SEJARAH DAN STRATEGI DAKWAH
IKHWANUL MUSLIMIN
Objek Kajian :
Kajian Material : Ilmu
Kalam
Kajian Formal : Sejarah dan Strategi dakwah ikhwanul
muslimin
Di
tengah ingar-bingarnya gerakan aktivis Muslim kontemporer di seluruh penjuru
dunia, Ikhwanul Muslimin tampil sebagai organisasi dakwah yang berpengaruh di
Timur Tengah, khususnya di Mesir. Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang
mampu membaca aspirasi masyarakat sekitarnya, sehingga platform dan gerakan
dakwah yang dilakukannya tidak lepas dari masyarakat. Bahkan tidak hanya dalam
wilayah dakwah, melainkan lebih luas lagi, memasuki wilayah sosial dan politik.
Sebagaimana dikemukakan Hassan Al-Banna bahwa Ikwanul Muslimin tidak menafikan
gerakan sosial politik, asal ia diperuntukkan bagi perbaikan umat (is}la>h}
al- ummah).1 Eksistensi Ikhwanul Muslimin dalam perjalanan politik di Mesir,
juga sangat strategis. Mereka ikut terlibat dalam perjuangan revolusi era Gamal
Abdunnasser, menumbangkan Raja Faruq, dan ikut serta dalam mengubah bentuk
pemerintahan Mesir dari Kerajaan menjadi Republik. Tidak cukup di sini, Ikhwan
juga aktif dalam menghidupkan iklim demokrasi di Mesir di era kepemimpinan
Anwar Sadat dan Husni Mubarak. Sehingga, diasumsikan Ikhwanul Muslimin
memberikan peran yang sangat besar dalam perubahan sosial politik di negara
piramida ini[1].
Namun,
sejauh mana peran yang dimainkan oleh Ikhwanul Muslimin ini? Ada dua periode
pemerintahan di Mesir yang melibatkan Ikhwanul Muslimin; baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan melalui interaksi konfrontatif-radikal maupun
moderat. Yaitu, pra-revolusi dan pasca-revolusi (yang melibatkan tiga
kepemimpinan: Gamal Abdunnasser, Anwar Sadat, dan Husni Mubarak). Kebijakan
mereka dan beberapa perdana menteri yang berkuasa di Mesir mengalami perubahan
dan pasang surut, berkaitan interaksinya dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Keterlibatan Ikhwanul Muslimin ini berdampak signifikan bagi interaksi gerakan
Islam dengan pemerintah. Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an
membawa banyak kontak interaksi antara beberapa anggota Jamaah Ikhwanul Muslimin
dengan anggota Perwira Bebas Mesir yang mencapai kekuasaan pada Juli 1952. Tak
lama setelah itu, Ikhwanul Muslimin mampu memainkan peran secara organisasional
dan ideologis yang dominan dalam rezim baru Mesir yang dibangun oleh Gamal
Abdunnasser dan perdana menterinya. Bahkan saat itu semua partai politik
dilarang, kecuali Ikhwanul Muslimin yang tidak dianggap sebagai partai politik,
walaupun untuk sementara waktu mereka memainkan peran sebagai organisasi
politik.2 Berbagai hubungan dengan para Perwira Bebas tersebut memungkinkan
mereka lolos dari resiko pembubaran setelah kudeta, karena mereka dikelompokkan
sebagai suatu ”gerakan” atau ”jamaah”, dan bukan sebagai partai politik.[2]
Menurut penulis, teori yang terkait
dalam jurnal ilmiah ini ialah teori kekuasaan menurut French dan Raven (1968)
bahwa dalam kekuasaan terbagi mnjadi beberapa bagian, yaitu kekuasaan paksaan
(Coercive Power), yaitu kekuasaan untuk menghukum. Hukuman adalah segala
konsekuensi tindakan yang dirasakan tidak menyenangkan bagi orang yang
menerimanya. Pemberian hukuman kepada seseorang dimaksudkan juga untuk
memodifikasi perilaku, menghukum perilaku yang tidak baik/merugikan organisasi
dengan maksud agar berubah menjadi perilaku yang bermanfaat. Para manajer
menggunakan kekuasaan jenis ini agar para pengikutnya patuh pada perintah
karena takut pada konsekuensi tidak menyenangkan yang mungkin akan diterimanya.
Jenis hukuman dapat berupa pembatalan pemberikan konsekwensi tindakan yang
menyenangkan; misalnya pembatalan promosi, pembatalan bonus; maupun pelaksanaan
hukuman seperti skors, PHK, potong gaji, teguran di muka umum, dan sebagainya.
Meskipun hukuman mungkin mengakibatkan dampak sampingan yang tidak diharapkan,
misalnya perasaan dendam, tetapi hukuman adalah bentuk kekuasaan paksaan yang
masih digunakan untuk memperoleh kepatuhan atau memperbaiki prestasi yang tidak
produktif dalam organisasi[3]
Untuk
itu, penulis akan menguraikan satu persatu tentang teori sosiologi politik,
teori perubahan sosial, dan teori perubahan politik yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
1. Teori
Perubahan Sosial
Institusi sosial dapat berubah karena
terjadinya perubahan pada institusi lain atau karena terjadinya gerakan sosial.
Stratifikasi sosial pun dapat berubah melalui mobilitas sosial. Beberapa teori
perubahan sosial, seperti teori Karl Marx mengenai perubahan sistem feodal
menjadi kapitalis dan kemudian sosialis, teori Weber mengenai munculnya
kapitalisme dalam masyarakat feodal, dan teori Durkheim mengenai perubahan
solidaritas mekanik menjadi organik telah banyak membahas tentang
tahapan-tahapan perubahan ini. Perubahan sosial menurut para tokoh sosiologi
klasik dapat digolongkan ke dalam beberapa pola[4].
