Nama : Imam Ataqwa Khamarullah
Nim : B01217022
PEMIKIRAN ALIRAN AS’ARIYAH
Objek Kajian : Ilmu
Kalam
Objek Material :
Pemikiran Aliran Asy'ariyah
Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah,
dan Mu’tazilah, dalam dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab dengan
istilah ahl al Sunnah wa al Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif dapat
disebut sebagai ahl al Shunnah wa al Jama’ah. Kemunculan madzhab Asy’ariyah
yang mencoba mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat Islam
dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat menyebabkan Asy’ariyah
disebut sebagai madzhab Ahli Sunnah yang mula-mula. Term Ahli Sunnah dan
Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham- paham golongan
Mu'tazilah yang telah dijelaskan dalam makalah sebelumnya dan terhadap sikap
mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu.
Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan
ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan untuk menentang
serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtadha, Wasil mengirim
murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain.
Kelihatannya, murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut
Yaqut, di Thahart (suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko) terdapat kurang
lebih 30 ribu pengikut Wasil. Abu al-Hasan al Asy’ari pernah menganut paham
Mu’tazilah dan bahkan menjadi murid
kesayangan Abu Ali
al-Jaba’i, seorang tokoh
Mu’tazilah. Oleh karena
itulah beliau memiliki kemampuan berbicara dan berdebat yang tidak kalah
dengan gurunya. Namun kemudian beliau berbalik menjauhkan diri dari Mu’tazilah.
Seruan yang bernada penentangan terhadap pemikiran mu’tazilah pertama kali
dilakukan di masjid Bashrah pada suatu hari Jumat. Diantara seruannya antara
lain beliau menyatakan diri telah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah yang
menyakini bahwa Alquran adalah makhluk.
Dalam salah satu risalahnya Abu al-Hasan al-Asy’ari menyatakan
bahwa banyak di antara pengikut Mu’tazilah dan ahli Qadar (madzhab Qadariyah)
telah salah menempatkan sikap dengan mengikuti pemimpin yang masih hidup maupun
yang telah mati secara taklid buta. Abu al Hasan mengkoreksi kesalahan
metodologis yang digunakan oleh kedua kalangan tersebut dalam menafsirkan
maksud petunjuk Allah dalam Al
Quran dan menjelaskan penyimpangan pemikiran yang disebabkan oleh
kesalahan metodologis tersebut.
Al
Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari
kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan
mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu
Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada
tahun 206 H/873 M.
Pada
awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama
Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan
mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih
dan hadist. Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid
Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku,
sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku
mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa
Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata,
maka perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat,
bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya". Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab
dalam berbagai lapangan yang bisa dibaca oleh orang banyak. dia menolak
pendapat Aristoteles, golongan Jahamiyah dan golongan Murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan
Al-Asy’ari adalah ditujukan pada orang- orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai,
Abul Hudzail dan lain-lain. Contoh perdebatan antara Imam Al-asy’ari dengan Abu
Ali Al-Jubai:
Abu al-Hasan Al-Asy’ari bertanya: Bagaimana menurut pendapatmu
tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir dan
anak kecil.
Al-Jubai: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka
dan anak kecil selamat dari neraka.
Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga,
artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
Al-Jubai: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu
dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak kecil) belum
beramal seperti itu.
Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat.
seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya
orang mukmin.
Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur
dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga
kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa.
Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah
mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau
tidak menjaga kemashlahatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja, tidak
meneruskan jawabannya.
Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah antara lain:
1.
Pengakuan
Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah saw., sebanyak 3 kali. yakni pada malam
ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya itu Rasulullah saw.,
memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazillah .
2.
Al-Asy’ari
merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam soal–soal
perdebatan yang telah ditulis di atas.
3.
Karena
kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran Mu’tazillah maka akan
terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka.
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah,
tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia
menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama
atau membahas soal- soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan
suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan
menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan. Ciri-ciri
orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.
Mereka
berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran
itu.
2.
Iman
adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbaut
baik dan terbaik bagi manusia dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa
besar.
3.
Kehadiran
Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.
Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam
pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut:
“Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan
dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita
dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya
adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan
ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali
pada jumlah atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada
nabi dan rasul-Nya melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil
yang dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi
perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan yang disebut,
sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam
Asy’ariyah adalah Alqur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada
kaidah-kaidah ilmu kalam. Oleh karena dasar yang dipakai
Asy’ariyah dalam memahami Alqur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam
maka muncul beberapa penilaian terhadap konsekuensi penggunaan ilmu kalam
tersebut. Ada pun penilaian konsekuensi tersebut antara lain sebagai berikut : pertama,
Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan;
kedua, Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena,
menurut Asy’ariyah, hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan
sebagian dari kalangan Asy’ariyah dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil
dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf
didahulukan atau nash dibelokkan agar
sesuai dengan kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode
sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku
menyampaikan kepadaku dari tuhanku’.
Namun demikian
kedua konsekuensi akibat penggunaan ilmu kalam dalam penafsiran wahyu dan
hadits tersebut agaknya masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Dalam
masalah penggunaan akal dalam penafsiran wahyu misalnya, Abu al-Hasan sendiri
menyarankan agar dalam penafsiran Alquran lebih merujuk kepada penjelasan
Rasulullah dan penafsiran yang mutawatir di kalangan shahabat. Dengan demikian
klaim bahwa Asy’ariyah lebih mendahulukan akal dibandingkan naql pada saat
keduanya bertentangan tidak sepenuhnya benar jika ditinjau dari pernyataan Abu
al-Hasan al-Asy’ari. Demikian juga penolakan penggunaan hadits ahad9 dalam
pembahasan aqidah, mungkin saja hal tersebut benar. Namun demikian dapat
dibuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar jika pemikiran Asy’ariyah
disandarkan kepada Abu al-Hasan al- Asy’ari. Dalam penetangannya terhadap paham
Mu’tazilah dan ahli Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa
penyimpangan Mu’tazilah dan Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya
syafa’at Rasulullah dan azab kubur. Dari fakta ini dapat dikatakan, Abu
al-Hasan al-Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah
dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran.
Sementara kedua pembahasan tersebut, yaitu tentang syafaat rasulullah dan siksa
kubur, merupakan permasalahan aqidah yang disandarkan kepada hadits ahad.
Premis
1.
Aliran
Asy’ariyah merupakan aliran yang mendahulukan akal daripada naql. Aliran ini
juga menolak Hadits Ahad dalam menetapkan akidah.
2.
Nama
Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang
dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M.
3.
Abu
al-Hasan al-Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah
dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran.
4.
Abu
al-Hasan al-Asy’ari merupakan seseorang yang mengikuti aliran Mu’tazilah dan
akhirnya keluar dari aliran tersebut.
Kesimpulan
Aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang mendahulukan akal daripada
naql. Aliran ini juga menolak Hadits Ahad dalam menetapkan akidah. Nama
Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang
dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M yang merupakan
seseorang beraliran Mu’tazilah dan akhirnya keluar dari aliran tersebut karena
tidak sepakat bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ia berpendirian bahwa mengingkari
adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk
penyimpangan pemikiran.
Daftar Pustaka
Hasibuan, H. R. (2017, januari-juni). Aliran
Asy'ariyah. al-Hadi, 2(02), 433-437.
Supriadin. (2014). Al-Asy'ariyah. sulesana, 9(2), 67-73.