Tuesday, April 9, 2019

[Imam] Pemikiran Aliran Asy'ariyah


Nama  : Imam Ataqwa Khamarullah
Nim     : B01217022
A2

PEMIKIRAN ALIRAN AS’ARIYAH

Objek Kajian : Ilmu Kalam
Objek Material : Pemikiran Aliran Asy'ariyah
Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah, dalam dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab dengan istilah ahl al Sunnah wa al Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif dapat disebut sebagai ahl al Shunnah wa al Jama’ah. Kemunculan madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat menyebabkan Asy’ariyah disebut sebagai madzhab Ahli Sunnah yang mula-mula. Term Ahli Sunnah dan Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham- paham golongan Mu'tazilah yang telah dijelaskan dalam makalah sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu.
Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan untuk menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtadha, Wasil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain. Kelihatannya, murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut Yaqut, di Thahart (suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko) terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil. Abu al-Hasan al Asy’ari pernah menganut paham Mu’tazilah dan bahkan menjadi murid  kesayangan  Abu  Ali  al-Jaba’i,  seorang  tokoh  Mu’tazilah.  Oleh  karena   itulah beliau memiliki kemampuan berbicara dan berdebat yang tidak kalah dengan gurunya. Namun kemudian beliau berbalik menjauhkan diri dari Mu’tazilah. Seruan yang bernada penentangan terhadap pemikiran mu’tazilah pertama kali dilakukan di masjid Bashrah pada suatu hari Jumat. Diantara seruannya antara lain beliau menyatakan diri telah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah yang menyakini bahwa Alquran adalah makhluk.
Dalam salah satu risalahnya Abu al-Hasan al-Asy’ari menyatakan bahwa banyak di antara pengikut Mu’tazilah dan ahli Qadar (madzhab Qadariyah) telah salah menempatkan sikap dengan mengikuti pemimpin yang masih hidup maupun yang telah mati secara taklid buta. Abu al Hasan mengkoreksi kesalahan metodologis yang digunakan oleh kedua kalangan tersebut dalam menafsirkan maksud  petunjuk Allah  dalam Al  Quran dan menjelaskan penyimpangan pemikiran yang disebabkan oleh kesalahan metodologis tersebut.
Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M.
Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist. Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah. Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya".  Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai lapangan yang bisa dibaca oleh orang banyak. dia menolak pendapat Aristoteles, golongan Jahamiyah dan golongan   Murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan Al-Asy’ari adalah ditujukan pada orang- orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai, Abul Hudzail dan lain-lain. Contoh perdebatan antara Imam Al-asy’ari dengan Abu Ali Al-Jubai:
Abu al-Hasan Al-Asy’ari bertanya: Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir dan anak kecil.
Al-Jubai: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
Al-Jubai: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang mukmin.
Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa.
Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga kemashlahatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya.
Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah antara lain:
1.      Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah saw., sebanyak 3 kali. yakni pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya itu Rasulullah saw., memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazillah .
2.      Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam soal–soal perdebatan yang telah ditulis di atas.
3.      Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran Mu’tazillah maka akan terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka.
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal- soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan. Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran itu.
2.      Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
3.      Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.

Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut:
“Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan rasul-Nya melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan yang disebut, sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam Asy’ariyah adalah Alqur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah  ilmu  kalam. Oleh karena dasar yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami Alqur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam maka muncul beberapa penilaian terhadap konsekuensi penggunaan ilmu kalam tersebut. Ada pun penilaian konsekuensi tersebut antara lain sebagai berikut : pertama, Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan; kedua, Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena, menurut Asy’ariyah, hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan sebagian dari kalangan Asy’ariyah dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf didahulukan  atau nash dibelokkan agar sesuai dengan kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku’.
Namun demikian kedua konsekuensi akibat penggunaan ilmu kalam dalam penafsiran wahyu dan hadits tersebut agaknya masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Dalam masalah penggunaan akal dalam penafsiran wahyu misalnya, Abu al-Hasan sendiri menyarankan agar dalam penafsiran Alquran lebih merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan penafsiran yang mutawatir di kalangan shahabat. Dengan demikian klaim bahwa Asy’ariyah lebih mendahulukan akal dibandingkan naql pada saat keduanya bertentangan tidak sepenuhnya benar jika ditinjau dari pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’ari. Demikian juga penolakan penggunaan hadits ahad9 dalam pembahasan aqidah, mungkin saja hal tersebut benar. Namun demikian dapat dibuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar jika pemikiran Asy’ariyah disandarkan kepada Abu al-Hasan al- Asy’ari. Dalam penetangannya terhadap paham Mu’tazilah dan ahli Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa penyimpangan Mu’tazilah dan Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya syafa’at Rasulullah dan azab kubur. Dari fakta ini dapat dikatakan, Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran. Sementara kedua pembahasan tersebut, yaitu tentang syafaat rasulullah dan siksa kubur, merupakan permasalahan aqidah yang disandarkan kepada hadits ahad.

Premis
1.      Aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang mendahulukan akal daripada naql. Aliran ini juga menolak Hadits Ahad dalam menetapkan akidah.
2.      Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M.
3.      Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran.
4.      Abu al-Hasan al-Asy’ari merupakan seseorang yang mengikuti aliran Mu’tazilah dan akhirnya keluar dari aliran tersebut.
Kesimpulan
Aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang mendahulukan akal daripada naql. Aliran ini juga menolak Hadits Ahad dalam menetapkan akidah. Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M yang merupakan seseorang beraliran Mu’tazilah dan akhirnya keluar dari aliran tersebut karena tidak sepakat bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ia berpendirian bahwa mengingkari adanya syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan pemikiran.


Daftar Pustaka

Hasibuan, H. R. (2017, januari-juni). Aliran Asy'ariyah. al-Hadi, 2(02), 433-437.
Supriadin. (2014). Al-Asy'ariyah. sulesana, 9(2), 67-73.