Pertama, ialah pola liniar; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat
mengikuti suatu pola yang pasti. Contoh yang diberikan EtzioniHalevy mengenai
pemikiran linear ini adalah karya Comte dan Spencer. Menurut Comte, kemajuan
progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan
tak terelakkan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama ”Hukum Tiga Tahap”,
Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui
peradaban, yaitu tahap teologis dan militer, tahap metafisik dan yuridis, serta
tahap ilmu pengetahuan dan industri. Sedangkan Spencer mengemukakan bahwa
struktur sosial berkembang secara evolusioner dari struktur yang homogen
menjadi heterogen. Perubahan struktur ini berlangsung dengan diikuti perubahan
fungsi. Suku atau kelompok yang sederhana bergerak maju secara evolusioner ke
arah lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan kepastian sehingga terjelma suatu
bangsa yang beradab[5].
2. Teori
Perubahan Sistem Politik
Setiap
sistem politik memiliki kekuatan dan kelemahan, sebagian inheren dalam sifat
manusia, mencerminkan sifat dan tradisi masyarakat, bersifat struktural,
kontemporer dan minor, serta merupakan harga kemajuan karena prestasi
lembaga-lembaga politik yang ada. Sistem politik ini, bagaimanapun kekuatan dan
kelemahannya, juga mengalami perubahan. Sebagian perubahan terjadi secara nyata
dan sebagian lagi tidak dapat dipahami; sebagian perubahan berasal dari
tindakan sengaja dan lainnya karena ketidaksengajaan; sebagian karena kemajuan
dan yang lainnya karena kegagalan; sebagian melalui pertumbuhan dan lainnya
melalui kelapukan, serta sebagian berlangsung cepat dan sebagian berlangsung
lambat. Dalam setiap hal, perubahan sudah merupakan hukum kehidupan, baik di
zaman kuno maupun pada tahun 1984, dalam kapitalisme maupun sosialisme, dalam
diktator maupun dalam demokrasi. Salah satu masalah utama yang dihadapi
individu maupun penguasa negara ialah memandang perlunya transformasi dan
pengarahan untuk perubahan sesuai dengan arah yang mereka rasa berguna dan
bermanfaat, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tak seorang pun untuk
waktu yang lama, dapat menahan kekuatan-kekuatan yang membutuhkan perubahan
tanpa menimbulkan revolusi. Setiap orang menyadari bahwa perubahan sistem
politik mempengaruhi hidupnya sehari-hari dan peranannya di masa depan,
sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan faktorfaktor inovasi yang penting
baginya. Sama halnya, setiap sistem politik pasti harus menyesuaikan diri
dengan masalah-masalah yang muncul di masyarakat dan mengubah cara pandang
mereka terhadap masa depan. Sehingga setiap orang, penguasa, negara, dan sistem
politiknya harus tanggap mengendalikan munculnya berbagai kekuatan baru dan
memperkenalkan perubahan ini.
Premis
:
1.
Teori
Perubahan Sosial Pandangan mengenai siklus ini juga bisa
kita jumpai dalam karya Vilfredo Pareto yang mengemukakan bahwa dalam tiap
masyarakat terdapat dua lapisan, lapisan bawah atau non elite dan lapisan atas
atau elite, yang terdiri atas kaum aristokrat dan terbagi lagi dalam dua kelas;
elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa. Menurut Pareto, aristokrasi
senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi hanya
dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhirnya akan pudar untuk
selanjutnya diganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan
bawah.
2.
Teori
Perubahan Sistem Politik Dalam suatu masyarakat demokratis
yang terbuka, perubahan sistem politik berlangsung terus dan permanen.
Perubahan ini biasanya terjadi secara damai dan perlahan-lahan, walaupun sering
pula tidak secara mudah. Dalam suatu sistem diktator atau sistem otoriter,
beberapa perubahan berasal dari desakan arus bawah dan meluas ke seluruh
masyarakat. Namun sistem membatasi dan berusaha mengarahkan arus informasi dan
inovasi, karena dalam sistem ini perubahan-perubahan besar membutuhkan
persetujuan, bahkan keputusan pemimpin.
Konklusi
:
Ikhwanul
Muslimin merupakan induk dan sumber inspirasi bagi banyak organisasi Islamis di
Mesir dan di beberapa negara Arab lainnya, termasuk Suriah, Sudan, Yordania,
Kuwait, Yaman, dan sebagian negara di Afrika Utara. Organisasi ini semula
dinyatakan sebagai suatu jamaah yang murni filantropis, yang bertujuan
menyebarkan moral Islam dan amal baik. Akan tetapi, bagaimanapun kemunculannya
merupakan reaksi yang menyebar luas terhadap berbagai perkembangan
mengkhawatirkan yang melanda seluruh Dunia Muslim.
[1] Fathi
Yakan, Revolusi Hassan al-Banna: Gerakan Ikhwanul Muslimin dari Sayyid Quthb
sampai Rasyid al-Ghannusyi (Jakarta: Harakah, 2002), hlm. viii.
[2] L. Carl
Brown, Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat
(Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 211.
[3] John L.
Esposito, Dunia Islam Modern, jilid II (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 268.
[4] Kamanto
Sunarto, Pengantar Sosiologi (Universitas Indonesia Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi, Edisi II, 2000), hlm. 213.
[5] Robert
F. Byrnes, Perubahan dalam Sistem Politik Soviet, dalam Roy C. Macridis,
Perbandingan Politik; Catatan dan Bacaan (Jakarta: Airlangga, 1992), hlm.
211-212.