Tuesday, April 9, 2019

[Islahul Dhea] Aliran Ibnu Taimiyah


Nama  : Islahul Dhea Alfansyah
Kelas   : A2
NIM    : B91217123

Objek Kajian             : Ilmu Kalam
Objek Material          : Pemikiran Ibnu Taimiyah


Ibnu Taimiyah

A.    Biografi Ibnu Taimiyyah

Nama lengkap beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang yang alimSejak kecil beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di KairoPotensi dan bakat serta usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif.Saat ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya. Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir Alquran.Pada akhir hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat bagi dirinya. Beliau meninggal dunia pada usia 65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26 September 1328 M. Beliu merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.

B.     Pemikiran Ibn Taimiyyah

Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya
Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith.
Setiap ahli fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah kita kenal, masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan tempat kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu Taimiyyah bukanlah imam madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok, sebagaimana keempat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum fiqh yang ia istinbatkan bersandar kepada imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal.
Meskipun secara umum ushul fiqh Ibnu Taimiyyah sama dengan ushul fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam beberapa hal, ada perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaab tersebut adalah sebagi berikut:
a.    Ibnu Taimiyyah meletakkan hadith sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal fatwa sahabat sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an dan sunnah.
b.    Ibnu Taimiyyah meletakkan ijma' sebagai sumber hukum yang ketiga. Sedangkan sumber hukum yang ketiga bagi Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadith mursal dan hadith da'if. Ditempatkannya ijma' pada urutan ketiga oleh Ibnu Taimiyyah bukan tanpa alasan. Ia merujuk pada beberapa asar para sahabat Nabi, di antaranya ucapan Umar bin alKhattab yang berkata "Putuskanlah perkara itu menurut hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), putuskanlah sesuai dengan sunnah Rasul, dan kalau tidak ada  (dalam sunnah Rasul), putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh umat manusia".
c.     Sumber hukum yang keempat yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah qiyas. Ibnu Taimiyyah membagi qiyas dalam dua macam, yaitu qiyas sahih (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas) dan qiyas fasid (analogi yang didasarkan pada illat yang dibuat-buat).
Selanjutnya Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya yang berjudul Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ushul fiqh yang mewarnai fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut:
Kitab dan Sunnah: Al-Qur'an dan hadith
Ijma': yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Qiyas:  yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat ada sahabat yang melakukannya.
Istishab: Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi ketidak-adaan ittifaq.
Mashlahah Mursalah: Ibnul Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benarbenar memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh, dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah, padahal madzhabmadzhab yang lain membicarakannya.

