Tuesday, April 23, 2019

[Hijratu R] Ikhwanul Muslimin

SEJARAH DAN STRATEGI DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN

Objek Kajian :
            Kajian Material : Ilmu Kalam
            Kajian Formal   : Sejarah dan Strategi dakwah ikhwanul muslimin


Di tengah ingar-bingarnya gerakan aktivis Muslim kontemporer di seluruh penjuru dunia, Ikhwanul Muslimin tampil sebagai organisasi dakwah yang berpengaruh di Timur Tengah, khususnya di Mesir. Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang mampu membaca aspirasi masyarakat sekitarnya, sehingga platform dan gerakan dakwah yang dilakukannya tidak lepas dari masyarakat. Bahkan tidak hanya dalam wilayah dakwah, melainkan lebih luas lagi, memasuki wilayah sosial dan politik. Sebagaimana dikemukakan Hassan Al-Banna bahwa Ikwanul Muslimin tidak menafikan gerakan sosial politik, asal ia diperuntukkan bagi perbaikan umat (is}la>h} al- ummah).1 Eksistensi Ikhwanul Muslimin dalam perjalanan politik di Mesir, juga sangat strategis. Mereka ikut terlibat dalam perjuangan revolusi era Gamal Abdunnasser, menumbangkan Raja Faruq, dan ikut serta dalam mengubah bentuk pemerintahan Mesir dari Kerajaan menjadi Republik. Tidak cukup di sini, Ikhwan juga aktif dalam menghidupkan iklim demokrasi di Mesir di era kepemimpinan Anwar Sadat dan Husni Mubarak. Sehingga, diasumsikan Ikhwanul Muslimin memberikan peran yang sangat besar dalam perubahan sosial politik di negara piramida ini[1].
Namun, sejauh mana peran yang dimainkan oleh Ikhwanul Muslimin ini? Ada dua periode pemerintahan di Mesir yang melibatkan Ikhwanul Muslimin; baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan melalui interaksi konfrontatif-radikal maupun moderat. Yaitu, pra-revolusi dan pasca-revolusi (yang melibatkan tiga kepemimpinan: Gamal Abdunnasser, Anwar Sadat, dan Husni Mubarak). Kebijakan mereka dan beberapa perdana menteri yang berkuasa di Mesir mengalami perubahan dan pasang surut, berkaitan interaksinya dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Keterlibatan Ikhwanul Muslimin ini berdampak signifikan bagi interaksi gerakan Islam dengan pemerintah. Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an membawa banyak kontak interaksi antara beberapa anggota Jamaah Ikhwanul Muslimin dengan anggota Perwira Bebas Mesir yang mencapai kekuasaan pada Juli 1952. Tak lama setelah itu, Ikhwanul Muslimin mampu memainkan peran secara organisasional dan ideologis yang dominan dalam rezim baru Mesir yang dibangun oleh Gamal Abdunnasser dan perdana menterinya. Bahkan saat itu semua partai politik dilarang, kecuali Ikhwanul Muslimin yang tidak dianggap sebagai partai politik, walaupun untuk sementara waktu mereka memainkan peran sebagai organisasi politik.2 Berbagai hubungan dengan para Perwira Bebas tersebut memungkinkan mereka lolos dari resiko pembubaran setelah kudeta, karena mereka dikelompokkan sebagai suatu ”gerakan” atau ”jamaah”, dan bukan sebagai partai politik.[2]
Menurut penulis, teori yang terkait dalam jurnal ilmiah ini ialah teori kekuasaan menurut French dan Raven (1968) bahwa dalam kekuasaan terbagi mnjadi beberapa bagian, yaitu kekuasaan paksaan (Coercive Power), yaitu kekuasaan untuk menghukum. Hukuman adalah segala konsekuensi tindakan yang dirasakan tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya. Pemberian hukuman kepada seseorang dimaksudkan juga untuk memodifikasi perilaku, menghukum perilaku yang tidak baik/merugikan organisasi dengan maksud agar berubah menjadi perilaku yang bermanfaat. Para manajer menggunakan kekuasaan jenis ini agar para pengikutnya patuh pada perintah karena takut pada konsekuensi tidak menyenangkan yang mungkin akan diterimanya. Jenis hukuman dapat berupa pembatalan pemberikan konsekwensi tindakan yang menyenangkan; misalnya pembatalan promosi, pembatalan bonus; maupun pelaksanaan hukuman seperti skors, PHK, potong gaji, teguran di muka umum, dan sebagainya. Meskipun hukuman mungkin mengakibatkan dampak sampingan yang tidak diharapkan, misalnya perasaan dendam, tetapi hukuman adalah bentuk kekuasaan paksaan yang masih digunakan untuk memperoleh kepatuhan atau memperbaiki prestasi yang tidak produktif dalam organisasi[3]
Untuk itu, penulis akan menguraikan satu persatu tentang teori sosiologi politik, teori perubahan sosial, dan teori perubahan politik yang akan digunakan dalam penelitian ini.

