Tuesday, April 9, 2019

[Hijratu R Nadzifa] Wahabi/Salafi


Nama : Hijratu Rahmatin Nadzifa
Nim    : B01217021/A2
Memahami doktrin Wahabi dan Salafi
Objek kajian :
1.      Kajian Material : Ilmu kalam
2.      Kajian Formal : Historis, Memahami doktrin Wahabi dan Salafi

Hakikat Makna Salafi
Kata "salafi" diasosiasikan dengan al-salaf al-s } a > lih yang bermakna 'orang terdahulu yang saleh', yakni para ulama klasik yang menjadikan Al-Qur`an dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam.1 Akan tetapi, di Dunia Barat dewasa ini, kata salafi dikenal sebagai salah satu varian gerakan Islam yang radikal, ekstrem, tidak toleran terhadap sesama, dan cenderung menggunakan jalan kekerasan.2 Jika diambil dari makna sumber penisbatannya, kata itu ternyata amat berbeda dengan apa yang didefinisikan Barat mengenai gerakan ini. Orang yang menjadikan AlQur`an dan Hadits sebagai panutan hidupnya cenderung cinta damai, tidak seperti yang diungkapkan oleh orang Barat di atas. Ironinya, sebagian orang Timur pun sekarang mengenal gerakan Islam ini sama dengan persepsi orang Barat. Terkait dengan makna "salafi" dan pandangan orang-orang di Barat dan Timur tentang gerakan Islam ini, penulis mencoba mengulas sejarah dan ideologi gerakan ini, yang menyebabkan mereka dikenal sebagai gerakan Islam garis keras, radikal, fundamental, revivalis atau transnasional yang tidak toleran dengan agama lain, bahkan sesama umat Islam di luar golongan mereka. Selain itu, tulisan ini juga mendeskripsikan upaya gerakan Salafi dalam menyebarkan ideologinya di seluruh dunia  serta pengaruhnya secara khusus di Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan sejarah untuk menjelajahi asal usul terbentuknya gerakan Salafi di Timur Tengah dan kronologis penyebaran ideologinya ke berbagai wilayah termasuk ke Indonesia.
Golongan Wahabi/Salafi ini berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kita bicarakan tersendiri mengenai sejarah singkat Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini juga sering menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. secara tekstual (apa adanya kalimat) dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan (tajsim) dan menyerupakan (tasybih) Allah swt. secara hakiki/sesungguhnya kepada makhluk-Nya. Na’udzubillah. Insya Allah nanti kita utarakan tersendiri contoh riwayat-riwayat Tajsim dan Tasybih. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut: Dalam surat Syuura (42): 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya’.Surat Al-An’aam (6): 103; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’. Surat Ash-Shaffaat (37): 159; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’, dan ayat-ayat lainnya.
Dengan adanya penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual ini, mereka mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo'a pada Allah sambil menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam do’a itu), Tabarruk (pengambian barokah), permohonan syafa’at pada Rasulallah saw. dan para wali Allah, peringatan-peringatan keagamaan, kumpulan majlis-majlis dzikir (istighothah, tahlilan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (ikutikutan) kepada imam madzhab dan lain sebagainya (kita bicarakan sendiri pada babnya masingmasing). Sebenarnya semua itu adalah kebaikan, banyak hadits dan wejangan ulama pakar yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas itu. Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa dicantumkan disini mengenai pertentangan akidah golongan ini dengan madzhab lainnya, tapi insya Allah keterangan singkat yang ada di buku ini para pembaca sudah bisa mengetahui dan menilai sendiri bagaimana akidah dan paham golongan Wahabi/Salafi ini, begitu juga bisa menilai sendiri apakah akidah golongan ini yang paling benar dibandingkan dengan madzhab sunnah lainnya? Golongan Salafi/Wahabi dan pengikutnya ini sering berkata bahwa mereka akan mengajarkan syari’at Islam yang paling murni dan benar, sehingga mudah mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan, mensyirikkan sesama muslimin yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. (baca pengkafiran Muhamad Abdul Wahhab terhadap para ulama pakar pada halaman selanjutnya) Menurut pendapat sebagian orang bahwa faham golongan Wahabi/Salafi (baca makalah dibuku ini dan diwebsite-website yang menentang ajaran Muhammad Ibnu Abdul-Wahhab) pada zaman modern ini seperti golongan al-Hasyawiyyah, karena kepercayaan-kepercayaan dan pendapatpendapat mereka mirip dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan, pemasangan dan kemasukan.[1]
Hakekat Makna Salafi Kata “salafi”, sebagaimana telah disinggung pada pendahuluan tulisan ini, adalah sebuah bentuk penisbatan kepada kata al-salaf. Kata al-salaf sendiri secara bahasa bermakna ‘orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita’. Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang masa hidupnya dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw. [2]
Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan ajaran Ibnu Abdul Wahhab dan pengikutnya, dianggap kafir, musyrik, dan murtad. Tuduhan-tuduhan seperti ini sering meraka lontarkan ketika mereka belum memiliki kekuatan bersenjata, terutama pada awal-awal berdirinya aliran ini, pertengahan abad ke-18 M.9 Dalam Islam, pengkafiran terhadap sesama Muslim pertama kali dilakukan oleh Khawarij, sekelompok orang yang tidak setuju dengan pendapat Khalifah Ali bin Abu Thalib yang melakukan arbitase dalam Perang Shiffin melawan tentara Muawiyah. Oleh karena itu, gerakan yang dilakukan oleh Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya ini dikenal juga oleh ulama dewasa ini sebagai manifestasi dari NeoKhawarij. Dalam perkembangannya, setelah tidak sabar dengan proses dialog dalam melakukan perubahan, Ibn Abdul Wahhab menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidak cukup, dia berusaha melakukan perubahan melalui perbuatan. Dalam hal ini ia mendapat dukungan kekuatan dan senjata dari pemerintah Uyaynah, Utsman bin Muammar, karena ia menikahi bibi penguasa tersebut. Aksi kekerasan pertama yang dilakukan oleh Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya adalah menghancurkan makam Zaid bin alKhattab, Sahabat Rasulullah dan saudara kandung Umar bin al-Khattab, ± tahun 1740. Tentunya, sebelum kekerasan ini dilakukan, mereka meluncurkan kata-kata pemurtadan dan pengkafiran dengan dalil-dalil harfiah terlebih dahulu, sebagai dasar untuk menguatkan aksi mereka.11 Mereka juga benar-benar kasar terhadap orang Islam yang mengungkapkan cinta dan dedikasinya kepada Nabi Muhammad Saw. Bagi mereka, hal itu hampir menyerupai ibadah yang menjurus kepada kemusyrikan.12 Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini, mereka berkeinginan meratakan kuburan Rasulullah Saw., yang sering diziarahi oleh umat Islam dari penjuru dunia, dengan tanah. Kekuatan aksi mereka semakin menguat ketika Muhammad bin Abdul Wahhab mendekati Muhammad bin Sa’ud, aliansi yang kelak melahirkan Kerajaan Saudi-Wahhabi modern. Muhammad bin Sa’ud adalah politikus cerdas. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini untuk bekerja sama demi meraih kepentingan politiknya. Pada tahun 1746, Wahhabi-Sa’ud secara resmi memproklamirkan jihad terhadap siapapun yang mempunyai pemahaman tauhid berbeda dengan mereka.[3]
GERAKAN SALAFI DI INDONESIA
 Kemunculan gerakan Salafi di Indonesia diawali dengan kembalinya beberapa pemuda Sumatera Barat yang pergi haji sekaligus menuntut ilmu di Kerajaan Arab Saudi pada awal abad ke-19, yang banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Pemuda itu adalah Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif. Mereka terpesona dengan ideologi Wahhabi yang mereka pelajari selama di sana, sehingga mereka menyebarkan ideologi ini ketika mereka tiba di tanah air. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini pernah berjaya dalam kurun waktu 1803 -- 1832 M.[4]


