Tuesday, April 9, 2019

( Indri Wachidah ) Pemikiran Mu'tazilah


Nama: Indri Wachidah W.T.
Kelas/NIM:  A2/B91217122
 Pemikiran Mu’tazilah
Kajian Material: Ilmu Kalam
Kajian Formal: Pemikiran Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari Fi’il Madhi azala-azlan yang berarti memisahkan, atau semakna dengan tanha anhu yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Sedangkan kata Mu’tazilah berasal dari fi’il Madhi I’tizal  dengan ziyadah bi harfaini ( tambahan dua huruf) Alif dan Ta’, sehingga pada Isim Mashdar menjadi  mu’tazalatun. Kaum Mu’tazilah berarti orangorang yang memisahkan diri. Luwis Ma’luf dalam Kamus Al-Munjid mengatakan bahwa Mu’tazilah adalah kaum yang menjauhkan diri dari dua kelompok aliran Kalam, yakni Ahlus Sunah dan Khawarij.[1]
Mu’tazilah adalah merupakan salah satu aset kekayaan dalam hazanah pemikiran dunia Islam, khususnya dalam bidang teologi. Mereka telah banyak menyumbangkan jasanya dalam perkem-bangan dan kemajuan keintelektualan Islam dalam jangka panjang. Mereka telah bekerja dengan sekuat tenagaberupya mem-benahi intern umat Islam dalam memerangi kebodohan dan ke-majuan berpikir dan sebagai penolong dalam kemurnian tauhid. Terhadap pengaruh dari luar mereka telah mampu menopang derasnya perkembangan filsafat, yang tidak mampu dibendung oleh kaum muslim orthodoks.[2]
Golongan teologi Islam klasik terutama Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam melalui dialogis filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang memusuhi Islam melalui argumentasi logis. Mu’tazilah adalah kelompok yang membangun pahamnya berdasarkan analisa akal. Dalam menafsirkan agama, mereka menafsirkannya sesuai dengan logika akal. Mu’tazilah adalah aliran filsafat dalam dunia Islam abad ke 8 dan ke 9. Disebut mu’tazilah atau I’tazala yaitu mereka yang memisahkan diri dari jamhur ‘alim ulama yang dianggap menyelewengkan ajaran Islam. Aliran ini mengajarkan lima prinsip (al-usul al khamsah) untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran. 4 Aliran ini dirintis oleh Wasil bin Ata’ (700-749 M) mempergunakan filsafat Aristoteles, dikenakan baju Arab dan di warnai ‘itiqad Islam. Diantara masalah-masalah pokok yang menjadi pusat perhatian Mu’tazilah adalah pembahasan tentang tindakan manusia. Apakah manusia bebas melakukan tindakannya atau hanya menjalankan kehendak Tuhan (terpaksa).[3]
Mu’tazilah ini menurut Abduh merupakan aliran yang terlalu mencampuradukkan agama dengan pengetahuan luar, sehingga dalam sisi tertentu mereka telah keluar dari kelompok salaf. Jadi kritik Aabduh kiranya tertuju pada pemikiran keagamaan Mu’tazilah yang terlalu berkembang bebas.[4]
Mu’tazilah yang telah berjasa membela Islam dari serangan luar dengan argumen-argumen rasionalnya, setelah menjadi aliran resmi negara pada masa kepemimpinan al-Ma'mun (872 M) mengindoktrinasikan ajaran- ajarannya kepada seluruh lapisan umat Islam. Salah satu hal yang menjadi fitnah dan membawa kekacauan adalah pendapat mereka tentang Al Quran sebagai makhluk (baharu). Hal ini dijadikan sebagai ujian untuk mengukur kepatuhan orang-orang Islam dalam menganut ajaran Mu’tazilah. Pemaksaan ini menimbulkan reaksi dari kalangan ulama hadis (Ahl al-Sunnah) seperti Imam Ahmad ibn Hambal. Keadaan tersebut berlangsung terus dalam tiga masa kekuasaan Bani Abbasiyah, yakni al- Ma'mün, al-Mu'tashim dan al-Wätsiq (813-847 M). Selama masa itu banyak ulama hadis (Ahl al-Sunnat) yang korban.[5]
