Nama: Indri Wachidah W.T.
Kelas/NIM: A2/B91217122
Pemikiran Mu’tazilah
Kajian
Material: Ilmu Kalam
Kajian
Formal: Pemikiran Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari Fi’il Madhi ‘azala-azlan yang berarti memisahkan, atau semakna dengan tanha anhu yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Sedangkan kata Mu’tazilah berasal dari fi’il Madhi I’tizal dengan
ziyadah bi harfaini ( tambahan dua huruf) Alif dan Ta’, sehingga pada Isim Mashdar menjadi mu’tazalatun. Kaum Mu’tazilah berarti orangorang yang memisahkan diri. Luwis Ma’luf dalam Kamus
Al-Munjid
mengatakan bahwa Mu’tazilah adalah
kaum yang menjauhkan diri dari dua kelompok aliran
Kalam, yakni Ahlus Sunah dan Khawarij.[1]
Mu’tazilah
adalah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah pemikiran dunia Islam,
khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak menyumbangkan jasanya dalam
perkem-bangan dan kemajuan keintelektualan Islam dalam jangka panjang. Mereka telah bekerja dengan sekuat tenagaberupya
mem-benahi intern umat Islam dalam memerangi kebodohan dan ke-majuan
berpikir dan sebagai penolong dalam kemurnian tauhid. Terhadap
pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya perkembangan filsafat, yang tidak mampu
dibendung oleh kaum muslim orthodoks.[2]
Golongan teologi Islam
klasik terutama Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam
melalui dialogis filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi
Islam melalui argumentasi logis.
Mu’tazilah
adalah kelompok yang membangun pahamnya berdasarkan analisa akal. Dalam
menafsirkan agama, mereka menafsirkannya sesuai dengan logika akal. Mu’tazilah adalah aliran filsafat
dalam dunia Islam abad ke 8 dan ke 9. Disebut mu’tazilah atau I’tazala yaitu
mereka yang memisahkan diri dari jamhur ‘alim ulama yang dianggap
menyelewengkan ajaran Islam. Aliran ini mengajarkan lima prinsip (al-usul al
khamsah) untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran. 4 Aliran ini dirintis
oleh Wasil bin Ata’ (700-749 M) mempergunakan filsafat Aristoteles, dikenakan
baju Arab dan di warnai ‘itiqad Islam. Diantara masalah-masalah pokok
yang menjadi pusat perhatian Mu’tazilah adalah pembahasan tentang tindakan
manusia. Apakah manusia bebas melakukan tindakannya atau hanya menjalankan
kehendak Tuhan (terpaksa).[3]
Mu’tazilah
ini menurut Abduh merupakan aliran yang terlalu mencampuradukkan agama dengan
pengetahuan luar, sehingga dalam sisi tertentu mereka telah keluar dari
kelompok salaf. Jadi kritik Aabduh kiranya tertuju pada pemikiran keagamaan
Mu’tazilah yang terlalu berkembang bebas.[4]
Mu’tazilah yang telah berjasa membela Islam dari
serangan luar dengan argumen-argumen
rasionalnya, setelah menjadi aliran resmi negara pada masa kepemimpinan al-Ma'mun (872 M)
mengindoktrinasikan ajaran- ajarannya kepada
seluruh
lapisan umat Islam. Salah satu hal yang menjadi fitnah dan membawa kekacauan adalah pendapat mereka
tentang Al Quran sebagai makhluk (baharu).
Hal
ini dijadikan sebagai ujian untuk mengukur kepatuhan orang-orang Islam dalam menganut ajaran Mu’tazilah.
