Wahabi / Salafi
Kajian Formal :
Ilmu Kalam
Kajian
Material : Doktrin Wahabi / Salafi
A.
Wahabi
Wahabi ialah aliran di dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab. Muhammad bin Abdul Wahab lahir pada tahun 1703/1115
di ‘Uyaynah. Ibnu Abdul Wahab berasal dari daerah Najd, belahan timur kerajaan
Arab Saudi sekarang. Terkait tempat kelahiran tokoh wahabi ini, Rasulullah SAW
pernah mengatakan, “Di sana akan muncul kegoncangan dan fitnah, dan di sana
pula nanti muncul tanduk setan” (HR: alBukhari). Peryataan Rasul ini mungkin
tidak berkaitan langsung dengan Muhammad bin Abdul Wahab, tetapi fakta sejarah
menunjukan bahwa sebagian kelompok yang merasahkan umat Islam lahir dari daerah
ini: misalnya nabi palsu Musailamah al-Kadzab.
Meskipun Muhammad bin Abdul Wahab sangat dipuji pengikutnya, tetapi
perlu diketahui bahwa Ayah kandung Muhammad bin Abdul Wahab sendiri sudah lama merasa aneh dan janggal melihat pemikiran
anaknya. Bahkan, kakak kandung Ibnu Abdul Wahab, Sulaiman bin Abdul Wahab,
mengkritik keras dan menolak pandangan keagamaan pendiri wahabi ini. Kritikan
Sulaiman tersebut ditulis dalam buku al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala
alWahabiyyah. Sejak ayahnya meninggal, Muhammad bin Abdul Wahab merasa bebas
berpendapat serta menyerang prilaku umat Islam yang bertentangan dengan
pendapatnya. Pendiri wahabi ini memahami al-Qur’an dan hadis secara sempit dan
sangat tekstual, sehingga mereka begitu mudahnya membid’ahkan dan mengafirkan
orang yang tidak mengikuti pemahaman mereka.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab sejak
dulu kontroversial dan mengundang kritikan dan hujatan banyak orang. Dia ingin
melakukan permunian terhadap ajaran Islam, sehingga menganggap ziarah kubur dan
tawassul sebagai bentuk kemusyrikan. Sebab itu, tidak mengherankan bila
pandangan Ibnu Abdul Wahab ini dikritik banyak orang dan bertentangan dengan
paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Karena paham Muhammad bin Abdul Wahab
dianggap bertentangan dengan mayoritas ulama dan pengikutnya selalu membuat
resah masyarakat di mana-mana, akhirnya kelompok ini tidak mau lagi menggunakan
nama wahabi. Mereka mengarang cerita baru bahwa aliran wahabi sebenarnya
dinisbatkan kepada pengikut Abdul Wahab bin Rustum (211 H), bukan kepada Muhammad
bin Abdul Wahab. Abdul Wahab bin Rustum adalah pengikut paham khawarij yang
mengafirkan muslim yang melakukan dosa, serta memberontak kepada pemerintahan
Islam. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukan, pengikut Abdul Wahab bin Rustum
tidak dinamakan wahab, الوهابية tetapi wahbiyyah (الوهبية). Kelompok ini
disebut wahbiyyah karena Abdul Wahab bin Rustum sebenarnya bukan pendiri aliran
ini, pendirinya adalah Abdullah bin Wahbi al-Rasibi (38 H).
B.
Doktrin Salafi-Wahabi
Doktrin-doktrin salafi-wahabi adalah sebagai
berikut:
1.
Mengampanyekan
jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis dengan meninggalkan madzhab fikih
serta pandangan ulama terdahulu.
2.
Memahami
al-Qur’an dan hadis secara tekstual dan tidak menggunakan perangkat pengetahuan yang biasa digunakan ulama untuk memahami al-Qur’an dan
hadis: misalnya, ushul fikih, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu bahasa, dan
lain-lain.
3.
Memahami
al-Qur’an dan hadis sepotong sepotong dan tidak mengonfirmasi dan
menyesuaikannya dengan ayat ataupun hadis lainnya.
4.
Menganggap
setiap amalan yang tidak ada dalil spesifiknya dalam al-Qur’an dan hadis
sebagai bid’ah.
5.
Memahami
setiap perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah dan haram
dilakukan.
6.
Meyakini
bahwa andaikan perbuatan itu boleh dilakukan, sudah pasti dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya.
7.
Memahami
permasalahan dari bungkusnya saja, tanpa melihat isi dan substansinya.
8.
Mengajak
orang untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis, serta meninggalkan madzhab
fikih, tetapi mereka malah sering merujuk pendapat tokoh-tokoh mereka.
