Tuesday, April 9, 2019

[Islahul Dhea] Aliran Asy'ariyah


Nama  : Islahul Dhea Alfansyah
Kelas   : A2
NIM    : B91217123

Objek Kajian             : Ilmu Kalam
Objek Material          : Asy’Ariyah

ASY’ARIYAH DALAM TEOLOGI


            Asy’ariah adalah nama suatu aliran dalam teologi Islam yang dikenal sebagai aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah.[1] Kata Asy’ariah diambil dari nama seorang tokoh pendiri aliran ini, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Pada mulanya al-Asy’ari adalah penganut aliran Mu’tazilah yang ternama, tetapi setelah berumur 40 tahun ia meninggalkan aliran Mu’tazilah dan mencetuskan paham baru yang dikenal sebagai aliran Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.     
Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, keturunan Abu Musa al-Asy’ari, seorang tahkim dalam peristiwa Perang Siffin dari pihak Ali. Dia lahir di kota Bashrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 324 H (935 M) di Baghdad.[2] Pada awalnya ia berguru kepada seorang pendekar Mu’tazilah waktu itu bernama Abu Ali al-Jubai. Memang dahulunya al-Asy’ari ini merupakan penganut paham Mu’tazilah, namun terasa baginya sesuatu yang tidak cocok dengan Mu’tazilah yang pada akhirnya condong kepada ahli fiqih dan ahli hadits.
Setelah lama-lama berpikir dan merenungkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadits, maka ketika dia sudah berumur 40 tahun dia bersembunyi di dalam rumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Tepat pada hari jumat, dia berdiri di atas mimbar mesjid Bashrah dan secara resmi menyatakan keluar dari Mu’tazilah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari
            Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali ibn Ismail ibn Abu Basyr ibn Ismail ibn Abdullah ibn Musa ibn Bilal ibn Abu Burdah ibn Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H (873 M) dan meninggal di Baghdad pada tahun 324 H (935 M).
            Asy’ari kecil rajin mempelajari ilmu agama, terutama dalam ilmu bidang teologi yang beraliran Mu’tazilah. Hal ini dapat dimaklumi karena ia dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang mengikuti aliran Mu’tazilah. Maka dari itu sejak kecil Asy’ari berada dalam asuhan Mu’tazilah. Ketika dewasa, Asy’ari sering diberi tugas untuk menghadiri ceramah-ceramah, jika al-Jubba’I berhalangan. Karena kemampuan intelektualnya dan pandai berdebat, maka al-Asy’ari menjadi salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah yang kenamaan dan menjadi andalan al-Jubaa’I.  Al-Jubba’I merupakan tokoh Mu’tazilah yang kuat dan gigih membela-membela ajaran-ajarannya pada waktu itu, dan menikah dengan ibunda Asy’ari setelah ayahnya Asy’ari meninggal.[3]
            Asy’ari sering melakukan dialog dengan al-Jubba’I yang  berakhir dengan ketidakpuasaan dan tidak mendapatkan penyelesaian. Yang pada gilirannya, ia justru meninggalkan aliran Mu’tazilah.
1.      Sifat Tuhan
Menurut Asy’ari Tuhan mempunyai sifat seperti Ilm, Qudrah, Sama’, Bashar dan kalam. Sifat-sifat tersebut bukanlah Dzat-nya. Berlainan dengan paham Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Dalil naqli yang dijadikan dasar oleh al-
2.      Kedudukan al-Qur’an
Menurut al-Asy’ari, al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Jika kalamullah makhluk berarti al-Quran diciptakan, dan Tuhan menciptkannya dengan kata-kata kun. Untuk meciptakan kun (yang terdapat di dalam al-Qur’an perlu pula kun lainnya, sehingga terdapat sederetan kata-kata kun. Hal ini menurut al-Asy’ari tidak mungkin. Dengan demikian, al-Qur’an tidak mungkin diciptakan.
3.      Kedudukan Akal
Akal manusia tidak dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak. Kewajiban hanya dapat diketahui oleh wahyu. Al-Asy’ari mendasarkan pendapatnya pada dalil al-Qur’an surah al-Israa’ ayat 15. Begitu juga mengenai kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, pahala orang yang taat dan siksaan orang yang maksiat, hanya wajib diketahui  dengan wahyu, bukan dengan akal.[4]
4.      Perbuatan Manusia dan Kehendak Mutlak Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak akan terlepas dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurutnya pendapatnya, manusia tidak mampu menciptakan apapun, bahkan sebenarnya manusialah yang diciptakannya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt pada surah al-Insaan ayat 30.

1.      Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2.      Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran paham ini.Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara formal konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam. Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.

Premis 1         : Al-Asy’ari adalah didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’Ary karena ketidak sependapatan dengan paham Mu’tazilah.
Premis            2         : Al-Asy’ari berpendapat kebalikan dari pendapat aliran Mu’tazilah karena kekecewaan Abu Asy’ari dengan Al-Juba’I
Premis 3         : Aliran Al-Asy’ari berkembang pesat hingga menuju ke Indonesia dengan bukti adanya organisasi Nahdlatul Ulama’ yang berfaham Ahlussunnah Wal Jamaa’ah.
Konklusi         :
Al-Asy’ari pendirinya adalah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dengan paham yang berbeda dengan aliran Mu’tazilah, Asy’ari ,enyebarkan pahamnya melalui para tokoh-tokoh terkenal dengan argumentasi-argumentasi yang kuat, hingga sampai di Indonesia.


[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, h.64
[2] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)  h.121
[3] Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: KENCANA, 2014) h.109
[4] Abu al-Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah’an Ushul al-Diyanah, (Kairo: maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1969) h.102