Pemaksaan ini menimbulkan reaksi dari
kalangan
ulama hadis (Ahl al-Sunnah) seperti Imam Ahmad ibn Hambal. Keadaan tersebut berlangsung terus dalam
tiga masa kekuasaan Bani Abbasiyah, yakni al- Ma'mün,
al-Mu'tashim dan al-Wätsiq (813-847 M). Selama masa itu banyak ulama hadis (Ahl al-Sunnat) yang
korban.[5]
Dengan
rasionalismenya, Mu`tazilah memperjuangkan monoteisme atau tauhid murni melalui
penolakannya terhadap sifat-sifat Tuhan yang dianggap qadim dan memiliki
eksistensi sendiri di luar dzatNya. Sebenarnya Mu`tazilah tidak mengingkari keberadaan sifat-sifat
Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang qadim dan difahami
sebagai tambahan atas zatNya. Dengan berpegang pada pemahaman mengenai keesaan
Tuhan, mereka mengakui adanya penyatuan antara zat dan sifat. Penolakan Mu`tazilah terhadap sifat Tuhan yang qadim ini
merupakan landasan teori mereka dalam mengkritik doktrin trinitas dalam teologi
Kristen. Karena oknum-oknum atau dalam teologi Islam lebih dikenal dengan
sifat, oleh teologi Kristen difahami sebagai yang qadim atau kekal.
Pemahaman ini berimplikasi pada naiknya posisi yesus sebagai firman kepada
derajat ketuhanan.
Dalam memurnikan
monoteisme ini, Mu`tazilah tidak hanya mendapatkan perlawanan dari teolog
Kristen, tetapi mendapatkan perlawanan juga dari sesama teolog muslim terutama
dari teolog Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang qadim. Dan para
teolog Mu`tazilah mengkhawatirkan para teolog Asy`ariah yang meyakini sifat
sebagai yang qadim akan mengikuti jejak keyakinan trinitas Kristen.[6]
Mu'tazilah adalah suatu
Aliran pemikiran dalam Islam yang berusaha membahas masalah dasar-dasar agama
dengan cara filosofis dan menjauhi kemusyrikan dan menyesuaikan kepercayaan
agama dengan akal pikiran. Aliran ini di Indonesia belum begitu dikenal karena
tidak pernah didiskusikan dengan cara yang baik, karena dianggap mempunyai
pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran agama Islam yang benar. Dalam
Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka wajarlah jika Mu'tazilah
dikenal dengan Teologi Liberal. Bahwa sejarah telah
mencatat, Aliran Mu'tazilah yang dikenal kuat menjalankan ajaran Qur'an dan
Hadits Nabi SAW. banyak menggunakan akal. Pemakaian akal yang diterapkan
Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam
menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran
keagamaannya bercorak rasional. [7]
Penafsiran mu’tazilah yang dikenal dengan pemikiran
kalam rasional hal ini sejalan
dengan penafsiran Al-Maraghi terhadap ayat-ayat antropomofisme diatas yang memahami nas-nas antropomorfisme
misalnya tentang Nabi Musa bertemu
dengan
Tuhan atau tentang melihat Tuhan pada hari kemudian (Hari Akhirat). Masuk pada masalah Ru’ya Allah
(melihat allah). Permasalahan yang timbul
disani
ialah apakah Allah bisa dilihat di akhirat dengan mata kepala, ataukah tidak bisa dilihat dengan mata kepala
karena tuhan bersifat immateri Yang dapat dilihat
dengan
mata kepala sesuatu yang bersifat materi sebagaimana yang dikatakan oleh abd al-Jabbar bahwa manusia
memerlukan indera pengelihatan untuk dapat melihat sesuatu. Jika indera ini tidak ada
maka manusia tidak dapat melihat. Dalam pada itu, sungguhpun
seseorang memiliki indera pengelihatan, namum belum tentu Ia dapat melihat sesuatu terutama apabila
ada hambatan atau obyek yang dilihatnya itusesuatu yang tidak mungkin terlihat.[8]
Mu’tazilah mengatakan bahwa iman
terdiri dari sifat-sifat kebaikan, yang
apabila terkumpul pada seseorang, maka ia disebut seorang
mukmin sebagai pujian. Orang fasik tidak terkumpul pada dirinya sifatsifat kebaikan dan tidak berhak akan
sebutan pujian, yaitu mukmin, tetapi ia juga
bukan
orang kafir sama sekali, karena syahadat dan amalan-amalan baik terdapat
padanya
dan tidak bisa diingkari.
