Nama : Islahul Dhea Alfansyah
Kelas : A2
NIM : B91217123
Objek
Kajian : Ilmu Kalam
Objek
Mterial : Syi’ah
Doktrin Islam Syiah di Indonesia
A. Sejarah
Aliran Syiah
orang-orang syiah pada awalnya mereka adalah orang-orang yang
mencintai nabi dan keturunan nabi. Bahkan mereka berlomba-lomba untuk
memulyakan ahlulbait yang termotivasi dari penjelasan rasulullah Saw sendiri
terkait beberapa tafsir ayat contohnya surat al Bayinah. Dengan kata lain cikal
bakal syiah dalam arti orang-orang yang mencintai ahlulbait telah ada sejak
rasulullah Saw hidup. Kemudian golongan syiah ini mengalami perluasan makna
pada pemililihan khalifah di saqifah bani saidah. Mereka mengusulkan nama Ali
bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah Saw. Fakta ini kemudian muncul
kembali pada perang siffin yang menghasilkan abritase diantara kedua belah
pihak. Dimana orang-orang syiah ini menampakan jati dirinya sebagai pendukung
Ali dan hingga saat ini faham inilah yang muncul sebagai sebuah madzhab teologi
dalam Islam.[1]
Dalam islam terdapat dua golongan yang saling bersinggungan dan
bertentangan baik secara ideologis maupun metodologis. Dua golongan tersebut
adalah golongan Ahl alSunnah
wa al-Jamā’ah (Sunnī) dan Shī’ah. Sejarah
mencatat bahwa perseteruan golongan tersebut bermula sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW dan beliau tidak menunjuk seorang pimpinan yang akan
menggantikannya sebagai khalifah.[2]
B.
Beberapa Kelompok Syi’ah
Abu al-Khair
al-Baghdâdi, membagi Syiah dalam empat kelompok besar yaitu
Zaidiyah, Ismailliyah, Isna ‘Asyariyah, Ghulat (ekstremis).[3]
Syiah menjadi problem baru di Indonesia
setelah ratusan tahun hidup bersama. Saat ini, perlakuan terhadap Syiah sudah
mengarah pada bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama. Padahal,
budaya Syiah sudah menjadi bagian dari tradisi keagamaan di Indonesia. Oleh
karena itu permasalahan penelitian yang perlu dijawab yaitu, bagaimana sejarah
munculnya Syiah dan perkembangan Syiah di Indonesia? Melaui penelitian library
reseach dengan pendekatan analisis kritis penelitian ini menemukan bahwa Syiah
adalah paham keagamaan yang menyandarkan pada pendapat Sayyidina Ali (khalifah
keempat) dan keturunannya yang muncul sejak awal pemerintahan khulafauurasidin.
Syiah berkembang menjadi puluhan sekte-sekte karena persolaan Imamah. Sedangkan,
perkembangan Syiah di Indonesia melalui empat tahap, yaitu: Pertama, bersamaan
dengan masuknya Islam di Indonesia; Kedua, pasca revolusi Islam Iran; Ketiga,
Melaui Intelektual Islam Indonesia yang belajar di Iran; dan Keempat, Tahap
keterbukaan melalui Pendirian Organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia.[4]
Juga ada doktrin sesat yang diajarkan Syiah, yang seperti ini. Ali bin Abi Thalib yang diklaim sebagai imam Syi’ah yang pertama
dinyatakan sebagai dzat yang pertama dan terakhir, yang dhahir dan yang bathin
sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hadid, 57: 3 (Rijalul Kashi hal. 138).
Doktrin semacam ini jelas merupakan kekafiran Syi’ah yang berdusta atas nama
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan doktrin semacam ini Syi’ah menempatkan Ali
sebagai Tuhan. Dan hal ini sudah pasti merupakan tipu daya Syi’ah terhadap kaum
muslimin dan kesucian aqidahnya. [5]
pengaruh kelompok Syiah semakin
menguat ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Ide revolusi
berkaitan dengan pemerintahan otoriter Indonesia pada waktu itu cukup mudah
diterima di kalangan kampus. Pemikiran Ali Syariati cukup dominan karena banyak
ilmuwan yang kagum dengan cara berfikir beliau dalam mewujudkan pemerintahan
yang demokratis. Termasuk pemikiran Mullah Sadra Mutahhari yang egaliter dalam
mewujudka7san keadilan sosial dan moralitas dalam kehidupan budaya, ekonomi dan
politik masyarakat. Karena itu pula, semakin banyak masyarakat
Indonesia yang belajar ke Iran, dan akhirnya menjadi kader Syiah.[6]
C.
