Nama: Imam Ataqwa Khamarullah
Kelas: A2
HUKUM ISLAM IBNU TAIMIYYAH
Kajian Formal: Ilmu Kalam
Kajian
Material: Hukum Islam Ibnu
Taimiyyah
Metode berpikir Ibnu Taimiyyah secara rinci
dapat dilihat dalam bukunya Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku
ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang
pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada
al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an
dan hadith.
Selanjutnya Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam
bukunya yang berjudul Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ushul fiqh yang mewarnai
fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah sebagai
berikut:26
a.
Kitab dan Sunnah: Al-Qur'an dan hadith merupakan sumber utama dari
pengambilan hukum Islam. Mengenai hadith, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi
tiga macam:
b.
Pertama: Sunnah Mutawatirah, Kedua: Sunnah Mutawatirah tetapi tidak
menjadi tafsiran dari al-Qur'an, Ketiga: khabar ahad yang sampai kepada kita
melalui riwayat-riwayat yang kuat (thiqat) dari riwayat-riwayat yang kuat pula.
c.
Ijma': yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah ijma' yang
dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama' selain
mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
d.
Qiyas: yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang sesuai
dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum, dan
dinyatakan oleh Rasulullah serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup
dan melihat ada sahabat yang melakukannya.
e.
Istishab: Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang
pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada atau sudah diubah
menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi ketidak-adaan ittifaq.
f.
Mashlahah Mursalah: Ibnul Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar
memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal.
Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh, dia tidak membicarakan masalah
maslahah mursalah, padahal madzhab-madzhab yang lain membicarakannya. (Syaikhon, 2015)
Fenomena pada periode taklid adalah
ketidakberanian intelektual yang berimplikasi pada mandeknya hukum Islam atau fikih23
dan matinya kreativitas pemikiran Muslim yang disembelih di atas altar
persatuan. Oleh karena itu, hukum Islam yang amat dinamis dan kreatif dalam
perjalanan sejarahnya yang awal kini telah mengalami kemalangan serius dan
sarat dengan muatanmuatan asing. Dalam konteks semacam inilah Ibn Taimiyah yang
tersentuh panggilan keagamaan, muncul di atas panggung sejarah pembaruan hukum
Islam dengan mengklaim hak ijtihâd mutlak bagi dirinya serta menyeru masyarakat
Muslim untuk kembali ke akar spritual mereka, alQuran dan Sunnah Nabi. Namun
verifikasi keagamaan Ibnu Taimiyah hanya terbatas pengaruhnya di kalangan
muridmuridnya seperti Ibnu Qayyim dan tidak pernah menjelma menjadi suatu
gerakan pada masanya. Nanti setelah beberapa abad kemudian, yakni pada
pengunjung abad ke18, seruan Ibnu Taimiyah24 ditanggapi Muhammad bin ‘Abd alWahhab
(w. 1204 H./1791 M.) di Arabia dan Syah Wali Allah (w.1762 M.) di India.
Beberapa pendapatnya di bidang hukum
Islam sangat berharga sebagai embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya
; 1) mengingkari ijma’ tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak
boleh diberi zakat; dan 3) boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika
waktu shalat akan habis jika berwudhu. Selanjutnya dalam mencari hukum yang ada
dalam alQuran, ulama usűl menempuh dengan jalan; 1) Istinbât dengan memahami
nas yang jelas (qat’iy); 2) Ijtihâd terhadap nas yang belum menunjukkan hukum
suatu masalah; 3) Ijtihâd juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjuki oleh
jiwa nas yakni kemaslahatan.
Formulasi tersebut dituangkan ke
dalam tiga istilah, yakni 1). Ijtihâd bayani (al-Ijtihâd al-Bayâni), yaitu
ijtihad yang berhubungan dengan penjelasan kebahasaan yang terdapat dalam
alQuran dan Sunnah; 2). Ijtihad qiyâsi (al-Ijtihâd al-Qiyâsi), yaitu ijtihâd
untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang di dalam alQuran dan Sunnah tidak
terdapat ketentuan hukumnya, dan ulama menyelesaikannya dengan cara qiyâs dan
istihsân. Ijtihâd qiyâsi biasa disebut pula dengan alijtihâd dengan menggunakan
ra’yi yang tidak menggunakan ayatayat alQuran atau Sunnah tertentu secara
khusus, tetapi ijtihâd itu berpegang kepada “ruh al-syariat” yang ditetapkan
dalam semua ayat al-Qr’an dan Sunnah secara umum. (Yasin, 2010)
Premis :
1.
Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada
al-Qur'an dan hadith.
2.
Pendapatnya di bidang hukum Islam sangat berharga sebagai embrio
kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1) mengingkari ijma’ tidaklah
kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; dan 3) boleh
tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu shalat akan habis jika
berwudhu.
3.
Dalam mencari hukum yang ada dalam alQuran, ulama usűl menempuh
dengan jalan; 1) Istinbât dengan memahami nas yang jelas (qat’iy); 2) Ijtihâd
terhadap nas yang belum menunjukkan hukum suatu masalah; 3) Ijtihâd juga dalam
memahami masalah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nas yakni kemaslahatan.
Konklusi :
Ibnu
Taimiyyah adalah orang yang memiliki metode berfikir dengan metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an
dan hadith. Pendapatnya di bidang hukum Islam sangat berharga sebagai
embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1) mengingkari ijma’
tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; dan 3)
boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu shalat akan habis jika
berwudhu. Dalam mencari hukum yang ada dalam alQuran, ulama usűl
menempuh dengan jalan; 1) Istinbât dengan memahami nas yang jelas (qat’iy); 2)
Ijtihâd terhadap nas yang belum menunjukkan hukum suatu masalah; 3) Ijtihâd
juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nas yakni
kemaslahatan.
Daftar
Pustaka
fulan. (n.d.). Ibnu Taimiyyah. UIN
SUSKA, 16-18.
Syaikhon, M. (2015, Desember). Pemikiran Hukum
Islam Ibnu Taimiyyah. LISAN AL-HAL, 7(2), 338 & 342.
Yasin. (2010, Desember). Pemikiran Hukum Islam
Ibnu Taimiyyah. Al- Syir'ah, 8(2), 443-447.