Dengan rasionalismenya, Mu`tazilah memperjuangkan monoteisme atau tauhid murni melalui penolakannya terhadap sifat-sifat Tuhan yang dianggap qadim dan memiliki eksistensi sendiri di luar dzatNya.  Sebenarnya Mu`tazilah tidak mengingkari keberadaan sifat-sifat Allah tetapi mereka menolak adanya sifat-sifat yang qadim dan difahami sebagai tambahan atas zatNya. Dengan berpegang pada pemahaman mengenai keesaan Tuhan, mereka mengakui adanya penyatuan antara zat dan sifat.  Penolakan Mu`tazilah terhadap sifat Tuhan yang qadim ini merupakan landasan teori mereka dalam mengkritik doktrin trinitas dalam teologi Kristen. Karena oknum-oknum atau dalam teologi Islam lebih dikenal dengan sifat, oleh teologi Kristen difahami sebagai yang qadim atau kekal. Pemahaman ini berimplikasi pada naiknya posisi yesus sebagai firman kepada derajat ketuhanan. Dalam memurnikan monoteisme ini, Mu`tazilah tidak hanya mendapatkan perlawanan dari teolog Kristen, tetapi mendapatkan perlawanan juga dari sesama teolog muslim terutama dari teolog Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang qadim. Dan para teolog Mu`tazilah mengkhawatirkan para teolog Asy`ariah yang meyakini sifat sebagai yang qadim akan mengikuti jejak keyakinan trinitas Kristen.[6]
Mu'tazilah adalah suatu Aliran pemikiran dalam Islam yang berusaha membahas masalah dasar-dasar agama dengan cara filosofis dan menjauhi kemusyrikan dan menyesuaikan kepercayaan agama dengan akal pikiran. Aliran ini di Indonesia belum begitu dikenal karena tidak pernah didiskusikan dengan cara yang baik, karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran agama Islam yang benar.  Dalam Aliran Mu'tazilah kedudukan akal begitu penting, maka wajarlah jika Mu'tazilah dikenal dengan Teologi Liberal. Bahwa sejarah telah mencatat, Aliran Mu'tazilah yang dikenal kuat menjalankan ajaran Qur'an dan Hadits Nabi SAW. banyak menggunakan akal. Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional.  [7]
Penafsiran mu’tazilah yang dikenal dengan pemikiran kalam rasional hal ini sejalan dengan penafsiran Al-Maraghi terhadap ayat-ayat antropomofisme diatas yang memahami nas-nas antropomorfisme misalnya tentang Nabi Musa bertemu dengan Tuhan atau tentang melihat Tuhan pada hari kemudian (Hari Akhirat). Masuk pada masalah Ru’ya Allah (melihat allah). Permasalahan yang timbul disani ialah apakah Allah bisa dilihat di akhirat dengan mata kepala, ataukah tidak bisa dilihat dengan mata kepala karena tuhan bersifat immateri Yang dapat dilihat
dengan mata kepala sesuatu yang bersifat materi sebagaimana yang dikatakan oleh abd al-Jabbar bahwa manusia memerlukan indera pengelihatan untuk dapat melihat sesuatu. Jika indera ini tidak ada maka manusia tidak dapat melihat. Dalam pada itu, sungguhpun seseorang memiliki indera pengelihatan, namum belum tentu Ia dapat melihat sesuatu terutama apabila ada hambatan atau obyek yang dilihatnya itusesuatu yang tidak mungkin terlihat.[8]
            Mu’tazilah mengatakan bahwa iman terdiri dari sifat-sifat kebaikan, yang apabila terkumpul pada seseorang, maka ia disebut seorang mukmin sebagai pujian. Orang fasik tidak terkumpul pada dirinya sifatsifat kebaikan dan tidak berhak akan sebutan pujian, yaitu mukmin, tetapi ia juga bukan orang kafir sama sekali, karena syahadat dan amalan-amalan baik terdapat
padanya dan tidak bisa diingkari. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Allah akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan, karena Allah sudah berjanji demikian dan Allah tidak akan berkianat. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap dosa besar yang diperbuat oleh manusia tampa taubat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala.[9]
            Kaum Mu’tazilah memiliki persamaan tertentu dengan kaum Syi‘ah dalam memandang sahabat Nabi dalam periwayatan hadis-hadis. Mu’tazilah membolehkan menilai dan mengkritik para sahabat Nabi saw. dan perbuatan mereka. Mu’tazilah tidak memercayai hadis-hadis Abu Hurairah dan tidak berpegang pada hadishadisnya. Sebagaimana pernyataan Abu Ja‘far al-Iskafi bahwa Abu Hurairah dianggap cacat oleh tokoh kami (yakni tokoh-tokoh Mu’tazilah) dan riwayatnya tidak terpakai. Namun demikian, Mu‘tazilah menolak keyakinan Syi‘ah Isna ‘Asyariyah yang memandang imamah sebagai perkara pokok yang harus diimani.[10]

