Nama : Hijratu Rahmatin
Nadzifa
Nim : B01217021/A2
Memahami
doktrin Wahabi dan Salafi
Objek
kajian :
1. Kajian
Material : Ilmu kalam
2. Kajian
Formal : Historis, Memahami doktrin Wahabi dan Salafi
Hakikat
Makna Salafi
Kata
"salafi" diasosiasikan dengan al-salaf al-s } a > lih yang
bermakna 'orang terdahulu yang saleh', yakni para ulama klasik yang menjadikan
Al-Qur`an dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam.1 Akan tetapi, di Dunia Barat
dewasa ini, kata salafi dikenal sebagai salah satu varian gerakan Islam yang
radikal, ekstrem, tidak toleran terhadap sesama, dan cenderung menggunakan
jalan kekerasan.2 Jika diambil dari makna sumber penisbatannya, kata itu
ternyata amat berbeda dengan apa yang didefinisikan Barat mengenai gerakan ini.
Orang yang menjadikan AlQur`an dan Hadits sebagai panutan hidupnya cenderung
cinta damai, tidak seperti yang diungkapkan oleh orang Barat di atas. Ironinya,
sebagian orang Timur pun sekarang mengenal gerakan Islam ini sama dengan
persepsi orang Barat. Terkait dengan makna "salafi" dan pandangan
orang-orang di Barat dan Timur tentang gerakan Islam ini, penulis mencoba
mengulas sejarah dan ideologi gerakan ini, yang menyebabkan mereka dikenal
sebagai gerakan Islam garis keras, radikal, fundamental, revivalis atau
transnasional yang tidak toleran dengan agama lain, bahkan sesama umat Islam di
luar golongan mereka. Selain itu, tulisan ini juga mendeskripsikan upaya
gerakan Salafi dalam menyebarkan ideologinya di seluruh dunia serta pengaruhnya secara khusus di Indonesia.
Penulis menggunakan pendekatan sejarah untuk menjelajahi asal usul terbentuknya
gerakan Salafi di Timur Tengah dan kronologis penyebaran ideologinya ke
berbagai wilayah termasuk ke Indonesia.
Golongan
Wahabi/Salafi ini berpegang dengan akidah atau keyakinan Muhammad Ibnu Abdul
Wahhab sebagai penerus Ibnu Taimiyyah (kita bicarakan tersendiri mengenai
sejarah singkat Ibnu Abdul Wahhab). Golongan ini juga sering menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. secara tekstual (apa adanya kalimat)
dan literal (makna yang sebenarnya) atau harfiah dan meniadakan arti majazi
atau kiasan. Oleh karenanya mereka sering menjasmanikan (tajsim) dan
menyerupakan (tasybih) Allah swt. secara hakiki/sesungguhnya kepada
makhluk-Nya. Na’udzubillah. Insya Allah nanti kita utarakan tersendiri contoh
riwayat-riwayat Tajsim dan Tasybih. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an
yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi atau
kiasan, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. Banyak
ulama-ulama pakar yang mengeritik dan menolak akidah mengenai
Tajsim/Penjasmanian dan Tasybih atau Penyerupaan Allah swt. terhadap
makhluk-Nya. Karena ini bertentangan dengan firman Allah swt. sebagai berikut:
Dalam surat Syuura (42): 11; ‘ Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya’.Surat
Al-An’aam (6): 103; ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’. Surat
Ash-Shaffaat (37): 159; ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’, dan
ayat-ayat lainnya.
