Tuesday, April 9, 2019

[Lettycia Nia Wiviana] Asy ‘Ariyyah


 Teologi Asy ‘Ariyyah

A.    Objek Kajian
Kajian formal     : Teologi Asy’ariyyah
Kajian material   : ilmu kalam

B.     Asy’ariyyah
Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal- soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut: “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan rasul-Nya melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan yang disebut, sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam Asy’ariyah adalah Alqur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah ilmu kalam. Oleh karena dasar yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami Alqur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam maka muncul beberapa penilaian terhadap konsekuensi penggunaan ilmu kalam tersebut. Ada pun penilaian konsekuensi tersebut antara lain sebagai berikut : pertama, Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan; kedua, Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena, menurut Asy’ariyah, hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan sebagian dari kalangan Asy’ariyah dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf didahulukan atau nash dibelokkan agar sesuai dengan kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku’.
Namun demikian kedua konsekuensi akibat penggunaan ilmu kalam dalam penafsiran wahyu dan hadits tersebut agaknya masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Dalam masalah penggunaan akal dalam penafsiran wahyu misalnya, Abu al-Hasan sendiri menyarankan agar dalam penafsiran Alquran lebih merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan penafsiran yang mutawatir di kalangan shahabat. Dengan demikian klaim bahwa Asy’ariyah lebih mendahulukan akal dibandingkan naql pada saat keduanya bertentangan tidak sepenuhnya benar jika ditinjau dari pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Jika diamati, berkembangnya paham Asy’ariyah di berbagai negeri disebabkan beberapa faktor, di antaranya:
1.         Anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal kita telah ketahui betapa banyak penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah akidah, sehingga para ulama menyatakan Asy’ariyah bukanlah Ahlus Sunnah.
2.         Di sejumlah negara, paham ini didukung oleh para penguasa. Di kawasan Asia, aliran Asy’ariyah dijadikan aliran resmi Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) yang didirikan oleh Mahmud Gaznawi. Berkat jasa Mahmud Gaznawi itulah, aliran ini menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga Indonesia. Aliran Asy’ariyah berkembang sangat pesat pada abad ke-11 M, tepatnya pada masa kekuasaan Aip Arsalan dan Dinasti Seljuk (abad 11-14 M). Menurut sejarah, sang khalifah dibantu oleh perdana menteri yang begitu setia mendukung aliran Asy’ariyah, yakni Nizam al- Mulk. Pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
3.         Paham Asy’ariyah juga tersebar seiring menyebarnya Shufiyah (sufi).
4.         Paham ini banyak dianut tokoh-tokoh di mazhab fikih. Sebagai contoh, al-Baqilani, adalah tokoh Asy’ariyah yang merupakan tokoh mazhab Maliki.
5.         Tersebarnya buku-buku Asy’ariyah, bahkan dijadikan kurikulum standar di lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan lainnya.
6.         Kedustaan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
7.         Adanya sebagian orang yang masih memasukkan Asy’ariyah dalam kelompok Ahlus Sunnah.
8.         Difigurkannya sebagian tokoh Asy’ariyah.
9.         Menyebarnya kelompok dakwah yang membawa fikrah Asy’ariyah, seperti Jamaah Tabligh dan thariqat-thariqat (tarekat-tarekat) shufiyah.
10.     Banyak lembaga pendidikan baik perguruan tinggi maupun lainnya memasukkan akidah Asy’ariyah dalam kurikulum mereka.

Premis 1 :
Al-asy’ari didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari karena perbedaan pendapat dengan paham Mu’tazilah.
Premis 2:
Al-asy’ari berpendapat  kebaikan dari pendapat aliran Mu’tazilah karena kekecewaan Abu Asy’ari dengan al-Juba’i.
Premis 3 :
Al-lasy’ari berkembang pesat hingga meuju ke Indonesia dengan bukti adanya organisasi Nahdlatul ‘Ulama yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Konklusi :
Pendiri Al-Asy’ari adalah Abu Hasan al-Asy’ari. Al-asy’ari sendiri didirikan karena pketidak sepahaman dengan Mu’tazilah. Penyebaran pemahaman al-Asy’ari melalui tokoh-tokoh terkemuka dengan argumentasi-argumentasi yan kuat sehingga masuk ke Indonesia.



Daftar Pustaka

Harun Nasution, (1986) Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press
Soekama Karya,  (1996)  Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Logos, Jakarta
Muhammad Ahmad, (2009) Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
Abdul Rozak, (2007) Ilmu kalam, Bandung: Pustaka setia
Harun Nasution, (1975) Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Hanafi, (2003) Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna