Teologi Ibnu Taimiyah
A.
Objek Kajian
Kajian formal : Teologi
Ibnu Taimiyah
Kajian material : ilmu kalam
Nama lengkap
beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin
Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang dikenal dengan nama Ibnu
Taimiyyah. Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (termasuk dalam
wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H bertepatan dengan 22
Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang yang alim. Sejak kecil
beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas, keinginan dan motivasi
untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh
pendirian, beramal saleh serta merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau
tumbuh di Damaskus dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai fuqaha. Pertama
kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di Kairo. Potensi dan bakat serta
usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia
menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif.Saat
ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai
dari pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting
ayahnya yaitu sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada
tanggal 2 Muharram 683 H merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di
bawah kepemimpinannya. Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu
Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang
selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir Alquran. Pada akhir
hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya,
serta dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi
pukulan paling berat bagi dirinya. Beliau meninggal dunia pada usia 65 tahun,
yaitu pada malam Senin 20 Dzulqa’dah 728 H/26 September 1328 M. Beliau
merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.
Pemikiran Ibn Taimiyah
Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadits.
Setiap ahli fiqh dari keempat imam
madzhab yang sudah kita kenal, masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok
sebagai sandaran dan tempat kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu
Taimiyyah bukanlah imam madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok, sebagaimana
keempat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum fiqh yang
ia istinbatkan bersandar kepada imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal.
Meskipun secara umum ushul fiqh Ibnu
Taimiyyah sama dengan ushul fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam beberapa hal, ada
perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaab tersebut adalah sebagi berikut:
Ibnu Taimiyyah meletakkan hadith sebagai
sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal fatwa
sahabat sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an dan sunnah.
Ibnu Taimiyyah meletakkan ijma' sebagai
sumber hukum yang ketiga. Sedangkan sumber hukum yang ketiga bagi Imam Ahmad
bin Hanbal adalah hadith mursal dan hadith da'if. Ditempatkannya ijma' pada
urutan ketiga oleh Ibnu Taimiyyah bukan tanpa alasan. Ia merujuk pada beberapa
asar para sahabat Nabi, di antaranya ucapan Umar bin alKhattab yang berkata
"Putuskanlah perkara itu menurut hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau
tidak ada (dalam al-Qur'an), putuskanlah sesuai dengan sunnah Rasul, dan kalau
tidak ada (dalam sunnah Rasul),
putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh umat manusia".
Sumber hukum yang keempat yang digunakan
oleh Ibnu Taimiyyah adalah qiyas. Ibnu Taimiyyah membagi qiyas dalam dua macam,
yaitu qiyas sahih (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas) dan
qiyas fasid (analogi yang didasarkan pada illat yang dibuat-buat).
Selanjutnya Dr. Muhammad Yusuf Musa
dalam bukunya yang berjudul Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ushul fiqh yang
mewarnai fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah
sebagai berikut:
Kitab dan Sunnah: Al-Qur'an dan hadith
Ijma': yang disepakati oleh seluruh kaum
muslimin adalah ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan
oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa
dijadikan dasar hukum.
Qiyas:
yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang sesuai dengan nash,
pernah dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh
Rasulullah serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat ada
sahabat yang melakukannya.
Istishab: Menurut Ibnu Taimiyyah,
istishab adalah tetap berpegang pada hukum asal, selama hukum itu belum
diketahui tetap ada atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi
ketidak-adaan ittifaq.
Mashlahah Mursalah: Ibnul Qayyim, murid
Ibnu Taimiyyah, benarbenar memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada
fiqh imam Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh, dia
tidak membicarakan masalah maslahah mursalah, padahal madzhabmadzhab yang lain
membicarakannya.
Pro dan Kontra Pemikiran Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyyah banyak mengetahui masalah
fiqh Islam dari berbagai madzhab yang ada. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
pengetahuannya tentang fiqh berbagai madzhab lebih luas dan mendalam daripada
pengetahuan penganut-penganut madzhab itu sendiri. Ia memahami dengan mendalam
perbedaan pendapat ulama', mengetahui masalah-masalah ushul dan furu'.
Pengetahuannya tentang fiqh itu juga di barengi penguasaan yang mendalam
terhadap ushul fiqh. Hal ini terlihat dengan kesanggupannya untuk tampil
sebagai mufti sejak berumur 20 tahun.
Telah kita ketahui bahwa Ibnu Taimiyyah
adalah pengikut madzhab Hanbali. Namun dalam berbagai pendapat fiqh dan
ushulnya kita temukan ketidaksamaannya dengan pendapat imamnya. Oleh karena itu
pantaslah kalau dia disebut mujtahid baru. Kamaluddin bin al-Zamlakani sebagai
seorang ulama' di masanya juga mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah memenuhi
syarat-syarat ijtihad.
Ibnu Taimiyyah mempunyai banyak sekali
pendapat tentang hukum Islam. Jika diklarifikasikan, maka pendapat-pendapatnya
itu dapat kita bagi dalam tiga golongan
Premis 1 :
Ibnu
Taimiyah bernama asli Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah
al-Harrani.
Premis 2 :
Ibnu Taimiyah yang merupakan pengikut setia Ahmad bin Hambal, Metode
berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith.
Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadits.
Premis 3 :
Pendapat beliau juga banyak yang bertentangan dengan
pendapat-pendapat seluruh Imam Madzhab Islam
Konklusi
:
Pendiri Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin
Muhammad bin Taimiyah al-Harrani, yang merupakan pengikut setia Ahmad bin
Hambal, dan juga banyak pendapat beliau yang bertentangan dengan seluruh Imam
Madzhab Islam.