C.
Ulama Rujukan Salafi-Wahabi
Kelompok salafi-wahabi seringkali tidak
konsisten dengan pendapat yang mereka kemukakan. Mereka selalu mengumandangkan
jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis, bahkan menghujat orang-orang yang
merujuk pada pendapat ulama-ulama klasik. Namun faktanya, mereka sendiri juga
tetap taqlid pada pendapat-pendapat tokoh dan ulama mereka.
Di antara ulama yang menjadi rujukan
mereka ialah: Pertama, Ibnu Taymiyyah
dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Kedua tokoh ini merupakan ulama klasik yang
sering dikutip pendapatnya oleh salafi-wahabi. Kebanyakan pendapat Ibnu
Taymiyyah dan Ibnu Qayyim yang dikutip hanya soal teologi atau
tauhid. Sementara pandangan kedua tokoh ini terkait permasalahan fikih jarang
seringkali dipahami dan ditampilkan. Andaikan pemikiran fikih Ibnu Taymiyyah
dan Ibnu Qayyim didalami dan dielobarasi oleh salafi-wahabi, besar kemungkinan
pandangan fikih mereka tidak akan sempit dan kaku.
Kedua, Nashiruddin al-Bani, Abdullah bin Baz, dan
Muhammad bin Shalih al-Ustaimin. Ketiga tokoh ini termasuk ulama kontemporer
yang pendapatnya sering dirujuk salafi-wahabi, terutama oleh agen-agen
salafi-wahabi di Indonesia.
D.
Mengapa Doktrin “Kembali pada al-Qur’an dan Hadist” bermasalah?
Seluruh ulama dan umat Islam pada umumnya
mengetahui sumber utama hukum Islam
adalah al-Qur’an dan hadis. Setiap ibadah yang dilakukan
mesti merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber tersebut. Lalu
di mana kerancuan salafi-wahabi yang seringkali menyeru umat Islam agar kembali
kepada al-Qur’an dan hadis? Sekilas memang tidak yang salah dengan jargon
tersebut. Yang masalah adalah pemahaman salafi-wahabi terhadap konsep kembali
kepada al-Qur’an dan hadis. Salafi-wahabi mengajak umat Islam kembali kepada
al-Qur’an dan hadis dengan cara meninggalkan metode dan pendapat ulama
terdahulu. Khazanah keislaman yang begitu kaya dan komplek tidak ada harga dan
nilainya di mata salafi-wahabi, karena bagi salafi-wahabi tidak perlu mengikuti
pendapat dan metode pemahaman al-Qur’an dan hadis yang dirumuskan ulama
terdahulu.
Dengan
bermodalkan terjemahan al-Qur’an dan hadis sebagian kelompok salafi-wahabi
merasa mampu berijtihad dan berfatwa, tanpa harus merujuk pendapat ulama. Di
sinilah kerancuan jargon kembali kepada al-Qur’an dan hadis yang diusung
salafi-wahabi. Bila kita tidak mau berobat dengan dokter yang hanya baca buku
kedokteran saja, tanpa pernah sekolah dokter dan tidak berpengalaman, tentu
dalam masalah agama kita mestinya tidak mencukupkan diri dengan terjemahan
al-Qur’an dan hadis yang kita baca. Kita perlu belajar kepada ulama yang
menguasai ilmu untuk memahami al-Qur’an dan hadis secara benar. Untuk mampu
memahami kedua sumber tersebut dibutuhkan ilmu ushul fikih, ilmu tafsir, ilmu
gramatikal Arab, ilmu hadis, dan ilmu pendukung lainnya agar ijtihadnya tepat
dan benar.
Premis 1: Wahabi ialah aliran di dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab.
Premis 2: Doktrinnya ialah kembali kepada al-Qur’an dan Hadis
dengan cara meninggalkan metode dan pendapat ulama terdahulu.
Premis 3: Salafi-Wahabi
menggunakan pendapat Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah sebagai
rujukan.
Premis 4: Dengan bermodalkan terjemahan al-Qur’an dan
hadis sebagian kelompok salafi-wahabi merasa mampu berijtihad dan berfatwa.
Konklusi: Wahabi adalah aliran
di dalam Islam yang ditujukan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab. Doktrin utamanya mengajak umat Islam
kembali pada al-Qur’an dan hadits dengan meninggalkan pendapat ulama, hanya
bermodal terjemah mereka mampu berijtihad dan berfatwa. Ulama rujukan mereka
adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah.
Penulis: Ilyunal Iqbal Kahfi
KPI A2 / B91217071