Nama : Hijratu Rahmatin
Nadzifa
Kelas : A2/B01217021
ASY’ARIYAH dalam bentuk
teorogis
Objek
kajian :
1. Kajian
Material : Ilmu kalam
2. Kajian
Formal : Pemikiran Asy’Ariyah dalam bentuk islam
Salah
satu isu yang sangat krusial dalam diskursus pemikiran Islam adalah menentukan
relasi yang ideal antara wahyu dan akal dan bagaimana seharusnya memosisikan
akal dan wahyu dalam mengeksekusi dan memahami ajaran Tuhan dalam kehidupan
manusia. Secara normatif wahyu dan akal merupakan dua potensi yang telah
mendapat legitimasi dari Tuhan untuk dieksploitasi manusia untuk mewujudkan
cita-cita luhur yang diridai Tuhan. Sadar ataupun tidak, sejarah telah
memberikan informasi bahwa institusi akal dengan segala problematikanya telah
bertanggungjawab bagi lahirnya berbagai macam aliran. Aliran yang pertama kali
memainkan institusi akal dalam wacana keagamaan adalah aliran Mu’tazilah yang
nota bene berpaham Qadariyah. Aliran ini pun diapresisasi karena telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan pemikiran Islam.
Mu’tazilah telah mendiskusikan wacana-wacana penting seperti qad{a dan qadar,
sifat-sifat ketuhanan, perbuatan manusia dengan sangat filosofis atau
memberikan kebebasan penuh pada akal dalam memahaminya. Mu’tazilah mendapat
apresisasi yang tinggi terutama dari pemerintah saat itu, namun ummat Islam
menyesalkannya karena telah memberikan kebebasan mutlak pada akal dalam
memahami isu-isu keislaman.
Dalam
konteks demikian, iklim kemudian terbuka bagi orang-orang yang ingin mengambil
peran untuk membangun paradigma teologis baru yang mampu mengantarai kedua
mainstream terdahulu. Dalam kondisi yang membingungkan itu, ummat Islam
merindukan munculnya seorang yang dapat memberi peran secara proporsional bagi
wahyu dan akal. Sehingga dalam sejarah perkembangan pemikiran dikenal muncullah
sosok kharismatik Imam Abu>> al-Hasan al-Asy’ari> yang Allah takdirkan
untuk memainkan peran yang cukup berat itu. Imam Abu>> al-Hasan al-
Asy’ari> kemudian membangun paradigma atau metode pemahaman terhadap isu-isu
keagamaan (teologis) yang bersifat “moderat” antara kalangan Hanabilah dan
mu’tazilah, antara akal dan wahyu yng seimbang. Berdasarkan uraian pada latar
belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas sebagai objek kajian
dalam makalah ini adalah sebagai berikut; Bagaimana perkembangan aliran
Asy’ariyah di dunia Islam?
Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah Teologi
Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi
sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ari> muncul sebagai
teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil. Aliran
Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil Islam
terutama golongan Hanba>li. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pada
tahun 827 M. Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima doktrin Mu’tazilah secara
resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah setelahnya. Orang-orang
yang teguh memegang tradisi, khususnya Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan lebih
dari itu, orang-orang yang tidak memahami defenisi dogmatis Mu’tazilah yang
cerdas atau menolak menerima mereka, dan kadang-kadang sebagian besar dianggap
kafir. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, serangan Mu’tazilah terhadap
para fuqaha>’ dan muhaddis\i>n semakin gencar. Tak seorang pun pakar fiqh
yang populer dan pakar hadis yang mashur luput dari gempuran mereka. Serangan
dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam
bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi). Banyak tokoh dan ulama yang menjadi
panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisik,
pemenjaraan bahkan sampai pada hukuman mati. Sebagai akibat dari hal itu,
timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan berkembang menjadi
permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan- hasutan mereka untuk
melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertaqwa.
Isu sentral yang menjadi topik mihnah waktu itu adalah tentang “Alquran sebagai
mahluk bukan kalamullah yang qadîm”.
Doktrin
Asyariyah
a.
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang
memiliki sifat-sifat seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh
diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Paham kaum golongan Asy’ariyah
berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di antaranya, al-‘ilm, alqudrat,al-sama’
al-bas}ar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf
wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana
cara dan batasnya)
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib),
hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia). Asy‟ariyah
berakidah Jabariyah dalam permasalahan takdir, mereka tidak menetapkan
al-irÉdah al-syar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah dan usaha
(al-kasbu) dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali.[1]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.[2]
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya:“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.[2]
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya:“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.
g. Kedudukan orang berdosa
Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[3]
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.
g. Kedudukan orang berdosa
Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[3]
Berdasarkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah, maka ciri-ciri orang
yang menganut
aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a.
Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan mereka juga
mempelajari
ajaran itu.
b.
Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk
berbaut
baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang
yang
berdosa besar.
c.
Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.[4]
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlussunnah wal jamaah
ialah Imam al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada
paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
a) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadīm yang tidak identik dengan
zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
b) Al-Quran bersifat qadīm dan tidak diciptakan.
c) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya
dan perbuatan.
d) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud
pasti dapat dilihat.
e)
Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (aṣ-ṣalah wal aṣlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.[5]
Premis :
1.
Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Imam Asy’ari yang
dulunya berpaham mu’tazilah, namun kemudian keluar dari mu’tazilah karena
menganggap mu’tazilah menyimpang.
2.
Doktrin Asyariyah yaitu :
a. Tuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda
dengan makhluk
b. Allah memiliki kebebasan untuk
berkehendak
c. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan
buruk berdasarkan wahyu
d. Al-Qur’an tidak qadim
e. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digaambarkan.
f. Al- Asy’ari berpendapat bahwa Allah adil
g. Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufr.
Konklusi:
Aliran Asy’ariyah adalah
sebuah aliran yang didirikan oleh Imam Asy’ari sebagai bentuk kekecewaannya
terhadap aliran mu’tazilah yang ia anggap sesat. Sebelumnya ia adalah salah
satu tokoh mu’tazilah, namun kemudian ia keluar dari aliran itu dan menidirikan
alirah asy’ariyah. Dalam
perkembangannya, aliran ini memiliki tujuh doktrin yang dijadikan sebagai
dasarpemikiran.
Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut:7 “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya.
Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut:7 “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya.
[4] Supriadin, AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-doktrin
Teologinya,) diakses dari
ejuournal-alauddinmakassar.com
[5] https://www.bacaanmadani.com/2018/03/pengertian-aliran-asyariyah-tokoh-dan.html