Monday, April 8, 2019

[ilyunal] Politik Islam Ibnu Taimiyah


Ibnu Taimiyah


Kajian Formal             : Ilmu Kalam
Kajian Material           : Perpolitikan Ibnu Taimiyah

A.           Ibnu Taimiyah
Nama lengkap beliau ialah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani, dinisbatkan kepada daerah Harran suatu tempat di dekat Damaskus, Siria yang sekaligus sebagai tempat kelahirannya pada 10 Rabi al-Awwal 661 H/22 Januari 1263 M, lima tahun setelah Mongol menyerbu Bagdad. Ketika beliau masih kanak-kanak, kurang lebih tujuh tahun, tentara Mongol menyerang Harran tempat kelahirannya, sehingga keluarganya pergi Damaskus. Namun, walaupun penuh dengan kesulitan, keluarga ulama tetap membawa buku-bukunya yang berharga itu.
Pada masanya, kejumudan amat kental dan ijtihad amat kurang di kalangan umat, bahkan yang banyak adalah para muqallid serta penyakit TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat dan bid’ah merata di masyarakat. Beliau termasuk mujtahid dan tokoh Pembaharu Dunia Islam abad ke VII. Karena itu, beliau berkeinginan untuk mengembalikan umat agar hidupnya sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dengan kegigihan ini, maka beliau banyak dimusuhi orang-orang yang mempertahankan bid’ah itu, terutama ahli-ahli hukum, dan baru terhenti ketika Tartar menyerbu Siria tahun 699 H/1299 M. Pasukan ini baru dapat dikalahkan tiga tahun kemudian (702 H/132 M) dalam perang Saqhab.
Politik dunia Islam saat itu, sebenarnya sedang mengalami kemerosotan yang disebabkan oleh disintegrasi, setelah terpecahnya negara Abbasiyah menjadi kesultanan-kesultanan kecil, sehingga relatif mudah untuk dihancurkan musuh. Namun, berkat kegigihan kaum Muslimin waktu itu, termasuk di dalamnya Ibn Taimiyah, musuh tak berani masuk menembus Siria, apalagi sampai ke Mesir karena seandainya tentara Mongol tak tertahan oleh tentara Islam, bukan hanya Mesir yang dilumatkan, tetapi juga Eropa waktu itu.

B.            Ijtihad Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang hidup pada fase yang masyarakatnya hidup dalam taklid. Menurut Juhaya S. Praja, fase taklid merupakan fase terburuk bagi dinamika pemikiran hukum Islam karena terjadi disalokasi, yakni menempatkan gagasan ulama sejajar dengan al­Quran dan Sunnah, bahkan “lebih tinggi” dari al­Quran dan Sunnah. Maka dari itu, mengganti, mengubah atau meninggalkan pendapat imam mazhab yang dianut menjadi “haram”. Kekeliruan itu terjadi karena pergeseran penghargaan terhadap ulama, yaitu dari ulama sebagai hamil al-lughah, kepada ulama sebagai syari’.
Selain itu, fenomena pada periode taklid adalah ketidakberanian intelektual yang berimplikasi pada mandeknya hukum Islam atau fikih23 dan matinya kreativitas pemikiran Muslim yang disembelih di atas altar persatuan. Oleh karena itu, hukum Islam yang amat di­ namis dan kreatif dalam perjalanan sejarahnya yang awal kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan muatan­muatan asing. Dalam konteks semacam inilah Ibn Taimiyah yang tersentuh panggilan keagamaan, muncul di atas panggung sejarah pembaruan hukum Islam dengan mengklaim hak ijtihâd mutlak bagi dirinya serta menyeru masyarakat Muslim untuk kembali ke akar spritual mereka, al­Quran dan Sunnah Nabi. Namun verifikasi keagamaan Ibnu Taimiyah hanya terbatas pengaruhnya di kalangan murid­muridnya seperti Ibnu Qayyim dan tidak pernah menjelma menjadi suatu ge­ rakan pada masanya. Nanti setelah beberapa abad kemudian, yakni pada pengunjung abad ke­18, seruan Ibnu Taimiyah ditanggapi Muhammad bin ‘Abd al­Wahhab (w. 1204 H./1791 M.) di Arabia dan Syah Wali Allah (w.1762 M.) di India.
Ibnu Taimiyah, memang banyak mendapat kritik bahwa ia bukan­ lah seorang modernis atau mujtahid, ia hanyalah pengikut setia Imam Ahmad bin Hanbal. Namun, ia adalah salah satu tokoh dari se­ kian banyak tokoh pemikir Islam klasik yang menjadi rujukan kaum Muslim di zaman modern dan sangat menonjol. Ibnu Taimiyah juga pernah menyerang ‘Umar bin al­Khattab sebagai orang yang banyak melakukan kesalahan. Sebaliknya, ia sempat menunjukkan kelebihan tokoh yang sangat kontroversial, semisal, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Yazid, anaknya.29 Namun beberapa pendapatnya di bidang hukum Islam sangat berharga sebagai embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1) mengingkari ijma’ tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat; dan 3) boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu shalat akan habis jika berwudhu.

