendukung Israel pun menjadi salah satu isu utama yang
berperan penting dalam rekrutmen IM di Mesir.
Pada tahun 1948, IM menggalang dana, membeli senjata, mendirikan kamp.
militer, dan mengirimkan petempur untuk berperang melawan Israel. Dan di saat
yang sama, anggota IM membesar hingga lebih dari setengah juta orang. Isu
Palestina pula yang akhirnya membuat pemerintah Mesir memutuskan untuk
membubarkan IM. Sebagai respon, militan IM menembak Perdana Menteri Mahmoud
Fahmi Nuqrashi. Rezim Mesir membalasnya dengan memerintahkan pembunuhan
terhadap pemimpin IM, Hasan Al Banna pada Februari 1949. Peristiwa ini disusul
berbagai aksi kekerasan lainnya dan ribuan aktivis IM kemudian dipenjarakan,
(Rubin, 1990:11).
Pada era Anwar Sadat, konflik antara IM dan
rezim semakin menguat. IM memandang bahwa perjanjian damai yang ditandatangani
Sadat dengan Israel sebagai penghianatan bagi masyarakat muslim di Mesir. IM
pun bangkit mengecam perjanjian Camp David pada 17 September 1978, mengecam
perjanjian damai Mesir-Israel pada 26 Maret 1979, dan berkampanye melawan
proses normalisasi hubungan Mesir-Israel pada Agustus 1979, (Rubin, 1990:19).
Berbagai kerusuhan dan penangkapan terhadap aktivis Islam radikal (tidak hanya
IM) terjadi pada masa ini. Sadat kemudian tewas dibunuh oleh anggota militer
Mesir yang menjadi anggota kelompok radikal ‘Al Jihad’.
Dalam gelombang Arab Spring, kekuatan IM
berhasil naik ke puncak pemerintahan Mesir, dengan terpilihnya Mohammad Morsi
sebagai presiden pada tanggal 30 Juni 2012. Namun, hanya selang setahun, ia
digulingkan dalam aksi-aksi demo anti IM yang didukung militer. Pada 3 Juli
2013, Morsi dipaksa mundur dan pemerintahan Mesir kini berada di tangan
Jenderal Al Sisi yang kemudian melakukan berbagai aksi represif terhadap
aktivis IM. Kondisi ini semakin meradikalisasi aktivis IM dan banyak di antara
mereka yang kemudian bergabung dengan kelompokkelompok radikal bersenjata,
termasuk ISIS, (Hashem, 2014).
Premis 1: Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928.
Premis 2: Berkembang pesatnya Ikhwanul Muslimin
disebabkan 3 faktor, yaitu bergerak sebagai lembaga social, munculnya pemikiran
radikal dari sayyid qutub, dan isu Palestina dan Israel.
Konklusi: Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan Al Banna pada
tahun 1928. Ikhwanul Muslimin bisa berkembang pesat disebabkan 3 faktor, yaitu
karena IM bergerak sebagai lembaga sosial, munculnya pemikiran radikal dari
sayyid qutub sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim yang menyengsarakan
rakyat, dan isu Palestina-Israel.