Nama : Hijratu Rahmatin
Nadzifa
Kelas : A2 / B01217021
Pemikiran
Hukum Islam Ibnu Taimiyah
Objek
kajian :
1. Kajian
Material : Ilmu kalam
2. Kajian
Formal : Historis, Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyah
Ibnu
Katr berkata, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah salah satu dari ulama besar
dan termasuk orang yang bisa benar juga bisa salah. Namun bila kesalahannya
dibandingkan dengan yang benar, maka ibarat setetes air yang dimasukkan ke
dalam lautan luas, karena kesa lahan tersebut pasti diampuni. AlHafiz Ibnu Hajar
berkata, walaupun begitu, Ibnu Taimiyah adalah seorang manusia yang bisa salah
dan benar. Maka apa yang benar dan itu yang terbanyak, harus diambil dan
diperhatikan, sedangkan yang salah maka jangan diikuti, namun dia dimaafkan.
Sebab para imam di masa beliau mengakui bahwa semua syarat boleh berijtihâd
sudah ada pada diri mereka. Lebih lanjut beliau berpendapat bahwa pribadi Ibnu
Taimiyah lebih bersinar dari pada matahari. Pemberian gelar Syaikhul Islam
kepada beliau masih tetap abadi sampai sekarang dan gelar ini akan selalu abadi
sampai masa yang akan datang. Sebagaimana gelar itu telah abadi di masa silam.
Tidak ada orang yang akan mengingkari gelar ini kecuali orang yang tidak
mengetahui kapasitas dirinya. Ibnu Taimiyah adalah sosok menumental sepanjang
sejarah. Umat ini sangat membutuhkan pribadi multidimensi seperti beliau, ber
wawasan luas, visioner dan tak kenal menyerah. Beliau adalah pro totipe ulama
pembaharu yang memiliki pemahaman Islam yang ori sinil dan mendalam. Ilmu dan
amalnya senantiasa membawa mamfaat dan kemaslahatan bagi umat.
a.
Biografi Ibnu Taimiyah (661-728
H./1260-1328 M.) Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiy alD³n Abu alAbbâs Ah
mad ‘Abd alHal³m bin alImâm Majd alD³n Abi alBarakah ‘Abd alSalâm bin
Muhammad alKhudari bin ‘Abd. Allah bin Taymiyah alHarran. Ia lahir pada hari
Minggu tanggal 10 Rabi’ alAwwal 661 H. Bertepatan dengan tanggal 22 Januari
1263 M., lahir tahun sesudah Bagdad jatuh ke tangan Hulagu Khan. Beliau
dilahirkan di Harran yang terletak di sebelah utara Mesopotamia dan sebelah
Tenggara Turki Modern. Keluarga Ibnu Taimiyah berimigrasi ke Damaskus ketika
dia ber usia 5 tahun (667H/1268M), dengan membawa kitabkitab yang ber harga
dengan menggunakan beberapa pedati yang ditarik lembu un tuk menghindari
kekejaman Mongol. Ibnu Taimiyah dilahirkan dari keluarga yang terhormat, zuhud,
wara,’ dan takwa. Ayahnya dikenal sebagai pengajar dan penghapal hadis,
mufassir, ahli ilmu uşűl, dan ilmu nahwu. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah
belajar menghapal alQuran dari ayahnya, mempelajari dan menghapal hadis.
Muşţalahò al-Hadis alJarh wa al-Ta’dil, tafsir, fikih, uşűl al-fiqh, mantik,
filsafat, kalam, aljabar, ilmu hitung, kimia dan ilmu falak. Lingkungan
tersebut telah membentuk kepribadian Ibnu Taimiyah dengan mempelajari ilmuilmu
yang hidup dan berkembang pada zamannya, sehingga ilmu yang dipelajarinya
berkembang sedemikian rupa. Dengan kapasitas intelektual yang amat besar, sejak
kecil Ibnu Taimiyah telah menunjukkan berbagai kemampuan yang luar biasa,
sehingga dalam umur belasan tahun ia sudah dipercaya untuk sekali menggantikan
ayahnya memberi kuliah di universitas masjid terse but. Pada awal abad ke8
Hijriyah, seperti abadabad sebelumnya, umat Islam terpecah ke dalam negaranegara
kecil. Rajaraja negara tersebut memandang satu sama lain sebagai musuh yang
setiap saat saling memerangi; mereka tidak lagi terkait dengan ajaran agama
yang menyatakan bahwa muslim dengan muslim lainnya adalah saudara.
b.
