Ibnu Taimiyah
Kajian Formal :
Ilmu Kalam
Kajian
Material : Perpolitikan Ibnu Taimiyah
A.
Ibnu Taimiyah
Nama lengkap beliau ialah Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin
Muhammad bin Taimiyah al-Harrani, dinisbatkan kepada daerah Harran suatu tempat
di dekat Damaskus, Siria yang sekaligus sebagai tempat kelahirannya pada 10
Rabi al-Awwal 661 H/22 Januari 1263 M, lima tahun setelah Mongol menyerbu
Bagdad. Ketika beliau masih kanak-kanak, kurang lebih tujuh tahun, tentara
Mongol menyerang Harran tempat kelahirannya, sehingga keluarganya pergi
Damaskus. Namun, walaupun penuh dengan kesulitan, keluarga ulama tetap membawa
buku-bukunya yang berharga itu.
Pada masanya, kejumudan amat kental dan ijtihad amat kurang di
kalangan umat, bahkan yang banyak adalah para muqallid serta penyakit TBC
(takhayul, bid’ah dan khurafat dan bid’ah merata di masyarakat. Beliau termasuk
mujtahid dan tokoh Pembaharu Dunia Islam abad ke VII. Karena itu, beliau
berkeinginan untuk mengembalikan umat agar hidupnya sesuai dengan tuntutan
al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dengan kegigihan ini, maka beliau banyak dimusuhi
orang-orang yang mempertahankan bid’ah itu, terutama ahli-ahli hukum, dan baru
terhenti ketika Tartar menyerbu Siria tahun 699 H/1299 M. Pasukan ini baru
dapat dikalahkan tiga tahun kemudian (702 H/132 M) dalam perang Saqhab.
Politik dunia Islam saat itu, sebenarnya sedang mengalami
kemerosotan yang disebabkan oleh disintegrasi, setelah terpecahnya negara
Abbasiyah menjadi kesultanan-kesultanan kecil, sehingga relatif mudah untuk
dihancurkan musuh. Namun, berkat kegigihan kaum Muslimin waktu itu, termasuk di
dalamnya Ibn Taimiyah, musuh tak berani masuk menembus Siria, apalagi sampai ke
Mesir karena seandainya tentara Mongol tak tertahan oleh tentara Islam, bukan
hanya Mesir yang dilumatkan, tetapi juga Eropa waktu itu.
B.
Ijtihad Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang hidup pada fase yang
masyarakatnya hidup dalam taklid. Menurut Juhaya S. Praja, fase taklid merupakan
fase terburuk bagi dinamika pemikiran hukum Islam karena terjadi disalokasi,
yakni menempatkan gagasan ulama sejajar dengan alQuran dan Sunnah, bahkan
“lebih tinggi” dari alQuran dan Sunnah. Maka dari itu, mengganti, mengubah
atau meninggalkan pendapat imam mazhab yang dianut menjadi “haram”. Kekeliruan
itu terjadi karena pergeseran penghargaan terhadap ulama, yaitu dari ulama
sebagai hamil al-lughah, kepada ulama sebagai syari’.
Selain itu, fenomena pada periode taklid adalah ketidakberanian
intelektual yang berimplikasi pada mandeknya hukum Islam atau fikih23 dan
matinya kreativitas pemikiran Muslim yang disembelih di atas altar persatuan.
Oleh karena itu, hukum Islam yang amat di namis dan kreatif dalam perjalanan
sejarahnya yang awal kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan
muatanmuatan asing. Dalam konteks semacam inilah Ibn Taimiyah yang tersentuh
panggilan keagamaan, muncul di atas panggung sejarah pembaruan hukum Islam
dengan mengklaim hak ijtihâd mutlak bagi dirinya serta menyeru masyarakat
Muslim untuk kembali ke akar spritual mereka, alQuran dan Sunnah Nabi. Namun
verifikasi keagamaan Ibnu Taimiyah hanya terbatas pengaruhnya di kalangan
muridmuridnya seperti Ibnu Qayyim dan tidak pernah menjelma menjadi suatu ge
rakan pada masanya. Nanti setelah beberapa abad kemudian, yakni pada pengunjung
abad ke18, seruan Ibnu Taimiyah ditanggapi Muhammad bin ‘Abd alWahhab (w.
1204 H./1791 M.) di Arabia dan Syah Wali Allah (w.1762 M.) di India.
Ibnu Taimiyah, memang banyak mendapat kritik bahwa ia bukan lah
seorang modernis atau mujtahid, ia hanyalah pengikut setia Imam Ahmad bin
Hanbal. Namun, ia adalah salah satu tokoh dari se kian banyak tokoh pemikir
Islam klasik yang menjadi rujukan kaum Muslim di zaman modern dan sangat
menonjol. Ibnu Taimiyah juga pernah menyerang ‘Umar bin alKhattab sebagai
orang yang banyak melakukan kesalahan. Sebaliknya, ia sempat menunjukkan
kelebihan tokoh yang sangat kontroversial, semisal, Muawiyah bin Abu Sufyan dan
Yazid, anaknya.29 Namun beberapa pendapatnya di bidang hukum Islam sangat
berharga sebagai embrio kebangkitan kembali ijtihâd, di antaranya ; 1)
mengingkari ijma’ tidaklah kafir; 2) orang yang tidak sembahyang tidak boleh
diberi zakat; dan 3) boleh tayamum walaupun ada air untuk shalat jika waktu
shalat akan habis jika berwudhu.
