Tuesday, April 9, 2019

[Lettycia Nia Wiviana] Mu'tazilah


Teologi Mu’tazilah

A.    Objek Kajian
Kajian formal     : Teologi Mu’tazilah
Kajian material   : ilmu kalam

B.     Mu’tazilah
Perjalanan sejarah Mu’tazilah telah mengalami pasang surut yang diwarnai lembaran-lembaran gelap dan terang yang telah dialaminya. Puncak kejayaannya pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, terutama pada periode al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Waṡiq (198-232 H/813-846 M), yang mengiringi kejayaan dinasti tersebut. Dan, kondisi yang paling mendukung adalah setelah diproklamirkannya teologi Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara pada tahun 827 M oleh Khalifah al-Ma’mun.
Akibat yang paling fatal terhadap pemberlakuan mihnah yang terlalu keras dan bahkan melampaui batas-batas kemanusiaan adalah timbulnya perlawanan yang tidak sedikit dari kalangan luas. Ditambah lagi dengan berkurangnya dukungan dari penguasa terhadap paham Mu’tazilah semakin memperlemah posisi aliran ini. Al-Mutawakkil misalnya sudah menunjukkan sikap yang berbeda dari pendahulu-pendahulunya terhadap Mu’tazilah, seolah merupakan pukulan telak bagi Mu’tazilah.
Ada tiga langkah yang dipakai al-Mutawakkil dalam menghadapi Mu’tazilah. Pertama, adalah dengan melarang untuk memperdebatkan masalah al-Quran sebagai makhluk, juga melepaskan orang-orang yang dipenjara selama pemberlakuan mihnah. Kedua, menyediakan fasilitas kepada para ulama dan ahli hadis sebagaimana yang diberikan kepada Mu’tazilah pada periode berikutnya. Yang ketiga, adalah dengan mencabut pemberlakuan mihnah tepatnya pada tahun 237 H/851 M. Yang dengan jelas sudah menunjukkan permusuhannya terhadap Mu’tazilah.
Kondisi Mu’tazilah telah berbalik, hidup serba dalam kesulitan walau masa itu kemakmuran semakin merata akan tetapi tidak untuk dinikmati oleh pengikut Mu’tazilah. Dengan semakin melemahnya Mu’tazilah ternyata diiringi dengan melemahnya tradisi diskusi dan berpikir, yang berimbas juga pada kemunduran ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Kemunduran Mu’tazilah bukan berarti paham ini telah mati sama sekali, karena tradisi rasional telah banyak mewarnai perkembangan kalam di dunia Sunni, seperti Asy’arī misalnya sebagai penganut mazhab Hanbali telah menemukan format tersendiri dalam masalah teologi. Di Samarkand, al-Maturidi sebagai pengikut mazhab Hanafi juga telah memiliki format tersendiri yang berbeda dari yang sebelumnya. Dengan melemahnya kekuasaan Buwaihi ini Mu’tazilahpun ikut mulai melemah.
Pada masa-masa selanjutnya adalah masa-masa tidak menentu bagi paham Mu’tazilah. Hal ini disebabkan timbulnya pertentangan dan fitnah yang tidak dapat dihindarkan antara pengikut Mu’tazilah dan Asy’arīyah. Nampaknya ini merupakan hari-hari akhir Mu’tazilah dalam pentas peredarannya, karena penguasa-penguasa berikutnya kebanyakan mengikuti paham Asy’arīyah dan sangat memusuhi Mu’tazilah yang dianggap juga sebagai pengikut Syi’ah. Sehingga boleh dikata bahwa pada masa Dinasti Saljuk adalah masa-masa kematian Mu’tazilah, karena setelah masa tersebut tidak ada lagi gerakan Mu’tazilah dalam bentuk format yang jelas, kecuali hanya bentuk-bentuk pemikiran yang dianut oleh beberapa kalangan.Dan biasanya orang sudah tidak lagi menyebutnya sebagai Mu’tazili.
Dalam perkembangan pemikiran Islam selanjutnya lebih bersifat penyandaran dan kebangkitan dari tradisi kejumudan pasca kemunduran dan kehancuran Islam. Masalah teologi sudah tidak begitu semarak diperbincangkan, karena baik Asy’ariyah maupun Mātūridiyah perkembangannya tidak lepas dari percaturan dialektik rasional. Terkadang orang dikatakan sebagai penganut Asy’arī, sedang orang lain memandangnya sebagai penganut Maturidi atau Mu’tazilah. Muhammad Abduh, menurut Hourani, telah terpengaruh oleh Ahlu al-Sunnah, terutama al-Ghazālī dan Mātūridi.Sedang al-Rāziq melihat dalam hal sifat-sifat Tuhan Abduh sebagai pengikut Asy’arī.Dan, sebagai pembelaannya, yang kuat terhadap kebebasan memberi kritik, dia sebagai seorang Mu’tazilah modern. Seperti yang ditegaskan juga oleh Hourani bahwa Abduh walaupun termasuk salah seorang pemikir ortodok modern, akan tetapi paling tidak sedikit banyak telah terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah.
Tradisi Mu’tazilah yang dikembangkan oleh tokoh belakangan lebih bersifat reaksi terhadap kemandegan dan ketidakmapanan intelektual di dunia Islam. Umumnya memiliki tujuan yang sama menghilangkan kejumudan yang ada, oleh karena itu mereka lebih dikenal dengan reformis (pembaharu) atau modern sebagaimana Abduh. Jamaluddin al-Afghani yang telah menjadi guru dan teman perjuangan Abduh sedikit banyak telah mewariskan semangat dan ilmu kepada Abduh. Adapun yang menjadi landasan gerak al-Afghani adalah penyandaran akan keterbelakangan umat Islam dan menangkis pemikiran filsafat materialis Barat. Dalam masalah teologi sebagaimana juga Mu’tazilah, al-Afghani lebih mengedepankan kemampuan manusia dalam segala aktifitas untuk merespon terhadap apa yang ingin dicapainya, sebelum campur tangan Tuhan.
Premis 1 :
Masa kejayaan Mu’tazilah didukung oleh kondisi dimana setelah diproklamirkan teologi Mu’tazilah sebagai ajaran resmi tahun 872M.

Premis 2 :
Kondisi Mu’tazilah telah berbalik, hidup serba dalam kesulitan walau masa itu kemakmuran semakin merata akan tetapi tidak untuk dinikmati oleh pengikut Mu’tazilah.

Konklusi :
Pada masa kejayaan Mu’tazilah dan masa itu kemakmuran semakin merata, akan tetapi  pengikut Mu’tazilah dilarang menikmatinya.

Daftar Pustaka
Aḥmad Āmīn, (1978) Fajr al-Islam, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī
Aḥmad Āmīn, (t.t) Ḍuḥā al-Islām, Juz III, Beirūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī
Abduh, (1366H) Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairp: Dār al-Manār
Munawir, (1984) Ahmad Warson, al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif
Watt, W. Montgomery, (1990) Kejayaan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Nadwi, (t.t) Abdul Hasan Ali al-Husni, Pertarungan antara Alam Pikiran Islam dengan Alam Pikiran Barat, Bandung: al-Ma’arif
Nasution, Harun, (1987) Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press