Golongan
Mu’tazilah yakin bahwa janji Allah akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan
siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena
Allah
sudah berjanji demikian dan Allah tidak akan berkianat. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan
dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas
dengan
kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap dosa besar yang diperbuat oleh manusia tampa
taubat, sebagaimana tidak mungkin orang yang
berbuat
baik dihalang-halangi menerima pahala.[9]
Kaum Mu’tazilah memiliki persamaan
tertentu dengan kaum Syi‘ah dalam
memandang
sahabat Nabi dalam periwayatan hadis-hadis. Mu’tazilah membolehkan menilai dan mengkritik para sahabat
Nabi saw. dan perbuatan mereka. Mu’tazilah
tidak
memercayai hadis-hadis Abu Hurairah dan tidak berpegang pada hadishadisnya. Sebagaimana pernyataan Abu Ja‘far
al-Iskafi bahwa Abu Hurairah dianggap
cacat oleh tokoh kami (yakni tokoh-tokoh Mu’tazilah) dan riwayatnya tidak terpakai. Namun demikian, Mu‘tazilah menolak
keyakinan Syi‘ah Isna ‘Asyariyah
yang
memandang imamah sebagai perkara pokok yang harus diimani.[10]
Premis
1: Mu’tazilah
banyak memberikan perkembangan dalam kemajuan dan keintelektualan Islam.
Premis
2: Mu’tazilah
adalah kelompok yang membangun pahamnya berdasarkan analisa akal. Dalam
menafsirkan agama, mereka menafsirkannya sesuai dengan logika akal.
Premis
3: Mu’tazilah
dikenal menjalankan Al-Qur’an dan Hadits.
Konklusi:
Mu’tazilah
adalah salah satu golongan yang memberikan andil dalam perkembangan keintelektualan
Islam. Mu'tazilah adalah suatu
Aliran pemikiran dalam Islam yang berusaha membahas masalah dasar-dasar agama
dengan cara filosofis dan menjauhi kemusyrikan dan menyesuaikan kepercayaan
agama dengan akal pikiran. Pemakaian akal yang
diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam
menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran
keagamaannya bercorak rasional.
[1]
NILAM
SUNDARI, AF’ALUL ALLAH
DAN AF’ALUL IBAD DALAM TEOLOGI
MU’TAZILAH, diakses dari uinsyarifkasim.ac.ida
[2] Safii, TEOLOGI MU’TAZILAH: Sebuah Upaya Revitalisasi, Jurnal TEOLOGIA, VOLUME 25, NOMOR 2,
JULI-DESEMBER 2014, diakses dari
uinwalisongo.ac.id
[3] Zulhelmi, Epistemologi
Pemikiran Mu’tazilah dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 diakses dari uinradenfatah.ac.id
[4] Dr. Syarif, MA., CORAK PEMIKIRAN ISLAM BORNEO (Studi Pemikiran Tokoh Muslim Kalimantan Barat Tahun
1990-2017), Jurnal At-Turats Vol. 12 No.1 (2018) 15 – 31 diakses dari
iainpontianak.ac.id
PAHAM
TEOLOGI, Jurnal
Aqidah-Ta Vol. II No. 2 Thn. 2016
[6] Sri
Dahlia, TRINITAS DAN SIFAT TUHAN: Studi Analisis Perbandingan Antara Teologi Kristen dan Teologi Islam, Jurnal Penelitian,Vol. 11, No. 2, Agustus 2017
[7] M. Baharudin, PAHAM TEOLOGI RASIONAL
MU'TAZILAH DI INDONESIA, Jurnal Al-AdYaN/Vol.V,
N0.1/Januari-Juni/2010
[9]
KONSEP IMAN PERSPEKTIF MURJI’AH DAN
MU’TAZILAH (STUDI KOMPARATIF), diakses dari
digilibuinsby.ac.id
DAN SYIAH ISNA ASYARIYAH TENTANG AL-USUL AL-KHAMSAH, 2013,
diakses dari www.uinalaudin.ac.id