Nama: Indri Wachidah W. T.
Kelas/NIM:
A2/B91217122
Doktrin Asy’ariyah
Kajian Material: Ilmu Kalam
Kajian Formal: Doktrin Asy’ariyah
A.
Sejarah Lahirnya
Asy’ariyah
Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang
lahir pada dasawarsa
kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah,
mangaku termasuk golongan ahlussunnah wal jama’ah.Pendiri teologi Asy'ariyah
ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan
Ali bin Ismail al-Asy'ari. Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abul Hasan bin Ismail bin
Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin
Abi
Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah seorang perantara
dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah.
Abul
Hasan al-Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324 H/935 M.
Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah, dia adalah murid dari
al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat
dibanggakan
serta pandai berdebat, sehingga al-Juba’i sering menyuruh al-Asy'ari untuk
menggantikannya bila terjadi suatu perdebatan. Dia
menjadi pengikut aliran Mu’tazilah sampai
berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu
ketika
beliau mencapai umur 40 tahun, dia menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan membentuk aliran teologi
sendiri yang kemudian dikenal dengan nama
Asy'ariyah.[1]
Adapun sebab terpenting Al-Asy'ari meninggalkan
Mu'tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa
menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri. Sebagai
seorang muslim yang sangat mendambakan atas kepersatuan umat, dia sangat
khawatir kalau Al-Qur'an dan Al-Hadits menjadi kurban dari faham-faham
Mu'tazilah yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan dan
meresahkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu menonjolkan
akal fikiran. Kebanyakan muslim tidak lagi menganggap Mu'tazilah sebagai aliran
yang patut dianut. Aliran mu'tazilah yang minoritas dan telah ditinggalkan oleh
penganutnya tidak mungkin lagi dipertahankan oleh Al Asya'ari dan inilah yg
memotivasi dirinya untuk membentuk teologi islam baru setelah puluhan tahun
menganut paham Mu'tazilah.[2]
B.
Doktrin Asyariyah
a.. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat seperti
mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah,
sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampaknya mirip. Paham kaum golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di
antaranya, al-‘ilm, alqudrat,al-sama’ al-bas}ar, al-hayah,
iradah, dan lainnya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan
batasnya).[3]
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib),
hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia). Asy‟ariyah
berakidah Jabariyah dalam permasalahan takdir, mereka tidak menetapkan
al-irÉdah al-syar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah dan usaha
(al-kasbu) dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali.[4]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.[5]
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya:“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.
g. Kedudukan orang berdosa
Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[6]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazillah mendasarkannya pada akal.[5]
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya:“ Jika kami menghendaki sesuatu, kami bersabda, “ terjadilah“ maka ia pun terjadi”.
e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq.
g. Kedudukan orang berdosa
Menurut Al-asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[6]
Berdasarkan pokok-pokok ajaran
Asy’ariyah, maka ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan mereka
juga
mempelajari ajaran itu.
b. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah
kewajiban untuk
berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak
mengkafirkan orang
yang berdosa besar.
c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada
kehendak mutlak-Nya.[7]
Pengikut
Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran
Ahlussunnah wal jamaah ialah Imam al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
a) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadīm
yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
b) Al-Quran bersifat qadīm dan tidak
diciptakan.
c) Mengenai perbuatan manusia,
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan.
d) Tuhan dapat dilihat karena
tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
e) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (aṣ-ṣalah wal aṣlah)
manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh
memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.[8]
Premis :
1.
Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Imam
Asy’ari yang dulunya berpaham mu’tazilah, namun kemudian keluar dari mu’tazilah
karena menganggap mu’tazilah menyimpang.
2.
Doktrin Asyariyah yaitu :
a.
Tuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda
dengan makhluk
b.
Allah memiliki kebebasan untuk
berkehendak
c.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan
buruk berdasarkan wahyu
d.
Al-Qur’an tidak qadim
e.
Al-Asy’ari
yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digaambarkan.
f.
Al- Asy’ari berpendapat bahwa Allah adil
g.
Al-Asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Konklusi:
Aliran Asy’ariyah adalah sebuah aliran yang
didirikan oleh Imam Asy’ari sebagai bentuk kekecewaannya terhadap aliran mu’tazilah
yang ia anggap sesat. Sebelumnya ia adalah salah satu tokoh mu’tazilah, namun
kemudian ia keluar dari aliran itu dan menidirikan alirah asy’ariyah. Dalam perkembangannya, aliran ini memiliki
tujuh doktrin yang dijadikan sebagai dasarpemikiran.
[1] http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1-2005-uudnurkhad-533-BAB3_419-4.pdf
[2] Lailatulfitriah, Sejarah dan
Doktrin-doktrin dalam Teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah, 2018, diakses dari https://www.kompasiana.com/lailatulfitriahaks/5bbb316512ae941a5a246842/sejarah-dan-doktrin-doktrin-dalam-teologi-asy-ariyah-dan-maturidiyah?page=all
[7] Supriadin, AL-ASY’ARIYAH (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-doktrin
Teologinya,) diakses dari
ejuournal-alauddinmakassar.com
[8] https://www.bacaanmadani.com/2018/03/pengertian-aliran-asyariyah-tokoh-dan.html