C.    Pro dan Kontra Pemikiran Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyyah banyak mengetahui masalah fiqh Islam dari berbagai madzhab yang ada. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pengetahuannya tentang fiqh berbagai madzhab lebih luas dan mendalam daripada pengetahuan penganut-penganut madzhab itu sendiri. Ia memahami dengan mendalam perbedaan pendapat ulama', mengetahui masalah-masalah ushul dan furu'. Pengetahuannya tentang fiqh itu juga di barengi penguasaan yang mendalam terhadap ushul fiqh. Hal ini terlihat dengan kesanggupannya untuk tampil sebagai mufti sejak berumur 20 tahun.
Telah kita ketahui bahwa Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab Hanbali. Namun dalam berbagai pendapat fiqh dan ushulnya kita temukan ketidaksamaannya dengan pendapat imamnya. Oleh karena itu pantaslah kalau dia disebut mujtahid baru. Kamaluddin bin al-Zamlakani sebagai seorang ulama' di masanya juga mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah telah memenuhi syarat-syarat ijtihad.
Ibnu Taimiyyah mempunyai banyak sekali pendapat tentang hukum Islam. Jika diklarifikasikan, maka pendapat-pendapatnya itu dapat kita bagi dalam tiga golongan
a.    Pendapat-pendapat yang berisikan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
b.    Kumpulan pendapat yang tidak mencirikan suatu madzhab tertentu, tapi menurut pemikiran Ibnu Taimiyyah sendiri.
c.     Pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat-pendapat keseluruhan Imam madzhab Islam.
Penyusunan pendapatnya ke dalam tiga klarifikasi ini merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh seorang manusia, di mana pada masamasa permulaannya masih begitu setia dengan imam madzhabnya, sehinga pikiran-pikiran sang imam menjadi panutan, namun setelah lama pikiran-pikiran imamnya itu, dia pun mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki sang imam. Pada fase berikutnya dia pun menulis dengan ciri tersendiri, dan tidak heran kalau menyerang pendapat-pendapat yang menyerangnya.
Berikut ini adalah pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah yang berhubungan dengan masalah fiqh:
a.         Kedewasaan sebagai penghapus hak ijbar
Dalam salah satu hadith dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:"الايم احق بنفسها من وليها" . Dari hadith ini, para ulama' di antaranya Daud al-Zhahiri berpendapat bahwa wali mempunyai hak ijbar (memaksa) terhadap anak gadis, dan tidak mempunyai hak ijbar terhadap anak yang sudah janda.
Ibnu Taimiyyah tidak sependapat dengan pandangan di atas yang antara lain dikemukakan oleh imam al-Zhahiri. Menurut Ibnu Taimiyyah. Hak ijbar tidak terletak pada kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadith secara eksplisit dikatakan janda (al-ayyim), tetapi pada kedewasaan.
b.        Pengangkatan pemimpin termasuk kewajiban agama
Dalam kitab al-Siyasah al-Shar'iyyah fi Islah al-Ra'i wa al-Ra'iyyah, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa mengangkat pemimpin merupakan salah satu kewajiban agama. Sebab kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali bermasyarakat yang antara satu dengan yang lainnya saling memerlukan. Karena bermasyarakat, manusia wajib menjadikan salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.
Dalam pandangnnya, pemimpin adalah bayang-bayang atau wakil Tuhan di bumi. Di samping itu, menurutnya keberadaan pemimpin yang tidak adil lebih maslahat daripada terjadi kekosongan pemimpin.
c. Larangan jual beli dengan tujuan ma'siat[1]
Seperti yang kita ketahui bahwa akad akan menjadi sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Namun salah seorang yang berakad kadang-kadang menjadikan akad itu sebagai suatu alat untuk kepentingan pribadi yang keluar dari syara', tapi tidak haram, hanya mubah. Apakah akad itu sah karena rukunnya lengkap, yaitu ada ijab dan qabul? Atau tidak sah sebab untuk tujuan yang tidak disyari'atkan?.
Abu Hanifah menganggap akad ini sudah sah, sebab sudah ada ijab dan qabulnya. Niat tujuan yang tidak diperbolehkan menurut syara' sifatnya abstrak, dan hanya Allah yang mengetahui. Pendapat Abu Hanifah ini pun disetujui oleh imam Syafi'i.Namun menurut imam Ahmad bin Hanbal, akad itu tidak sah meskipun ijab dan qabulnya sudah lengkap, sebab tujuan akad dari jual beli itu sudah diketahui. Pendapat ini disetujui oleh Ibnu Taimiyyah.
Bagi pendapat yang pertama (Abu Hanifah dan Syafi'i), jual beli bahan-bahan pembuatan arak atau minuman keras diperbolehkan. Tapi bagi pendapat yang kedua (Ahmad dan Ibnu Taimiyyah) tidak sah.Pendapat yang diikuti oleh Ibnu Taimiyyah tampaknya lebih bersifat preventif dari terjangkitnya penyakit sosial yang ditimbulkan oleh akibat minuman keras. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niatnya. 
Menurut al-Thahawi, kalau seseorang mempunyai bahan pembuat minuman keras boleh dijual. Namun dia hendaknya jangan menjualnya kepada orang yang biasa membuat arak, sebab bahan pembuat arak itu tidak diharamkan, maka menjualnya pun halal, yang penjualnya tidak mengetahui atau ada tanda-tanda pada pembeli bahwa dia ingin membuat sesuatu yang haram dengan bahan belian itu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam mengambil sebuah      keputusan        Ibnu     Taimiyyah       lebih    menekankan kepada kemaslahatan umat.

Premis 1 : Ibnu Taimiyah nema aslinya adalah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani.
Premis 2 : Ibnu Taimiyah yang merupakan pengikut seti Ahmad bin Hambal, Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadis.

Premis 3 :  Pendapat beliau juga banyak yang bertentangan dengan pendapat-pendapat seluruh Imam Madzhab Islam

Konklusi : Pendiri Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhaamd bin Taimiyah al-Harrani, yang merupakan pengikut setia Ahmad bin Hambal, dan juga banyak pendapat beliau yang bertentangan dengan seluruh Imam Madzhab Islam