Nama : Islahul Dhea Alfansyah
Kelas : A2
NIM : B91217123
Objek
Kajian : Ilmu Kalam
Objek
Material : Pemikiran Ibnu
Taimiyah
Ibnu Taimiyah
A.
Biografi Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin
Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang
dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia
Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H
bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang
yang alimSejak kecil beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas,
keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah
dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta merupakan seorang pejuang
kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai
fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di KairoPotensi dan
bakat serta usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang
berprestasi. Ia menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang
produktif.Saat ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu
baru saja selesai dari pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan
jabatan penting ayahnya yaitu sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis
as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H merupakan hari pertama ia mengajar
di Almamaternya di bawah kepemimpinannya. Setahun setelah itu, pada tanggal 10
Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di Mesjid Umayyah di
Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir Alquran.Pada
akhir hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak
menyukainya, serta dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah
yang menjadi pukulan paling berat bagi dirinya. Beliau meninggal dunia pada
usia 65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26 September 1328 M.
Beliu merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.
B.
Pemikiran Ibn Taimiyyah
Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith.
Setiap ahli fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah kita kenal,
masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan tempat
kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu Taimiyyah bukanlah imam madzhab
yang mempunyai dasar-dasar pokok, sebagaimana keempat madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum fiqh yang ia istinbatkan bersandar kepada
imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal.
Meskipun secara umum ushul fiqh Ibnu Taimiyyah sama dengan ushul
fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam beberapa hal, ada perbedaan antara keduanya.
Perbedaan-perbedaab tersebut adalah sebagi berikut:
a. Ibnu Taimiyyah meletakkan hadith sebagai sumber hukum kedua setelah
al-Qur'an. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal fatwa sahabat sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur'an dan sunnah.
b. Ibnu Taimiyyah meletakkan ijma' sebagai sumber hukum yang ketiga.
Sedangkan sumber hukum yang ketiga bagi Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadith
mursal dan hadith da'if. Ditempatkannya ijma' pada urutan ketiga oleh Ibnu
Taimiyyah bukan tanpa alasan. Ia merujuk pada beberapa asar para sahabat Nabi,
di antaranya ucapan Umar bin alKhattab yang berkata "Putuskanlah perkara
itu menurut hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalam
al-Qur'an), putuskanlah sesuai dengan sunnah Rasul, dan kalau tidak ada (dalam sunnah Rasul), putuskanlah berdasarkan
hukum yang telah disepakati oleh umat manusia".
c. Sumber hukum yang keempat yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah
qiyas. Ibnu Taimiyyah membagi qiyas dalam dua macam, yaitu qiyas sahih (analogi
yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas) dan qiyas fasid (analogi yang
didasarkan pada illat yang dibuat-buat).
Selanjutnya Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya yang berjudul Ibnu Taimiyyah menyebutkan
bahwa ushul fiqh yang mewarnai fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh
Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut:
Kitab dan Sunnah:
Al-Qur'an dan hadith
Ijma': yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah ijma' yang
dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama' selain
mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Qiyas: yang dimaksud di sini
adalah qiyas yang shahih yang sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat
dalam pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah serta menanggapi
kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat ada sahabat yang melakukannya.
Istishab: Menurut Ibnu Taimiyyah,
istishab adalah tetap berpegang pada hukum asal, selama hukum itu belum
diketahui tetap ada atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi
ketidak-adaan ittifaq.
Mashlahah Mursalah: Ibnul Qayyim,
murid Ibnu Taimiyyah, benarbenar memberikan perhatiannya yang tidak sedikit
kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh,
dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah, padahal madzhabmadzhab yang
lain membicarakannya.
C.
Pro dan Kontra Pemikiran Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyyah banyak mengetahui masalah fiqh Islam dari berbagai
madzhab yang ada. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pengetahuannya tentang fiqh
berbagai madzhab lebih luas dan mendalam daripada pengetahuan penganut-penganut
madzhab itu sendiri. Ia memahami dengan mendalam perbedaan pendapat ulama',
mengetahui masalah-masalah ushul dan furu'. Pengetahuannya tentang fiqh itu
juga di barengi penguasaan yang mendalam terhadap ushul fiqh. Hal ini terlihat
dengan kesanggupannya untuk tampil sebagai mufti sejak berumur 20 tahun.
Telah kita ketahui bahwa Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab
Hanbali. Namun dalam berbagai pendapat fiqh dan ushulnya kita temukan
ketidaksamaannya dengan pendapat imamnya. Oleh karena itu pantaslah kalau dia
disebut mujtahid baru. Kamaluddin bin al-Zamlakani sebagai seorang ulama' di
masanya juga mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah memenuhi syarat-syarat
ijtihad.
Ibnu Taimiyyah
mempunyai banyak sekali pendapat tentang hukum Islam. Jika diklarifikasikan,
maka pendapat-pendapatnya itu dapat kita bagi dalam tiga golongan
a. Pendapat-pendapat yang berisikan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Kumpulan pendapat yang tidak mencirikan suatu madzhab tertentu,
tapi menurut pemikiran Ibnu Taimiyyah sendiri.
c. Pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat-pendapat
keseluruhan Imam madzhab Islam.