Perkembangan
Syiah di Dunia dan Indonesia
Pada
tahap awal penyebaran Syiah, perkembangan Syiah tidak banyak mengalami benturan
dengan kelompok lain, karena pola dakwah yang dilakukan. Prinsip taqiyah digunakan untuk
menghindari tekanan dari pihak penguasa. Selama periode pertama, hubungan antara
Sunni dan Syiah di Indonesia, pada umumnya, sangat baik dan bersahabat tidak
seperti yang terjadi di negeri-negeri lain seperti, misalnya, Pakistan, Irak,
atau Arab Saudi. Meskipun demikian pernah terjadi insiden seperti dibunuhnya
Hamzah Fansuri karena dituduh menyebarkan faham waḥdat al-wujûd.[7]
Generasi
kedua, sebelum meletus revolusi Iran tahun 1979, Syiah sudah ada di Indonesia,
baik imamiyyah, zaidiyyah, maupun isma’iliyyah. Mereka menyimpan keyakinan itu
hanya untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga yang sangat terbatas, karena
itu mereka bersikap sangat eksklusif, belum ada semangat untuk menyebarkan
pahamnya kepada orang lain.[8]
Generasi
ketiga, di dominasi oleh kalangan intelektual, yang kebanyakan dari kalangan
perguruan tinggi. Tertarik kepada syiah sebagai alternatif pemikiran islam,
mereka lebih tertarik terhadap pemikiran syiah dari pada ritus-ritus atau
fiqihnya. Dari segi struktur sosial, generasi ini terdiri dari kelompok
menengah keatas, dari mahasiswa dan akademisi perguruan tinggi. Dari segi
mobilitas, banyak diantara mereka yang memiliki akses hubungan islam
internasional. Sedangkan dari segi ideologi, lebih cenderung radikal.[9]
Generasi
keempat, kelompok ini yang mulai mempelajari fikih syiah, bukan hanya pada
pemikiran, tetapi mereka juga mulai berkonflik dengan kelompok lainya, dan
mereka sangat bersemangat sekali dalam penyebaran ajaran syiah, dan dimensi
intelektual mereka menjadi rendah karena mereka sibuk dengan fikih, menganggap
generasi kedua yang fokus pada pemikiran adalah bukan syiah yang sebenarnya.
Dan cenderung memposisikan dirinya sebagai representasi original tentang faham
syiah atau sebagai pemimpin syiah di Indonesia.[10]
Sebagai generasi millennial yang
sudah mengetahui bagaimana seluk beluk politik dalam Syiah, alangkah baiknya
tidak sampai terpengaruh dari ajaran-ajaran itu, meskipun di Indonesia
diperbolehkan menganut ajaran Syiah, sebagai warga Sunni atau Nahdhatul Ulama’
sudah sepantasnya kita juga harus membentengi diri dari semua yang bertentangan
dari ajaran Sunni.
Premis 1:Awalnya
orang-orang Syiah mencintai ahlul bait dan para sahabat, akan tetapi setelah
perang Shiffin ada suatu maslahah yang diputuskan oleh Ali menyebabkan menjadi
dua kubu golongan, yakni pendukung Ali (Syi’ah) dan Keluarnya pendukung Ali disebut sebagai
(Khawarij).
Premis 2 : Abu al-Khair
al-Baghdâdi, membagi Syiah dalam empat kelompok besar yaitu
Premis 3 : Syi’ah
sudah ada sejak generasi kedua sebelum meletus
revolusi Iran tahun 1979, Syiah sudah ada di Indonesia,
Konklusi
: Kaum syiah adalah pendukung dai Khalifah
Ali bin Abi Thalib, dan Abu al-Khair al-Baghdadi membagi Syiah menjai empat
golongn besar, dan Syiah di Indonesia sudah ada sejak generasi kedua.
[1] Oki Setiana
Dewi, “Syiah: Dari Kemunculannya Hingga Perkembangannya di Indonesia”,
Jurnal Studi Al-Qur’an, 2016, diakses dari http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jsq/article/download/3842/2861/
[3] . Al-Baghdadi, Al-Farq
Bayna Al-Firoq, (Beirut Dar-Ma’rifah, T-Th), Hlm.76.
[5] Sa’ad
Saefullah, “17 doktrin sesat ajaran Syiah”, Islam pos.com, diakses dari http://download.media.islamway.net/articles/id/id_Dokrin_sesat-ajaran_Syiah.pdf, pada tanggal
25 Februari 2019 pukul 21.10
[6] Gonda Yumitro, “Pengaruh Pemikiran Dan Gerakan Politik Syiah Iran Di Indonesia”, Jurnal Islam, diakses darihttps://www.google.co.id/search?safe=strict&client=ucwebb&chanel=ab&q=jurnal+syiah+pdf=X&ved=2ahUKEwjFooapNbgAhVJHFbhckg
[7]
. Abbas, Sirojuddin. I’itiqad Ahlussunnad
Wal-Jama’ah. Hlm.138
[8]
. Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan
Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia, (Gema Insani, Depok, T-Th),
Hlm.87
[9]
. Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan
Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia,
Hlm.88
[10]
. Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan
Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia,
Hlm.89