C.
Sekularisasi Ibnu Taimiyah
Gagasan sekularisasi politik Ibn Taymiyah
ini masih berserak dan belum terkonseptualisasikan. Oleh karena itu, dibutuhkan
teori sekularisasi yang tepat untuk dapat mengkonseptualisasikan dengan baik.
Melihat perkembangan teori sekularisasi yang berkembang selama ini, maka
penulis memandang teori sekularisasi Jose Casanova sebagai teori yang tepat
untuk digunakan. Pertimbangan penulis menjatuhkan pilihan pada teori
sekularisasi Casanova adalah sebagai berikut:
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan
umum, sekularisasi ini termasuk persoalan yang cukup aktual dan erat kaitannya
dengan kehidupan manusia. Sekularisasi merupakan tema penting yang berhubungan
langsung dengan manusia secara sosial dan religious. Tidak ayal, ini kemudian
memantik banyak pemikir untuk melontarkan gagasan tentang sekularisasi ini,
yang kebanyakan sangat diwarnai oleh bidang ilmunya masing-masing serta
berdasarkan tinjauan hidup ilmunya sendiri (Pardoyo: 1993: 51). Dengan demikian,
pamahaman atau pemaknaan sekularisasi ini pun menjadi beraneka ragam.
Dalam struktur kognitif kaum Muslim
Indonesia, istilah ‘sekular’ dan derevasinya, setermasuk sekularisasi, memiliki
sebuah konotasi yang negatif sebagai penanda dari ‘kelainan’ (otherness).
Istilah itu umumnya diasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruang
publik dan politik—yang dianggap asing bagi pandangan dunia Islam—dengan
referensi khusus pada kebijakan Kolonial Belanda yang represif di bawah
pengaruh Snouck Hurgronje untuk memarginalkan Islam politik (Latif: 2010: xxv).
Namun, dalam perjalanan konseptualnya,
pengertian sekularisasi sebagai konsep pun terus mengalami perkembangan sesuai
dengan arus modernisasi (Rahman: 2011: 227). Bila ditelusuri dalam sejarah
perkembangannya, landasan sistematis teori se kularisasi ini pertama kali
ditemukan dalam pemikiran Max Weber (1864-1920) dan Emile Durkheim (1858-1917)
(Casanova: 2003: 3). Teori sekularisasi yang dikembangkan oleh Max Weber ini
berpijak pada perkembangan rasionalisme di era modern. Menu rutnya, sejak masa
pencerahan telah ditemukan suatu pandangan rasional tentang dunia yang
didasarkan atas standar bukti empiris, pengetahuan ilmiah atas feno mena alam,
dan penguasaan teknologis atas alam. Seiring dengan ditemukannya cara berpikir
rasional tersebut, pada gilirannya membuat paradigma dogmatis gereja perlahan
mulai ditinggalkan dan tergantikan oleh paradigma rasional. Penggunaan sudut
pandang rasional akan meruntuhkan fondasi keyakinan pada yang supernatural,
yang misterius, dan yang magis. Argumen yang dibangun Weber tersebut kemudian
dikembangkan oleh para sosiolog hebat era 1960-an dan 1970-an, terutama seperti
Peter L. Berger, David Martin, dan Brian Wilson (Norris: 2011: 7). Mereka
menyepakati bahwa rasionalisme akan membuat agama tersisihkan dan ditinggalkan
di masa depan.
Sedikit berbeda dengan Weber, Durkheim
mengembangkan teori sekularisasinya dengan memisahkan kebenaran agama dari
permasalahan struktur simbolis dan fungsi sosialnya, yang kemudian hari dikenal
sebutan diferensiasi fungsional (Casanova: 2003: 13).Model pendekatan Durkheim
ini banyak dikembangkan oleh teoritikus kontemporer seperti Steve Bruce, Thomas
Luckman, dan Karel Dobbelaere (Norris: 2011: 9). Dalam pandangan pendekatan
ini, agama itu tidak hanya sebagai sistem keyakinan, melainkan juga sistem
tindakan (fungsi), seperti ritual-ritual dan upacaraupacara. Memasuki era
industri, di Eropa telah terjadi semacam diferensiasi fungsional dalam
masyarakat. Seiring dengan semakin majunya teknologi, fungsi-fungsi yang
sebelumnya dijalankan kalangan agamawan mulai digantikan oleh kalangan
profesional dan negara. Oleh karena itu, diferensiasi fungsional (sekularisasi)
ini pada gilirannya akan membuat fungsi agama segera menemui masa purna
tugasnya di ruang publik.
Premis 1: Ibnu
Taimiyah diambil dari seorang bernama Abu
Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani.
Premis 2: Ibnu
Taimiyah, yang merupakan pengikut setia Ahmad bin Hambal, lahir dan hidup saat
terjadinya penyerbuan dari bangsa mongol sehingga membenci bangsa mongol.
Premis 3: Gagasan
sekularisasi Ibnu Taimiyah masih belum terkonseptualisasikan.
Konklusi: Pendiri
Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad
bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al-Harrani, seorang pengikut mazhab Hambali yang
membenci bangsa mongol dan penggagas sekularisasi politik Islam.
Penulis: Ilyunal Iqbal Kahfi
KPI A2 / B91217071