Monday, April 8, 2019

[ilyunal] Doktrin Wahabi / Salafi


Wahabi / Salafi


Kajian Formal             : Ilmu Kalam
Kajian Material           : Doktrin Wahabi / Salafi

A.           Wahabi
Wahabi ialah aliran di dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab. Muhammad bin Abdul Wahab lahir pada tahun 1703/1115 di ‘Uyaynah. Ibnu Abdul Wahab berasal dari daerah Najd, belahan timur kerajaan Arab Saudi sekarang. Terkait tempat kelahiran tokoh wahabi ini, Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Di sana akan muncul kegoncangan dan fitnah, dan di sana pula nanti muncul tanduk setan” (HR: alBukhari). Peryataan Rasul ini mungkin tidak berkaitan langsung dengan Muhammad bin Abdul Wahab, tetapi fakta sejarah menunjukan bahwa sebagian kelompok yang merasahkan umat Islam lahir dari daerah ini: misalnya nabi palsu Musailamah al-Kadzab.
Meskipun Muhammad bin Abdul Wahab sangat dipuji pengikutnya, tetapi perlu diketahui bahwa Ayah kandung Muhammad bin Abdul Wahab sendiri sudah lama merasa aneh dan janggal melihat pemikiran anaknya. Bahkan, kakak kandung Ibnu Abdul Wahab, Sulaiman bin Abdul Wahab, mengkritik keras dan menolak pandangan keagamaan pendiri wahabi ini. Kritikan Sulaiman tersebut ditulis dalam buku al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala alWahabiyyah. Sejak ayahnya meninggal, Muhammad bin Abdul Wahab merasa bebas berpendapat serta menyerang prilaku umat Islam yang bertentangan dengan pendapatnya. Pendiri wahabi ini memahami al-Qur’an dan hadis secara sempit dan sangat tekstual, sehingga mereka begitu mudahnya membid’ahkan dan mengafirkan orang yang tidak mengikuti pemahaman mereka.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab sejak dulu kontroversial dan mengundang kritikan dan hujatan banyak orang. Dia ingin melakukan permunian terhadap ajaran Islam, sehingga menganggap ziarah kubur dan tawassul sebagai bentuk kemusyrikan. Sebab itu, tidak mengherankan bila pandangan Ibnu Abdul Wahab ini dikritik banyak orang dan bertentangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Karena paham Muhammad bin Abdul Wahab dianggap bertentangan dengan mayoritas ulama dan pengikutnya selalu membuat resah masyarakat di mana-mana, akhirnya kelompok ini tidak mau lagi menggunakan nama wahabi. Mereka mengarang cerita baru bahwa aliran wahabi sebenarnya dinisbatkan kepada pengikut Abdul Wahab bin Rustum (211 H), bukan kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Abdul Wahab bin Rustum adalah pengikut paham khawarij yang mengafirkan muslim yang melakukan dosa, serta memberontak kepada pemerintahan Islam. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukan, pengikut Abdul Wahab bin Rustum tidak dinamakan wahab, الوهابية tetapi wahbiyyah (الوهبية). Kelompok ini disebut wahbiyyah karena Abdul Wahab bin Rustum sebenarnya bukan pendiri aliran ini, pendirinya adalah Abdullah bin Wahbi al-Rasibi (38 H).

B.            Doktrin Salafi-Wahabi
Doktrin-doktrin salafi-wahabi adalah sebagai berikut:
1.      Mengampanyekan jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis dengan meninggalkan madzhab fikih serta pandangan ulama terdahulu.
2.      Memahami al-Qur’an dan hadis secara tekstual dan tidak menggunakan perangkat pengetahuan yang biasa digunakan ulama untuk memahami al-Qur’an dan hadis: misalnya, ushul fikih, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu bahasa, dan lain-lain.
3.      Memahami al-Qur’an dan hadis sepotong sepotong dan tidak mengonfirmasi dan menyesuaikannya dengan ayat ataupun hadis lainnya.
4.      Menganggap setiap amalan yang tidak ada dalil spesifiknya dalam al-Qur’an dan hadis sebagai bid’ah.
5.      Memahami setiap perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah dan haram dilakukan.
6.      Meyakini bahwa andaikan perbuatan itu boleh dilakukan, sudah pasti dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
7.      Memahami permasalahan dari bungkusnya saja, tanpa melihat isi dan substansinya.
8.      Mengajak orang untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis, serta meninggalkan madzhab fikih, tetapi mereka malah sering merujuk pendapat tokoh-tokoh mereka.