Premis 1: Mu’tazilah banyak memberikan perkembangan dalam kemajuan dan keintelektualan Islam.
Premis 2: Mu’tazilah adalah kelompok yang membangun pahamnya berdasarkan analisa akal. Dalam menafsirkan agama, mereka menafsirkannya sesuai dengan logika akal.
Premis 3: Mu’tazilah dikenal menjalankan Al-Qur’an dan Hadits.

Konklusi: Mu’tazilah adalah salah satu golongan yang memberikan andil dalam perkembangan keintelektualan Islam. Mu'tazilah adalah suatu Aliran pemikiran dalam Islam yang berusaha membahas masalah dasar-dasar agama dengan cara filosofis dan menjauhi kemusyrikan dan menyesuaikan kepercayaan agama dengan akal pikiran. Pemakaian akal yang diterapkan Mu'tazilah bukan dalam lapangan IPTEK saja, tetapi juga dalam menginterpresatikan wahyu Tuhan dan Sunnah Nabi, sehingga pemikiran keagamaannya bercorak rasional.



[1] NILAM SUNDARI, AF’ALUL ALLAH DAN AF’ALUL IBAD DALAM TEOLOGI MU’TAZILAH, diakses dari uinsyarifkasim.ac.ida
[2] Safii,  TEOLOGI MU’TAZILAH: Sebuah Upaya Revitalisasi,  Jurnal TEOLOGIA, VOLUME 25, NOMOR 2, JULI-DESEMBER 2014, diakses dari uinwalisongo.ac.id
[3] Zulhelmi,  Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal  Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014 diakses dari uinradenfatah.ac.id
[4]  Dr. Syarif, MA.,  CORAK PEMIKIRAN ISLAM BORNEO (Studi Pemikiran Tokoh Muslim Kalimantan Barat Tahun 1990-2017), Jurnal At-Turats Vol. 12 No.1 (2018) 15 – 31 diakses dari iainpontianak.ac.id
[5] Prof.Dr. M. Basir Syam, M.Ag., FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECENDERUNGAN
PAHAM TEOLOGI, Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2 Thn. 2016
[6] Sri Dahlia,  TRINITAS DAN SIFAT TUHAN: Studi Analisis Perbandingan Antara Teologi Kristen dan Teologi Islam, Jurnal Penelitian,Vol. 11, No. 2, Agustus 2017
[7]  M. Baharudin, PAHAM TEOLOGI RASIONAL MU'TAZILAH DI INDONESIA, Jurnal Al-AdYaN/Vol.V, N0.1/Januari-Juni/2010
[8] Ikrar,  MANHAJ TAFSIR MU’TAZILAH              
[9] KONSEP IMAN PERSPEKTIF MURJI’AH DAN MU’TAZILAH (STUDI KOMPARATIF), diakses dari digilibuinsby.ac.id
[10] ANDI SAFRI BACHTIAR, Tesis STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN KALAM MU‘TAZILAH
DAN SYIAH ISNA ASYARIYAH TENTANG AL-USUL AL-KHAMSAH, 2013, diakses dari www.uinalaudin.ac.id