Dengan adanya
penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual ini, mereka
mudah membid’ahkan dan mensyirikkan Tawassul (berdo'a pada Allah sambil
menyertakan nama Rasulallah atau seorang sholeh/wali dalam do’a itu), Tabarruk
(pengambian barokah), permohonan syafa’at pada Rasulallah saw. dan para wali
Allah, peringatan-peringatan keagamaan, kumpulan majlis-majlis dzikir
(istighothah, tahlilan dan sebagainya), ziarah kubur, taqlid (ikutikutan)
kepada imam madzhab dan lain sebagainya (kita bicarakan sendiri pada babnya
masingmasing). Sebenarnya semua itu adalah kebaikan, banyak hadits dan wejangan
ulama pakar yang berkaitan dengan masalah-masalah di atas itu. Sebenarnya masih
banyak lagi yang bisa dicantumkan disini mengenai pertentangan akidah golongan
ini dengan madzhab lainnya, tapi insya Allah keterangan singkat yang ada di
buku ini para pembaca sudah bisa mengetahui dan menilai sendiri bagaimana
akidah dan paham golongan Wahabi/Salafi ini, begitu juga bisa menilai sendiri
apakah akidah golongan ini yang paling benar dibandingkan dengan madzhab sunnah
lainnya? Golongan Salafi/Wahabi dan pengikutnya ini sering berkata bahwa mereka
akan mengajarkan syari’at Islam yang paling murni dan benar, sehingga mudah
mensesatkan sampai-sampai berani mengkafirkan, mensyirikkan sesama muslimin
yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. (baca pengkafiran Muhamad
Abdul Wahhab terhadap para ulama pakar pada halaman selanjutnya) Menurut
pendapat sebagian orang bahwa faham golongan Wahabi/Salafi (baca makalah dibuku
ini dan diwebsite-website yang menentang ajaran Muhammad Ibnu Abdul-Wahhab)
pada zaman modern ini seperti golongan al-Hasyawiyyah, karena
kepercayaan-kepercayaan dan pendapatpendapat mereka mirip dengan golongan yang
dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad-abad yang awal. Istilah
al-Hasyawiyyah adalah berasal daripada kata dasar al-Hasyw yaitu penyisipan,
pemasangan dan kemasukan.[1]
Hakekat Makna
Salafi Kata “salafi”, sebagaimana telah disinggung pada pendahuluan tulisan
ini, adalah sebuah bentuk penisbatan kepada kata al-salaf. Kata al-salaf
sendiri secara bahasa bermakna ‘orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum
zaman kita’. Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini
adalah generasi yang masa hidupnya dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah
Saw. [2]
Semua orang
Islam yang tidak sepaham dengan ajaran Ibnu Abdul Wahhab dan pengikutnya,
dianggap kafir, musyrik, dan murtad. Tuduhan-tuduhan seperti ini sering meraka
lontarkan ketika mereka belum memiliki kekuatan bersenjata, terutama pada
awal-awal berdirinya aliran ini, pertengahan abad ke-18 M.9 Dalam Islam,
pengkafiran terhadap sesama Muslim pertama kali dilakukan oleh Khawarij,
sekelompok orang yang tidak setuju dengan pendapat Khalifah Ali bin Abu Thalib
yang melakukan arbitase dalam Perang Shiffin melawan tentara Muawiyah. Oleh
karena itu, gerakan yang dilakukan oleh Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya ini
dikenal juga oleh ulama dewasa ini sebagai manifestasi dari NeoKhawarij. Dalam
perkembangannya, setelah tidak sabar dengan proses dialog dalam melakukan
perubahan, Ibn Abdul Wahhab menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidak cukup, dia
berusaha melakukan perubahan melalui perbuatan. Dalam hal ini ia mendapat
dukungan kekuatan dan senjata dari pemerintah Uyaynah, Utsman bin Muammar,
karena ia menikahi bibi penguasa tersebut. Aksi kekerasan pertama yang
dilakukan oleh Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya adalah menghancurkan makam Zaid
bin alKhattab, Sahabat Rasulullah dan saudara kandung Umar bin al-Khattab, ±
