Teologi Mu’tazilah
A. Objek Kajian
Kajian formal : Teologi Mu’tazilah
Kajian material : ilmu kalam
B. Mu’tazilah
Perjalanan
sejarah Mu’tazilah telah mengalami pasang surut yang diwarnai lembaran-lembaran
gelap dan terang yang telah dialaminya. Puncak kejayaannya pada masa
kekhalifahan Bani Abbasiyah, terutama pada periode al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan
al-Waṡiq (198-232 H/813-846 M), yang mengiringi kejayaan dinasti tersebut. Dan,
kondisi yang paling mendukung adalah setelah diproklamirkannya teologi
Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara pada tahun 827 M oleh Khalifah
al-Ma’mun.
Akibat yang
paling fatal terhadap pemberlakuan mihnah yang terlalu keras dan bahkan
melampaui batas-batas kemanusiaan adalah timbulnya perlawanan yang tidak
sedikit dari kalangan luas. Ditambah lagi dengan berkurangnya dukungan dari penguasa terhadap
paham Mu’tazilah semakin memperlemah posisi aliran ini. Al-Mutawakkil
misalnya sudah menunjukkan sikap yang berbeda dari pendahulu-pendahulunya
terhadap Mu’tazilah, seolah merupakan pukulan telak bagi Mu’tazilah.
Ada tiga
langkah yang dipakai al-Mutawakkil dalam menghadapi Mu’tazilah. Pertama,
adalah dengan melarang untuk memperdebatkan masalah al-Quran sebagai makhluk,
juga melepaskan orang-orang yang dipenjara selama pemberlakuan mihnah. Kedua,
menyediakan fasilitas kepada para ulama dan ahli hadis sebagaimana yang
diberikan kepada Mu’tazilah pada periode berikutnya. Yang ketiga, adalah dengan
mencabut pemberlakuan mihnah tepatnya pada tahun 237 H/851 M. Yang dengan jelas
sudah menunjukkan permusuhannya terhadap Mu’tazilah.
Kondisi
Mu’tazilah telah berbalik, hidup serba dalam kesulitan walau masa itu
kemakmuran semakin merata akan tetapi tidak untuk dinikmati oleh pengikut
Mu’tazilah. Dengan semakin melemahnya Mu’tazilah ternyata diiringi dengan
melemahnya tradisi diskusi dan berpikir, yang berimbas juga pada kemunduran
ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Kemunduran
Mu’tazilah bukan berarti paham ini telah mati sama sekali, karena tradisi
rasional telah banyak mewarnai perkembangan kalam di dunia Sunni, seperti
Asy’arī misalnya sebagai penganut mazhab Hanbali telah menemukan format
tersendiri dalam masalah teologi. Di Samarkand, al-Maturidi sebagai pengikut
mazhab Hanafi juga telah memiliki format tersendiri yang berbeda dari yang
sebelumnya. Dengan melemahnya kekuasaan Buwaihi ini Mu’tazilahpun ikut mulai
melemah.
Pada masa-masa
selanjutnya adalah masa-masa tidak menentu bagi paham Mu’tazilah. Hal ini
disebabkan timbulnya pertentangan dan fitnah yang tidak dapat dihindarkan
antara pengikut Mu’tazilah dan Asy’arīyah. Nampaknya ini
merupakan hari-hari akhir Mu’tazilah dalam pentas peredarannya, karena
penguasa-penguasa berikutnya kebanyakan mengikuti paham Asy’arīyah dan sangat
memusuhi Mu’tazilah yang dianggap juga sebagai pengikut Syi’ah. Sehingga
boleh dikata bahwa pada masa Dinasti Saljuk adalah masa-masa kematian
Mu’tazilah, karena setelah masa tersebut tidak ada lagi gerakan Mu’tazilah
dalam bentuk format yang jelas, kecuali hanya bentuk-bentuk pemikiran yang
dianut oleh beberapa kalangan.Dan biasanya orang sudah tidak lagi menyebutnya
sebagai Mu’tazili.
Dalam
perkembangan pemikiran Islam selanjutnya lebih bersifat penyandaran dan
kebangkitan dari tradisi kejumudan pasca kemunduran dan kehancuran Islam. Masalah
teologi sudah tidak begitu semarak diperbincangkan, karena baik Asy’ariyah
maupun Mātūridiyah perkembangannya tidak lepas dari percaturan dialektik
rasional. Terkadang orang dikatakan sebagai penganut Asy’arī, sedang orang lain
memandangnya sebagai penganut Maturidi atau Mu’tazilah. Muhammad Abduh, menurut
Hourani, telah terpengaruh oleh Ahlu al-Sunnah, terutama al-Ghazālī dan
Mātūridi.Sedang al-Rāziq melihat dalam hal sifat-sifat Tuhan Abduh sebagai
pengikut Asy’arī.Dan, sebagai pembelaannya, yang kuat terhadap kebebasan
memberi kritik, dia sebagai seorang Mu’tazilah modern. Seperti yang ditegaskan
juga oleh Hourani bahwa Abduh walaupun termasuk salah seorang pemikir ortodok
modern, akan tetapi paling tidak sedikit banyak telah terpengaruh oleh
pemikiran Mu’tazilah.
Tradisi
Mu’tazilah yang dikembangkan oleh tokoh belakangan lebih bersifat reaksi
terhadap kemandegan dan ketidakmapanan intelektual di dunia Islam. Umumnya
memiliki tujuan yang sama menghilangkan kejumudan yang ada, oleh karena itu
mereka lebih dikenal dengan reformis (pembaharu) atau modern sebagaimana Abduh.
Jamaluddin al-Afghani yang telah menjadi guru dan teman perjuangan Abduh
sedikit banyak telah mewariskan semangat dan ilmu kepada Abduh. Adapun yang
menjadi landasan gerak al-Afghani adalah penyandaran akan keterbelakangan umat
Islam dan menangkis pemikiran filsafat materialis Barat. Dalam masalah teologi
sebagaimana juga Mu’tazilah, al-Afghani lebih mengedepankan kemampuan manusia
dalam segala aktifitas untuk merespon terhadap apa yang ingin dicapainya,
sebelum campur tangan Tuhan.
Premis 1 :
Masa kejayaan Mu’tazilah didukung oleh
kondisi dimana setelah diproklamirkan teologi Mu’tazilah sebagai ajaran resmi
tahun 872M.
Premis 2 :
Kondisi
Mu’tazilah telah berbalik, hidup serba dalam kesulitan walau masa itu
kemakmuran semakin merata akan tetapi tidak untuk dinikmati oleh pengikut
Mu’tazilah.
Konklusi :
Pada masa kejayaan Mu’tazilah dan masa itu
kemakmuran semakin merata, akan tetapi
pengikut Mu’tazilah dilarang menikmatinya.
Daftar
Pustaka
Aḥmad
Āmīn, (1978) Fajr al-Islam, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī
Aḥmad
Āmīn, (t.t) Ḍuḥā al-Islām, Juz III, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī
Abduh,
(1366H) Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairp: Dār al-Manār
Munawir,
(1984) Ahmad Warson, al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif
Watt,
W. Montgomery, (1990) Kejayaan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Nadwi,
(t.t) Abdul Hasan Ali al-Husni, Pertarungan antara Alam Pikiran Islam dengan
Alam Pikiran Barat, Bandung: al-Ma’arif
Nasution,
Harun, (1987) Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press