Karya Ilmiah Ibn Taimiyah Sedikitnya ada
empat macam produk pemikiran hukum Islam yang Carl Brockelmann, History of
Islamic Peoples, (London: Rouledge & Kegan Paul Limited, 1994), h. 237.
Ibid., h. 148149. Lihat Atho’Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”,
dalam Budhy Munawar Rachamn (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
Cet II, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 369. 441 Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No.
2, Desember 2010 kita kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu kitabkitab
fikih,fatwafatwa ulama, keputusankeputusan Pengadilan Agama, dan peraturan
perundangan di negerinegeri Muslim. masingmasing produk pemikiran hukum itu
mempunyai ciri khas tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri
pula. Kitab pertama yang ia temui atau dikumpulkannya adalah kitab Fatâwa Ulamâ
Najd yang dimiliki oleh Muhammad bin ‘Abd alLat³f sebanyak tiga jilid.
Selanjutnya, di Hijaz ia mendapatkan kitab Fatâwa Aimmah al-Da’wah al-Najdain
terbitan alMaktabah alHaram alMakiy. Selanjutnya penyunting kitab ini
melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Paris, Mesir, Syam, Damaskus,
Bagdad dan beberapa negara lainnya untuk mengumpulkan tulisan Ibn Taimiyah.
Kitab ini pertama kali dicetak pada tahun 1374 H atas saran Raja Saudi dan
telah dicetak ulang beberapa kali. Cetakan terakhir dan paling komprehensif diterbitkan
di Saudi Arabia dalam 37 jilid.
c.
Metode Ijtihâd Ibnu Taimiyah Ibnu
Taimiyah adalah sosok ulama yang hidup pada fase yang masyarakatnya hidup dalam
taklid. taklid merupakan fase terburuk bagi dinamika pemikiran hukum Islam
karena terjadi disalokasi, yakni menempatkan gagasan ulama sejajar dengan alQuran
dan Sunnah, bahkan “lebih tinggi” dari alQuran dan Sunnah. Maka dari itu,
mengganti, mengubah atau meninggalkan pendapat imam mazhab yang dianut menjadi
“haram”. Kekeliruan itu terjadi karena pergeseran penghargaan terhadap ulama,
yaitu dari ulama sebagai hamil al-lughah, kepada ulama sebagai syari’. Selain
itu, fenomena pada periode taklid adalah ketidakberanian intelektual yang
berimplikasi pada mandeknya hukum Islam atau fikih23 dan matinya kreativitas
pemikiran Muslim yang disembelih di atas altar persatuan. Oleh karena itu,
hukum Islam yang amat dinamis dan kreatif dalam perjalanan sejarahnya yang awal
kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan muatanmuatan asing.
-
Ijtihâd Bayâni Secara umum, ijtihâd bayâni dapat
dibedakan menjadi tiga. Pertama, ijtihad yang berhubungan dengan cakupan makna
lafaz, yang meli puti al-khas dan al-‘âm (khusus dan umum). Selanjutnya, lafaz
khas sendiri terdiri atas al-mutlaq wa al-muqayyad dan al-amr wa al-nahy.