Premis :
1.      Orang yang menjadikan AlQur`an dan Hadits sebagai panutan hidupnya cenderung cinta damai, tidak seperti yang diungkapkan oleh orang Barat di atas.
2.      Mereka didukung oleh pengikut Darul Islam (DI), khususnya jaringan Pesantren Ngruki dan alumni Afganisthan dan Maroko.
3.      Dalam perkembangannya, setelah tidak sabar dengan proses dialog dalam melakukan perubahan, Ibn Abdul Wahhab menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidak cukup, dia berusaha melakukan perubahan melalui perbuatan.
Konklusi :
Kata "salafi", sebutan yang mereka sukai, merujuk kepada perbuatan al-salaf al-s}a>lih yang berpegang teguh pada kemurnian AlQur`an dan Sunnah. Namun, fakta sejarah menunjukkan sebutan itu kurang sejalan dengan paham dan berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan terhadap umat Islam lain. Mereka memahami isi kandungan Al-Qur`an dan Sunnah secara tekstual tanpa penalaran dan konteks yang memadai. Cara berpikir semacam ini, menurut Abid al-Jabiri, disebut dengan cara berpikir baya>ni, yang setia pada teks-teks tanpa perlu dirasionalkan lagi dalam tataran burha>ni. Lebih ironis lagi, mereka memaksakan seluruh umat Islam yang ada di dunia ini memiliki pola pikir seperti mereka dalam memahami teks-teks suci agama Islam.



[2] Ahmad Dumyathi Bashori, “Eksistensi Islam di Timur Tengah dan Pengaruh Globalnya”, dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan (Depok: Lembaga Kajian dan Pengembangan al-Insan, vol.3, 2008), hlm. 98-99.
[3] Ibid., hlm. 60. Lihat juga Sthephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism. Terj. Hodri Ariev (Jakarta: LibForAll, The Wahid Institute, 2009)
[4] Sthephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism. Terj. Hodri Ariev (Jakarta: LibForAll, The Wahid Institute, 2009).