Nama : Islahul Dhea
Alfansyah
Kelas : A2
NIM : B91217123
Objek
Kajian : Ilmu Kalam
Objek
Material : Asy’Ariyah
ASY’ARIYAH DALAM TEOLOGI
Asy’ariah
adalah nama suatu aliran dalam teologi Islam yang dikenal sebagai aliran Ahli
Sunnah dan Jama’ah.[1]
Kata Asy’ariah diambil dari nama seorang tokoh pendiri aliran ini, yaitu Abu
al-Hasan al-Asy’ari. Pada mulanya al-Asy’ari adalah penganut aliran Mu’tazilah
yang ternama, tetapi setelah berumur 40 tahun ia meninggalkan aliran Mu’tazilah
dan mencetuskan paham baru yang dikenal sebagai aliran Ahl as-Sunnah wa
al-Jama’ah.
Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, keturunan Abu
Musa al-Asy’ari, seorang tahkim dalam peristiwa Perang Siffin dari pihak Ali.
Dia lahir di kota Bashrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 324 H (935 M)
di Baghdad.[2] Pada
awalnya ia berguru kepada seorang pendekar Mu’tazilah waktu itu bernama Abu Ali
al-Jubai. Memang dahulunya al-Asy’ari ini merupakan penganut paham Mu’tazilah,
namun terasa baginya sesuatu yang tidak cocok dengan Mu’tazilah yang pada
akhirnya condong kepada ahli fiqih dan ahli hadits.
Setelah lama-lama berpikir dan merenungkan antara
ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadits, maka ketika
dia sudah berumur 40 tahun dia bersembunyi di dalam rumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Tepat pada hari jumat, dia berdiri di atas
mimbar mesjid Bashrah dan secara resmi menyatakan keluar dari Mu’tazilah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari
Abu
Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Ismail ibn Abu
Basyr ibn Ismail ibn Abdullah ibn Musa ibn Bilal ibn Abu Burdah ibn Abu Musa
al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal di
Baghdad pada tahun 324 H (935 M).
Asy’ari
kecil rajin mempelajari ilmu agama, terutama dalam ilmu bidang teologi yang
beraliran Mu’tazilah. Hal ini dapat dimaklumi karena ia dibesarkan di dalam
lingkungan keluarga yang mengikuti aliran Mu’tazilah. Maka dari itu sejak kecil
Asy’ari berada dalam asuhan Mu’tazilah. Ketika dewasa, Asy’ari sering diberi
tugas untuk menghadiri ceramah-ceramah, jika al-Jubba’I berhalangan. Karena
kemampuan intelektualnya dan pandai berdebat, maka al-Asy’ari menjadi salah
seorang tokoh aliran Mu’tazilah yang kenamaan dan menjadi andalan
al-Jubaa’I. Al-Jubba’I merupakan tokoh
Mu’tazilah yang kuat dan gigih membela-membela ajaran-ajarannya pada waktu itu,
dan menikah dengan ibunda Asy’ari setelah ayahnya Asy’ari meninggal.[3]
Asy’ari
sering melakukan dialog dengan al-Jubba’I yang
berakhir dengan ketidakpuasaan dan tidak mendapatkan penyelesaian. Yang
pada gilirannya, ia justru meninggalkan aliran Mu’tazilah.
1. Sifat Tuhan
Menurut Asy’ari Tuhan mempunyai sifat seperti Ilm,
Qudrah, Sama’, Bashar dan kalam. Sifat-sifat tersebut bukanlah Dzat-nya.
Berlainan dengan paham Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Dalil
naqli yang dijadikan dasar oleh al-
2. Kedudukan al-Qur’an
Menurut al-Asy’ari, al-Qur’an
adalah kalamullah dan bukan makhluk. Jika kalamullah makhluk berarti al-Quran
diciptakan, dan Tuhan menciptkannya dengan kata-kata kun. Untuk
meciptakan kun (yang terdapat di dalam al-Qur’an perlu pula kun
lainnya, sehingga terdapat sederetan kata-kata kun. Hal ini menurut
al-Asy’ari tidak mungkin. Dengan demikian, al-Qur’an tidak mungkin diciptakan.
3. Kedudukan Akal
Akal manusia tidak dapat
mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak. Kewajiban hanya dapat
diketahui oleh wahyu. Al-Asy’ari mendasarkan pendapatnya pada dalil al-Qur’an
surah al-Israa’ ayat 15. Begitu juga mengenai kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan, pahala orang yang taat dan siksaan orang yang maksiat, hanya wajib
diketahui dengan wahyu, bukan dengan
akal.[4]
4. Perbuatan Manusia dan Kehendak
Mutlak Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa
perbuatan manusia tidak akan terlepas dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Menurutnya pendapatnya, manusia tidak mampu menciptakan apapun, bahkan
sebenarnya manusialah yang diciptakannya. Pendapat ini didasarkan pada firman
Allah swt pada surah al-Insaan ayat 30.
1. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari
dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping
itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati
orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2. Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan
intelektual dan birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran paham ini.Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam
bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan
ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan
karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Pengaruh
Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara formal
konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak
langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu
keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman
merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga
menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam.
Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai
satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
Premis
1 : Al-Asy’ari adalah didirikan oleh
Abu Hasan al-Asy’Ary karena ketidak sependapatan dengan paham Mu’tazilah.
Premis 2 :
Al-Asy’ari berpendapat kebalikan
dari pendapat aliran Mu’tazilah karena kekecewaan Abu Asy’ari dengan Al-Juba’I
Premis
3 : Aliran Al-Asy’ari berkembang pesat
hingga menuju ke Indonesia dengan bukti adanya organisasi Nahdlatul Ulama’ yang
berfaham Ahlussunnah Wal Jamaa’ah.
Konklusi :
Al-Asy’ari
pendirinya adalah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dengan paham yang berbeda dengan
aliran Mu’tazilah, Asy’ari ,enyebarkan pahamnya melalui para tokoh-tokoh
terkenal dengan argumentasi-argumentasi yang kuat, hingga sampai di Indonesia.
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986, h.64
[2] Yusran
Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada) h.121
[3]
Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: KENCANA, 2014) h.109
[4]
Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah’an Ushul al-Diyanah, (Kairo: maktabah
al-Nahdah al-Misriyyah, 1969) h.102