tahun 1740. Tentunya, sebelum kekerasan ini dilakukan, mereka meluncurkan
kata-kata pemurtadan dan pengkafiran dengan dalil-dalil harfiah terlebih
dahulu, sebagai dasar untuk menguatkan aksi mereka.11 Mereka juga benar-benar
kasar terhadap orang Islam yang mengungkapkan cinta dan dedikasinya kepada Nabi
Muhammad Saw. Bagi mereka, hal itu hampir menyerupai ibadah yang menjurus
kepada kemusyrikan.12 Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini, mereka
berkeinginan meratakan kuburan Rasulullah Saw., yang sering diziarahi oleh umat
Islam dari penjuru dunia, dengan tanah. Kekuatan aksi mereka semakin menguat
ketika Muhammad bin Abdul Wahhab mendekati Muhammad bin Sa’ud, aliansi yang
kelak melahirkan Kerajaan Saudi-Wahhabi modern. Muhammad bin Sa’ud adalah
politikus cerdas. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini untuk bekerja
sama demi meraih kepentingan politiknya. Pada tahun 1746, Wahhabi-Sa’ud secara
resmi memproklamirkan jihad terhadap siapapun yang mempunyai pemahaman tauhid
berbeda dengan mereka.[3]
GERAKAN SALAFI DI INDONESIA
Kemunculan gerakan Salafi di Indonesia diawali
dengan kembalinya beberapa pemuda Sumatera Barat yang pergi haji sekaligus
menuntut ilmu di Kerajaan Arab Saudi pada awal abad ke-19, yang banyak
dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn
‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Pemuda itu adalah Haji Miskin, Haji
Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif. Mereka terpesona dengan ideologi Wahhabi
yang mereka pelajari selama di sana, sehingga mereka menyebarkan ideologi ini
ketika mereka tiba di tanah air. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air
yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh
utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini pernah berjaya dalam kurun
waktu 1803 -- 1832 M.[4]
Premis :
1. Orang
yang menjadikan AlQur`an dan Hadits sebagai panutan hidupnya cenderung cinta
damai, tidak seperti yang diungkapkan oleh orang Barat di atas.
2. Mereka
didukung oleh pengikut Darul Islam (DI), khususnya jaringan Pesantren Ngruki
dan alumni Afganisthan dan Maroko.
3. Dalam
perkembangannya, setelah tidak sabar dengan proses dialog dalam melakukan
perubahan, Ibn Abdul Wahhab menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidak cukup, dia
berusaha melakukan perubahan melalui perbuatan.
Konklusi
:
Kata
"salafi", sebutan yang mereka sukai, merujuk kepada perbuatan
al-salaf al-s}a>lih yang berpegang teguh pada kemurnian AlQur`an dan Sunnah.
Namun, fakta sejarah menunjukkan sebutan itu kurang sejalan dengan paham dan
berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan terhadap umat Islam lain. Mereka
memahami isi kandungan Al-Qur`an dan Sunnah secara tekstual tanpa penalaran dan
konteks yang memadai. Cara berpikir semacam ini, menurut Abid al-Jabiri,
disebut dengan cara berpikir baya>ni, yang setia pada teks-teks tanpa perlu
dirasionalkan lagi dalam tataran burha>ni. Lebih ironis lagi, mereka
memaksakan seluruh umat Islam yang ada di dunia ini memiliki pola pikir seperti
mereka dalam memahami teks-teks suci agama Islam.
[2] Ahmad
Dumyathi Bashori, “Eksistensi Islam di Timur Tengah dan Pengaruh Globalnya”,
dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan (Depok: Lembaga Kajian dan Pengembangan
al-Insan, vol.3, 2008), hlm. 98-99.
[3] Ibid.,
hlm. 60. Lihat juga Sthephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: Saudi
Fundamentalism and Its Role in Terrorism. Terj. Hodri Ariev (Jakarta:
LibForAll, The Wahid Institute, 2009)
[4] Sthephen
Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in
Terrorism. Terj. Hodri Ariev (Jakarta: LibForAll, The Wahid Institute, 2009).