Penyusunan pendapatnya ke dalam tiga klarifikasi ini merupakan
suatu hal yang biasa dilakukan oleh seorang manusia, di mana pada masamasa
permulaannya masih begitu setia dengan imam madzhabnya, sehinga pikiran-pikiran
sang imam menjadi panutan, namun setelah lama pikiran-pikiran imamnya itu, dia
pun mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki sang imam. Pada fase
berikutnya dia pun menulis dengan ciri tersendiri, dan tidak heran kalau
menyerang pendapat-pendapat yang menyerangnya.
Berikut ini adalah pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah yang
berhubungan dengan masalah fiqh:
a.
Kedewasaan
sebagai penghapus hak ijbar
Dalam salah satu hadith dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW.
bersabda:"الايم احق بنفسها من وليها" . Dari hadith ini,
para ulama' di antaranya Daud al-Zhahiri berpendapat bahwa wali mempunyai hak
ijbar (memaksa) terhadap anak gadis, dan tidak mempunyai hak ijbar terhadap
anak yang sudah janda.
Ibnu Taimiyyah tidak sependapat dengan pandangan di atas yang
antara lain dikemukakan oleh imam al-Zhahiri. Menurut Ibnu Taimiyyah. Hak ijbar
tidak terletak pada kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadith secara
eksplisit dikatakan janda (al-ayyim), tetapi pada kedewasaan.
b.
Pengangkatan
pemimpin termasuk kewajiban agama
Dalam kitab al-Siyasah al-Shar'iyyah fi Islah
al-Ra'i wa al-Ra'iyyah, Ibnu
Taimiyyah mengatakan bahwa mengangkat pemimpin merupakan salah satu kewajiban
agama. Sebab kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali bermasyarakat
yang antara satu dengan yang lainnya saling memerlukan. Karena bermasyarakat,
manusia wajib menjadikan salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.
Dalam pandangnnya, pemimpin adalah bayang-bayang atau wakil Tuhan
di bumi. Di samping itu, menurutnya keberadaan pemimpin yang tidak adil lebih
maslahat daripada terjadi kekosongan pemimpin.
Seperti yang kita ketahui bahwa akad akan menjadi sah apabila rukun
dan syaratnya terpenuhi. Namun salah seorang yang berakad kadang-kadang
menjadikan akad itu sebagai suatu alat untuk kepentingan pribadi yang keluar
dari syara', tapi tidak haram, hanya mubah. Apakah akad itu sah karena rukunnya
lengkap, yaitu ada ijab dan qabul? Atau tidak sah sebab untuk tujuan yang tidak
disyari'atkan?.
Abu Hanifah menganggap akad ini sudah sah, sebab sudah ada ijab dan
qabulnya. Niat tujuan yang tidak diperbolehkan menurut syara' sifatnya abstrak,
dan hanya Allah yang mengetahui. Pendapat Abu Hanifah ini pun disetujui oleh
imam Syafi'i.Namun menurut imam Ahmad bin Hanbal, akad itu tidak sah meskipun
ijab dan qabulnya sudah lengkap, sebab tujuan akad dari jual beli itu sudah
diketahui. Pendapat ini disetujui oleh Ibnu Taimiyyah.
Bagi pendapat yang pertama (Abu Hanifah dan Syafi'i), jual beli
bahan-bahan pembuatan arak atau minuman keras diperbolehkan. Tapi bagi pendapat
yang kedua (Ahmad dan Ibnu Taimiyyah) tidak sah.Pendapat yang diikuti oleh Ibnu
Taimiyyah tampaknya lebih bersifat preventif dari terjangkitnya penyakit sosial
yang ditimbulkan oleh akibat minuman keras. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niatnya.
Menurut al-Thahawi, kalau seseorang mempunyai bahan pembuat minuman
keras boleh dijual. Namun dia hendaknya jangan menjualnya kepada orang yang
biasa membuat arak, sebab bahan pembuat arak itu tidak diharamkan, maka
menjualnya pun halal, yang penjualnya tidak mengetahui atau ada tanda-tanda
pada pembeli bahwa dia ingin membuat sesuatu yang haram dengan bahan belian
itu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam mengambil sebuah keputusan Ibnu
Taimiyyah lebih menekankan kepada
kemaslahatan umat.
Premis 1 : Ibnu Taimiyah nema aslinya adalah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim
bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani.
Premis 2 : Ibnu Taimiyah
yang merupakan pengikut seti Ahmad bin Hambal, Metode berfikirnya adalah
metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu,
pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadis.
Premis 3 :
Pendapat beliau juga banyak yang bertentangan dengan pendapat-pendapat
seluruh Imam Madzhab Islam
Konklusi : Pendiri Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abdul
Halim bin Muhaamd bin Taimiyah al-Harrani, yang merupakan pengikut setia Ahmad
bin Hambal, dan juga banyak pendapat beliau yang bertentangan dengan seluruh
Imam Madzhab Islam