C.           Sekularisasi Ibnu Taimiyah
Gagasan sekularisasi politik Ibn Taymiyah ini masih berserak dan belum terkonseptualisasikan. Oleh karena itu, dibutuhkan teori sekularisasi yang tepat untuk dapat mengkonseptualisasikan dengan baik. Melihat perkembangan teori sekularisasi yang berkembang selama ini, maka penulis memandang teori sekularisasi Jose Casanova sebagai teori yang tepat untuk digunakan. Pertimbangan penulis menjatuhkan pilihan pada teori sekularisasi Casanova adalah sebagai berikut:
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, sekularisasi ini termasuk persoalan yang cukup aktual dan erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Sekularisasi merupakan tema penting yang berhubungan langsung dengan manusia secara sosial dan religious. Tidak ayal, ini kemudian memantik banyak pemikir untuk melontarkan gagasan tentang sekularisasi ini, yang kebanyakan sangat diwarnai oleh bidang ilmunya masing-masing serta berdasarkan tinjauan hidup ilmunya sendiri (Pardoyo: 1993: 51). Dengan demikian, pamahaman atau pemaknaan sekularisasi ini pun menjadi beraneka ragam.
Dalam struktur kognitif kaum Muslim Indonesia, istilah ‘sekular’ dan derevasinya, setermasuk sekularisasi, memiliki sebuah konotasi yang negatif sebagai penanda dari ‘kelainan’ (otherness). Istilah itu umumnya diasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruang publik dan politik—yang dianggap asing bagi pandangan dunia Islam—dengan referensi khusus pada kebijakan Kolonial Belanda yang represif di bawah pengaruh Snouck Hurgronje untuk memarginalkan Islam politik (Latif: 2010: xxv).
Namun, dalam perjalanan konseptualnya, pengertian sekularisasi sebagai konsep pun terus mengalami perkembangan sesuai dengan arus modernisasi (Rahman: 2011: 227). Bila ditelusuri dalam sejarah perkembangannya, landasan sistematis teori se kularisasi ini pertama kali ditemukan dalam pemikiran Max Weber (1864-1920) dan Emile Durkheim (1858-1917) (Casanova: 2003: 3). Teori sekularisasi yang dikembangkan oleh Max Weber ini berpijak pada perkembangan rasionalisme di era modern. Menu rutnya, sejak masa pencerahan telah ditemukan suatu pandangan rasional tentang dunia yang didasarkan atas standar bukti empiris, pengetahuan ilmiah atas feno mena alam, dan penguasaan teknologis atas alam. Seiring dengan ditemukannya cara berpikir rasional tersebut, pada gilirannya membuat paradigma dogmatis gereja perlahan mulai ditinggalkan dan tergantikan oleh paradigma rasional. Penggunaan sudut pandang rasional akan meruntuhkan fondasi keyakinan pada yang supernatural, yang misterius, dan yang magis. Argumen yang dibangun Weber tersebut kemudian dikembangkan oleh para sosiolog hebat era 1960-an dan 1970-an, terutama seperti Peter L. Berger, David Martin, dan Brian Wilson (Norris: 2011: 7). Mereka menyepakati bahwa rasionalisme akan membuat agama tersisihkan dan ditinggalkan di masa depan.
Sedikit berbeda dengan Weber, Durkheim mengembangkan teori sekularisasinya dengan memisahkan kebenaran agama dari permasalahan struktur simbolis dan fungsi sosialnya, yang kemudian hari dikenal sebutan diferensiasi fungsional (Casanova: 2003: 13).Model pendekatan Durkheim ini banyak dikembangkan oleh teoritikus kontemporer seperti Steve Bruce, Thomas Luckman, dan Karel Dobbelaere (Norris: 2011: 9). Dalam pandangan pendekatan ini, agama itu tidak hanya sebagai sistem keyakinan, melainkan juga sistem tindakan (fungsi), seperti ritual-ritual dan upacaraupacara. Memasuki era industri, di Eropa telah terjadi semacam diferensiasi fungsional dalam masyarakat. Seiring dengan semakin majunya teknologi, fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan kalangan agamawan mulai digantikan oleh kalangan profesional dan negara. Oleh karena itu, diferensiasi fungsional (sekularisasi) ini pada gilirannya akan membuat fungsi agama segera menemui masa purna tugasnya di ruang publik.




Premis 1: Ibnu Taimiyah diambil dari seorang bernama Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani.
Premis 2: Ibnu Taimiyah, yang merupakan pengikut setia Ahmad bin Hambal, lahir dan hidup saat terjadinya penyerbuan dari bangsa mongol sehingga membenci bangsa mongol.
Premis 3: Gagasan sekularisasi Ibnu Taimiyah masih belum terkonseptualisasikan.

Konklusi: Pendiri Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani, seorang pengikut mazhab Hambali yang membenci bangsa mongol dan penggagas sekularisasi politik Islam.


Penulis: Ilyunal Iqbal Kahfi
KPI A2 / B91217071