Asy’ariyah dalam Theologi
Kajian Formal :
Ilmu Kalam
Kajian
Material : Manusia dan Teologi (ketuhanan)
A.
Asal Asy’ariyah
Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah,
Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut
mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Nama Al-Asy’ariyah
diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota
Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M.2 Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru
kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam
beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran
Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah,
tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia
menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama
atau membahas soal- soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan
suatu kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan
menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
B.
Tokoh dalam Asy’ariyah
Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian,
ia berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan
sokongan Nuruddin Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di
Turki dengan sokongan Utsmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini
juga didokong oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i
dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -Qafal, al-Jarjani dan
lain-lain sehingga sekarang.
Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan al-Asy’ari adalah dengan
mengemukakan hujah logis yang disertakan hujah teks Alquran dan hadis Nabi
Muhammad saw. Hujah- hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jama'ah
untuk menghadapi hujah golongan Mu'tazilah yang pesat berkembang dan mendapat
sokongan daripada pemerintah- pemerintah kerajaan Abbasiyah. Akhirnya, golongan
Mu'tazilah bukan saja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang ditubuh
kemudiannya memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan
mengembangkan faham Asya’ irah.
Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran
faham ini seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin
al-Taib al Baqillani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad
al-Juwaini, Abu Mazfir alAsfaraini, Imam al-Haramain al-Juwaini, Hujah Islam
Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin al-Razi.
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang
dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min
Uslul Diniyati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam Ahmad
bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiyah yang menyokong
Mu'tazilah pada zamannya. Begitu juga dalam buku Al-Luma‘ Fi al-Raddi ‘Ala
Ahlil Zaighi wal Bid‘i beliau menbedahkan hujah logik dan teks. Buku Maqalatul
Islamiyiin menbedahkan faham-faham yang timbul dalam ilmu Kalam dan menjadi
rujukan penting dalam pengajian faham-faham akidah. Buku Istihsan al-Khaudhi
Fil Ilmu Kalam juga adalah risalah kecil bagi yang menolak hujah mereka yang
mengharamkan ilmu Kalam.
C.
Penyebaran Asy’ariyah di Indonesia
Bukti kuatnya pengaruh Asy’ariyah di
masyarakat Indonesia yakni bahwa paham Asy’ariyah diajarkan sejak dini di
surau, masjid, majelis taklim, TPA, dan lainnya. Kita ingat dan mendengar
bagaimana anak-anak kecil didikte untuk menghafal sifat dua puluh. Sifat dua
puluh mulai diperkenalkan oleh seorang Asy’ari, yaitu as-Sanusi. Buku-buku
berpaham Asy’ariyah dijadikan kurikulum baku di lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagai contoh: Diajarkannya sifat dua puluh di sekolah-sekolah.
Tokoh-tokoh Asy’ariyah menjadi figur
banyak kaum muslimin, bahkan karya-karya mereka menjadi rujukan. Di antara
tokoh-tokoh Asy’ariyah yang masyhur di negeri ini adalah al-Baqilani, Abu Hamid
al-Ghazali, ar-Razi, as-Sanusi, Muhammad Nawawi al- Bantani, Said Hawa,
al-Juwaini, dan Sirajudin Abas. Sebagian peneliti mengungkapkan bahwa
al-Juwaini adalah penganut Asy’ariyah tulen. Sementara itu, sebagian yang lain
meyakini bahwa ia pengikut Mu’tazilah. Kelompok pertama memberikan argumen bahwa al-Juwaini pernah belajar kepada Abu
Qasim al-Isframi, seorang ahli teologi Asy’ariyah. Ia juga pernah berguru
kepada tokoh Asy’ariyah yang lain, yakni al-Baqilani. Bukti lain keterkaitan
al-Juwaini dengan aliran Asy’ariyah adalah ia pernah mengajar di Madrasah
Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun.
Di pondok-pondok
pesantren, diajarkan di sana kitab-kitab yang berpemikiran Asy’ariyah,
misalnya: Aqidatul Awam yang diajarkan di pondok-pondok pesantren, mengajar
sifat dua puluh yang merupakan prinsip Asy’ariyah, Tafsir Jalalain, terutama
dalam hal sifat-sifat Allah, Ihya Ulumudin, Ummu Barahin, Kasyifah al-Haji,
Qathr Ghaits, dan Masail al-Laits.
D.
Daftar Pustaka
Aceh,
Aboebakar. Sejarah Filsafat Islam.
Cetakan III. Surakarta: Ramadhani. 1989.
Ahmad,
Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung:
Pustaka Setia. 2009.
Hanafi. Pengantar Teologi Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna. 2003.
Hasibuan, Hadi
Rafitra. Jurnal Al-Hadi. ALIRAN
ASY'ARIYAH. Vol. II no 2. Asahan: IAI Darul Ulum. 2017.
Nasir, Salihun
A. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1996.
Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Rozak, Abdul. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka setia.
2007.
Premis 1: Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab dan diambil dari tokoh Abu Hasan
al-Asy’ariyah.
Premis 2: Tokoh
terkenal lainnya ialah al-Juwairi, al-Ghazali dan as-Sanusi.
Premis 3: Di
Indonesia masih lekat pemikiran
Asy’ariyah baik di pesantren maupun perguruan tinggi.
Konklusi: Pendiri
Asy’ariyah adalah Abu Hasan al-Asy’ariyah, yang kemudian diteruskan oleh
muridnya yang terkenal yaitu al-Juwairi, al-Ghazali dan as-Sanusi yang hingga
sekarang ajaran itu masih lekat di Indonesia.
Penulis: Ilyunal Iqbal Kahfi
KPI A2 / B91217071