Tuesday, April 9, 2019

[Hijratu R Nadzifa] Asy' ariyah

Nama : Hijratu Rahmatin Nadzifa
Kelas : A2/B01217021
ASY’ARIYAH dalam bentuk teorogis
Objek kajian :
1.      Kajian Material : Ilmu kalam
2.      Kajian Formal : Pemikiran Asy’Ariyah dalam bentuk islam

Salah satu isu yang sangat krusial dalam diskursus pemikiran Islam adalah menentukan relasi yang ideal antara wahyu dan akal dan bagaimana seharusnya memosisikan akal dan wahyu dalam mengeksekusi dan memahami ajaran Tuhan dalam kehidupan manusia. Secara normatif wahyu dan akal merupakan dua potensi yang telah mendapat legitimasi dari Tuhan untuk dieksploitasi manusia untuk mewujudkan cita-cita luhur yang diridai Tuhan. Sadar ataupun tidak, sejarah telah memberikan informasi bahwa institusi akal dengan segala problematikanya telah bertanggungjawab bagi lahirnya berbagai macam aliran. Aliran yang pertama kali memainkan institusi akal dalam wacana keagamaan adalah aliran Mu’tazilah yang nota bene berpaham Qadariyah. Aliran ini pun diapresisasi karena telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan pemikiran Islam. Mu’tazilah telah mendiskusikan wacana-wacana penting seperti qad{a dan qadar, sifat-sifat ketuhanan, perbuatan manusia dengan sangat filosofis atau memberikan kebebasan penuh pada akal dalam memahaminya. Mu’tazilah mendapat apresisasi yang tinggi terutama dari pemerintah saat itu, namun ummat Islam menyesalkannya karena telah memberikan kebebasan mutlak pada akal dalam memahami isu-isu keislaman.
Dalam konteks demikian, iklim kemudian terbuka bagi orang-orang yang ingin mengambil peran untuk membangun paradigma teologis baru yang mampu mengantarai kedua mainstream terdahulu. Dalam kondisi yang membingungkan itu, ummat Islam merindukan munculnya seorang yang dapat memberi peran secara proporsional bagi wahyu dan akal. Sehingga dalam sejarah perkembangan pemikiran dikenal muncullah sosok kharismatik Imam Abu>> al-Hasan al-Asy’ari> yang Allah takdirkan untuk memainkan peran yang cukup berat itu. Imam Abu>> al-Hasan al- Asy’ari> kemudian membangun paradigma atau metode pemahaman terhadap isu-isu keagamaan (teologis) yang bersifat “moderat” antara kalangan Hanabilah dan mu’tazilah, antara akal dan wahyu yng seimbang. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas sebagai objek kajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut; Bagaimana perkembangan aliran Asy’ariyah di dunia Islam?
 Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ari> muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil. Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisionil Islam terutama golongan Hanba>li. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pada tahun 827 M. Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima doktrin Mu’tazilah secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah setelahnya. Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan lebih dari itu, orang-orang yang tidak memahami defenisi dogmatis Mu’tazilah yang cerdas atau menolak menerima mereka, dan kadang-kadang sebagian besar dianggap kafir. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha>’ dan muhaddis\i>n semakin gencar. Tak seorang pun pakar fiqh yang populer dan pakar hadis yang mashur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi). Banyak tokoh dan ulama yang menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisik, pemenjaraan bahkan sampai pada hukuman mati. Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan- hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertaqwa. Isu sentral yang menjadi topik mihnah waktu itu adalah tentang “Alquran sebagai mahluk bukan kalamullah yang qadîm”.
Doktrin Asyariyah
a.       Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Paham kaum golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di antaranya, al-‘ilm, alqudrat,al-sama’ al-bas}ar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya)
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Asy‟ariyah berakidah Jabariyah dalam permasalahan takdir, mereka tidak menetapkan al-irÉdah al-syar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah dan usaha (al-kasbu) dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali.[1]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.[2]
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya:“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.

f. Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.
g. Kedudukan orang berdosa
Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[3]
Berdasarkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah, maka ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan mereka juga
mempelajari ajaran itu.
b. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk
berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang
yang berdosa besar.
c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.[4]
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlussunnah wal jamaah ialah Imam al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
a) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadīm yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
b) Al-Quran bersifat qadīm dan tidak diciptakan.
c) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan.
d) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
e) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (aṣ-ṣalah wal aṣlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.[5]

Premis :
1.      Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Imam Asy’ari yang dulunya berpaham mu’tazilah, namun kemudian keluar dari mu’tazilah karena menganggap mu’tazilah menyimpang.
2.      Doktrin Asyariyah yaitu :
a.       Tuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan makhluk
b.      Allah memiliki kebebasan untuk berkehendak
c.       Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk berdasarkan wahyu
d.      Al-Qur’an tidak qadim
e.       Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digaambarkan.
f.       Al- Asy’ari berpendapat bahwa Allah adil
g.      Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Konklusi:
Aliran Asy’ariyah adalah sebuah aliran yang didirikan oleh Imam Asy’ari sebagai bentuk kekecewaannya terhadap aliran mu’tazilah yang ia anggap sesat. Sebelumnya ia adalah salah satu tokoh mu’tazilah, namun kemudian ia keluar dari aliran itu dan menidirikan alirah asy’ariyah.  Dalam perkembangannya, aliran ini memiliki tujuh doktrin yang dijadikan sebagai dasarpemikiran.
Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut:7 “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya.




[1] IKMAL FAHAD, PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI  TENTANG ASMA’ DAN SIFAT ALLAH, tesis, 2013
[4] Supriadin, AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-doktrin Teologinya,) diakses dari ejuournal-alauddinmakassar.com
[5]  https://www.bacaanmadani.com/2018/03/pengertian-aliran-asyariyah-tokoh-dan.html