Tuesday, April 9, 2019

[Imam] Hukum Islam Ibnu Taimiyyah


Nama: Imam Ataqwa Khamarullah
Kelas: A2
Nim:    B01217022

HUKUM ISLAM IBNU TAIMIYYAH


Kajian Formal:          Ilmu Kalam
Kajian Material:        Hukum Islam Ibnu Taimiyyah
Metode berpikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith.
Selanjutnya Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya yang berjudul Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ushul fiqh yang mewarnai fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut:26
a.       Kitab dan Sunnah: Al-Qur'an dan hadith merupakan sumber utama dari pengambilan hukum Islam. Mengenai hadith, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi tiga macam:
b.      Pertama: Sunnah Mutawatirah, Kedua: Sunnah Mutawatirah tetapi tidak menjadi tafsiran dari al-Qur'an, Ketiga: khabar ahad yang sampai kepada kita melalui riwayat-riwayat yang kuat (thiqat) dari riwayat-riwayat yang kuat pula.
c.       Ijma': yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
d.      Qiyas: yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat ada sahabat yang melakukannya.
e.       Istishab: Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi ketidak-adaan ittifaq.
f.       Mashlahah Mursalah: Ibnul Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul fiqh, dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah, padahal madzhab-madzhab yang lain membicarakannya. (Syaikhon, 2015)

Fenomena pada periode taklid adalah ketidakberanian intelektual yang berimplikasi pada mandeknya hukum Islam atau fikih23 dan matinya kreativitas pemikiran Muslim yang disembelih di atas altar persatuan. Oleh karena itu, hukum Islam yang amat dinamis dan kreatif dalam perjalanan sejarahnya yang awal kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan muatanmuatan asing. Dalam konteks semacam inilah Ibn Taimiyah yang tersentuh panggilan keagamaan, muncul di atas panggung sejarah pembaruan hukum Islam dengan mengklaim hak ijtihâd mutlak bagi dirinya serta menyeru masyarakat Muslim untuk kembali ke akar spritual mereka, alQuran dan Sunnah Nabi. Namun verifikasi keagamaan Ibnu Taimiyah hanya terbatas pengaruhnya di kalangan muridmuridnya seperti Ibnu Qayyim dan tidak pernah menjelma menjadi suatu gerakan pada masanya. Nanti setelah beberapa abad kemudian, yakni pada pengunjung abad ke18, seruan Ibnu Taimiyah24 ditanggapi Muhammad bin ‘Abd alWahhab (w. 1204 H./1791 M.) di Arabia dan Syah Wali Allah (w.1762 M.) di India.
Beberapa pendapatnya di bidang hukum Islam sangat berharga sebagai embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1) mengingkari ijma’ tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; dan 3) boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu shalat akan habis jika berwudhu. Selanjutnya dalam mencari hukum yang ada dalam alQuran, ulama usűl menempuh dengan jalan; 1) Istinbât dengan memahami nas yang jelas (qat’iy); 2) Ijtihâd terhadap nas yang belum menunjukkan hukum suatu masalah; 3) Ijtihâd juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nas yakni kemaslahatan.
Formulasi tersebut dituangkan ke dalam tiga istilah, yakni 1). Ijtihâd bayani (al-Ijtihâd al-Bayâni), yaitu ijtihad yang berhubungan dengan penjelasan kebahasaan yang terdapat dalam alQuran dan Sunnah; 2). Ijtihad qiyâsi (al-Ijtihâd al-Qiyâsi), yaitu ijtihâd untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang di dalam alQuran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukumnya, dan ulama menyelesaikannya dengan cara qiyâs dan istihsân. Ijtihâd qiyâsi biasa disebut pula dengan alijtihâd dengan menggunakan ra’yi yang tidak menggunakan ayatayat alQuran atau Sunnah tertentu secara khusus, tetapi ijtihâd itu berpegang kepada “ruh al-syariat” yang ditetapkan dalam semua ayat al-Qr’an dan Sunnah secara umum. (Yasin, 2010)

Premis :
1.      Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith.
2.      Pendapatnya di bidang hukum Islam sangat berharga sebagai embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1) mengingkari ijma’ tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; dan 3) boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu shalat akan habis jika berwudhu.
3.      Dalam mencari hukum yang ada dalam alQuran, ulama usűl menempuh dengan jalan; 1) Istinbât dengan memahami nas yang jelas (qat’iy); 2) Ijtihâd terhadap nas yang belum menunjukkan hukum suatu masalah; 3) Ijtihâd juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nas yakni kemaslahatan.
Konklusi :
Ibnu Taimiyyah adalah orang yang memiliki metode berfikir dengan metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Pendapatnya di bidang hukum Islam sangat berharga sebagai embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1) mengingkari ijma’ tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; dan 3) boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu shalat akan habis jika berwudhu. Dalam mencari hukum yang ada dalam alQuran, ulama usűl menempuh dengan jalan; 1) Istinbât dengan memahami nas yang jelas (qat’iy); 2) Ijtihâd terhadap nas yang belum menunjukkan hukum suatu masalah; 3) Ijtihâd juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjuki oleh jiwa nas yakni kemaslahatan.



Daftar Pustaka



fulan. (n.d.). Ibnu Taimiyyah. UIN SUSKA, 16-18.
Syaikhon, M. (2015, Desember). Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyyah. LISAN AL-HAL, 7(2), 338 & 342.
Yasin. (2010, Desember). Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyyah. Al- Syir'ah, 8(2), 443-447.