1.      Teori Perubahan Sosial
 Institusi sosial dapat berubah karena terjadinya perubahan pada institusi lain atau karena terjadinya gerakan sosial. Stratifikasi sosial pun dapat berubah melalui mobilitas sosial. Beberapa teori perubahan sosial, seperti teori Karl Marx mengenai perubahan sistem feodal menjadi kapitalis dan kemudian sosialis, teori Weber mengenai munculnya kapitalisme dalam masyarakat feodal, dan teori Durkheim mengenai perubahan solidaritas mekanik menjadi organik telah banyak membahas tentang tahapan-tahapan perubahan ini. Perubahan sosial menurut para tokoh sosiologi klasik dapat digolongkan ke dalam beberapa pola[4]. Pertama, ialah pola liniar; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti suatu pola yang pasti. Contoh yang diberikan EtzioniHalevy mengenai pemikiran linear ini adalah karya Comte dan Spencer. Menurut Comte, kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tak terelakkan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama ”Hukum Tiga Tahap”, Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban, yaitu tahap teologis dan militer, tahap metafisik dan yuridis, serta tahap ilmu pengetahuan dan industri. Sedangkan Spencer mengemukakan bahwa struktur sosial berkembang secara evolusioner dari struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan struktur ini berlangsung dengan diikuti perubahan fungsi. Suku atau kelompok yang sederhana bergerak maju secara evolusioner ke arah lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan kepastian sehingga terjelma suatu bangsa yang beradab[5].
2.      Teori Perubahan Sistem Politik
            Setiap sistem politik memiliki kekuatan dan kelemahan, sebagian inheren dalam sifat manusia, mencerminkan sifat dan tradisi masyarakat, bersifat struktural, kontemporer dan minor, serta merupakan harga kemajuan karena prestasi lembaga-lembaga politik yang ada. Sistem politik ini, bagaimanapun kekuatan dan kelemahannya, juga mengalami perubahan. Sebagian perubahan terjadi secara nyata dan sebagian lagi tidak dapat dipahami; sebagian perubahan berasal dari tindakan sengaja dan lainnya karena ketidaksengajaan; sebagian karena kemajuan dan yang lainnya karena kegagalan; sebagian melalui pertumbuhan dan lainnya melalui kelapukan, serta sebagian berlangsung cepat dan sebagian berlangsung lambat. Dalam setiap hal, perubahan sudah merupakan hukum kehidupan, baik di zaman kuno maupun pada tahun 1984, dalam kapitalisme maupun sosialisme, dalam diktator maupun dalam demokrasi. Salah satu masalah utama yang dihadapi individu maupun penguasa negara ialah memandang perlunya transformasi dan pengarahan untuk perubahan sesuai dengan arah yang mereka rasa berguna dan bermanfaat, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tak seorang pun untuk waktu yang lama, dapat menahan kekuatan-kekuatan yang membutuhkan perubahan tanpa menimbulkan revolusi. Setiap orang menyadari bahwa perubahan sistem politik mempengaruhi hidupnya sehari-hari dan peranannya di masa depan, sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan faktorfaktor inovasi yang penting baginya. Sama halnya, setiap sistem politik pasti harus menyesuaikan diri dengan masalah-masalah yang muncul di masyarakat dan mengubah cara pandang mereka terhadap masa depan. Sehingga setiap orang, penguasa, negara, dan sistem politiknya harus tanggap mengendalikan munculnya berbagai kekuatan baru dan memperkenalkan perubahan ini.
Premis :
1.      Teori Perubahan Sosial Pandangan mengenai siklus ini juga bisa kita jumpai dalam karya Vilfredo Pareto yang mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat dua lapisan, lapisan bawah atau non elite dan lapisan atas atau elite, yang terdiri atas kaum aristokrat dan terbagi lagi dalam dua kelas; elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa. Menurut Pareto, aristokrasi senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhirnya akan pudar untuk selanjutnya diganti oleh suatu aristokrasi baru yang berasal dari lapisan bawah.
2.      Teori Perubahan Sistem Politik Dalam suatu masyarakat demokratis yang terbuka, perubahan sistem politik berlangsung terus dan permanen. Perubahan ini biasanya terjadi secara damai dan perlahan-lahan, walaupun sering pula tidak secara mudah. Dalam suatu sistem diktator atau sistem otoriter, beberapa perubahan berasal dari desakan arus bawah dan meluas ke seluruh masyarakat. Namun sistem membatasi dan berusaha mengarahkan arus informasi dan inovasi, karena dalam sistem ini perubahan-perubahan besar membutuhkan persetujuan, bahkan keputusan pemimpin.
Konklusi :
Ikhwanul Muslimin merupakan induk dan sumber inspirasi bagi banyak organisasi Islamis di Mesir dan di beberapa negara Arab lainnya, termasuk Suriah, Sudan, Yordania, Kuwait, Yaman, dan sebagian negara di Afrika Utara. Organisasi ini semula dinyatakan sebagai suatu jamaah yang murni filantropis, yang bertujuan menyebarkan moral Islam dan amal baik. Akan tetapi, bagaimanapun kemunculannya merupakan reaksi yang menyebar luas terhadap berbagai perkembangan mengkhawatirkan yang melanda seluruh Dunia Muslim.




[1] Fathi Yakan, Revolusi Hassan al-Banna: Gerakan Ikhwanul Muslimin dari Sayyid Quthb sampai Rasyid al-Ghannusyi (Jakarta: Harakah, 2002), hlm. viii.
[2] L. Carl Brown, Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama dan Negara Sepanjang Sejarah Umat (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 211.
[3] John L. Esposito, Dunia Islam Modern, jilid II (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 268.
[4] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Universitas Indonesia Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Edisi II, 2000), hlm. 213.
[5] Robert F. Byrnes, Perubahan dalam Sistem Politik Soviet, dalam Roy C. Macridis, Perbandingan Politik; Catatan dan Bacaan (Jakarta: Airlangga, 1992), hlm. 211-212.