C.           Ulama Rujukan Salafi-Wahabi
Kelompok salafi-wahabi seringkali tidak konsisten dengan pendapat yang mereka kemukakan. Mereka selalu mengumandangkan jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis, bahkan menghujat orang-orang yang merujuk pada pendapat ulama-ulama klasik. Namun faktanya, mereka sendiri juga tetap taqlid pada pendapat-pendapat tokoh dan ulama mereka.
Di antara ulama yang menjadi rujukan mereka ialah: Pertama, Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Kedua tokoh ini merupakan ulama klasik yang sering dikutip pendapatnya oleh salafi-wahabi. Kebanyakan pendapat Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim yang dikutip hanya soal teologi atau tauhid. Sementara pandangan kedua tokoh ini terkait permasalahan fikih jarang seringkali dipahami dan ditampilkan. Andaikan pemikiran fikih Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim didalami dan dielobarasi oleh salafi-wahabi, besar kemungkinan pandangan fikih mereka tidak akan sempit dan kaku.
Kedua, Nashiruddin al-Bani, Abdullah bin Baz, dan Muhammad bin Shalih al-Ustaimin. Ketiga tokoh ini termasuk ulama kontemporer yang pendapatnya sering dirujuk salafi-wahabi, terutama oleh agen-agen salafi-wahabi di Indonesia.


D.           Mengapa Doktrin “Kembali pada al-Qur’an dan Hadist” bermasalah?
Seluruh ulama dan umat Islam pada umumnya mengetahui sumber  utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Setiap ibadah yang dilakukan mesti merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber tersebut. Lalu di mana kerancuan salafi-wahabi yang seringkali menyeru umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan hadis? Sekilas memang tidak yang salah dengan jargon tersebut. Yang masalah adalah pemahaman salafi-wahabi terhadap konsep kembali kepada al-Qur’an dan hadis. Salafi-wahabi mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan hadis dengan cara meninggalkan metode dan pendapat ulama terdahulu. Khazanah keislaman yang begitu kaya dan komplek tidak ada harga dan nilainya di mata salafi-wahabi, karena bagi salafi-wahabi tidak perlu mengikuti pendapat dan metode pemahaman al-Qur’an dan hadis yang dirumuskan ulama terdahulu.
Dengan bermodalkan terjemahan al-Qur’an dan hadis sebagian kelompok salafi-wahabi merasa mampu berijtihad dan berfatwa, tanpa harus merujuk pendapat ulama. Di sinilah kerancuan jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis yang diusung salafi-wahabi. Bila kita tidak mau berobat dengan dokter yang hanya baca buku kedokteran saja, tanpa pernah sekolah dokter dan tidak berpengalaman, tentu dalam masalah agama kita mestinya tidak mencukupkan diri dengan terjemahan al-Qur’an dan hadis yang kita baca. Kita perlu belajar kepada ulama yang menguasai ilmu untuk memahami al-Qur’an dan hadis secara benar. Untuk mampu memahami kedua sumber tersebut dibutuhkan ilmu ushul fikih, ilmu tafsir, ilmu gramatikal Arab, ilmu hadis, dan ilmu pendukung lainnya agar ijtihadnya tepat dan benar.



Premis 1: Wahabi ialah aliran di dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab.
Premis 2: Doktrinnya ialah kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dengan cara meninggalkan metode dan pendapat ulama terdahulu.
Premis 3: Salafi-Wahabi menggunakan pendapat Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah sebagai rujukan.
Premis 4: Dengan bermodalkan terjemahan al-Qur’an dan hadis sebagian kelompok salafi-wahabi merasa mampu berijtihad dan berfatwa.

Konklusi: Wahabi adalah aliran di dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab. Doktrin utamanya mengajak umat Islam kembali pada al-Qur’an dan hadits dengan meninggalkan pendapat ulama, hanya bermodal terjemah mereka mampu berijtihad dan berfatwa. Ulama rujukan mereka adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah.


Penulis: Ilyunal Iqbal Kahfi
KPI A2 / B91217071