Kedua, ijtihâd yang berhubungan dengan penggunaan lafaz, yang dapat dibedakan
menjadi empat, yaitu al-haqiqat (hakikat) dan al-Majaz (majaz). Di antara
al-haqiqat dan al-majaz terdapat yang sarih dan alkinayat. Ketiga, ijtihâd yang
berhubungan dengan cara penunjukan makna lafal terhadap makna (dilâlah), yang
meliputi a). penunjukan lafal terhadap makna segi cakupannya terdiri dari 1)
dilâlat al-mutabaqat, yakni lafal yang menunjukkan pada kesem purnaan makna
sesuai dengan pengertian awalnya; 2) dilâlat al-tadamum, yakni lafal yang
menunjukkan kepada sebagian makna yang dicakupnya; 3) dilâlat alIltizâm, yakni
penunjukan lafaz kepada kemestian berdasarkan akal atau kecerdasan yang tidak
tertolak dari segi maknanya. b). penunjukan lafal terhadap kejelasan dan
kesamaran makna lafal yang terdiri dari khafiy dilâlat dan zahir al-dilâlat
yakni lafal yang maknanya tersembunyi karena diri (zatnya) atau persoalan lain.
Khafiy dilalat terdiri atas empat macam, yaitu al-mutasyabihât, al-Mujmal,
al-Musyikil dan al-Khafiy. Sedangkan zahir al-dilâlat terdiri atas al-nas,
al-mufassar dan almuhkam, c) penunjukan lafaz terhadap makna dengan pendekatan
dilâlat al-Iqtirân dan dilâlat al-Ilhâm
-
Ijtihâd Qiyâsi Ijtihâd bi al-qiyâsi
sering disamakan dengan istilah bi al-ra’yi. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan ijtihâd bi alra’y adalah penerapan salah satu dari dua atau
beberapa illat pada suatu kasus yang mengikat hukum. Sedangkan ‘Abd alWahab
Khallaf mendefinisikan ijtihâd bi al-ra’y dengan kesungguhan usaha untuk
mendapatkan kepastian atau ketentuan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuannya
dalam nash, dengan berpikir menggunakan beberapa media yang ditunjuk oleh
syariat guna menentukan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya. dengan perenungan
dan pemikiran dalam upaya untuk mengetahui sesuatu yang dekat kepada alQuran
dan Sunnah; sama saja apakah ia lebih dekat kepada alQuran dan Sunnah secara
ayat per ayat (ayat dan sunnah tertentu), itulah yang disebut qiyâs, atau ia
lebih dekat kepada tujuan umum (global) alQuran dan Sunnah, dan itulah yang
disebut dengan maslahat. Ibnu Taimiyah juga mengatakan qiyâs al-sah³h harus
bersesuaian dengan nash. Semua Qiyâs yang bertentangan dengan dalâlah nash
menurutnya, adalah qiyâs fâsid. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada nash yang
bertentangan dengan qiyâs sebagaimana tidak adanya pertentangan antara ma’qul
sar³h dengan al-manqul al-sah³h. Dengan kata lain, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa dalam syariat Islam tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan qiyâs. Penggunaan
qiyâs yang benar tidak mungkin bertentangan, karena semua ajaran Islam memiliki
maqâsid al-syari’iyah tersendiri. Maka dari itu, kesalahan dalam perumusan
hukum itu sebenarnya kembali kepada kesalahan dalam memahami arti dari suatu
nash atau karena interpretasinya yang salah dengan mengabaikan arti yang
sebenarnya.
- Ijtihâd Istilahi
(al-Ijtihâd al-Istilahi) Ibnu Taimiyah dalam metodologi
ijtihâdnya juga menggunakan ijtihâd istiilâhi berupa maslahah al- mursalah.
Dikisahkan suatu ketika (di zaman Tartar) Ibnu Taimiyah bersama temantemannya
sedang berjalan di tengah suatu kaum yang sedang minum khamar. Salah seorang
teman hendak melarang perbuatan keji mereka itu, tetapi Ibnu Taimiyah
melarangnya. Ia tahu, Allah melarang minum khamar karena dapat mengakitbatkan
lalai kepada Allah dan shalat, sedangkan mereka itu minum khamar agar lupa
untuk saling bunuh.50 Kasus di atas yang membiarkan orang minum khamar bukan
karena alasan kemaslahatan umum, tetapi untuk mencegah mereka dari saling
membunuh yang memang menjadi kebiasaan mereka. Dalam konteks inilah yang
dimaksudkan kemaslahatan oleh Ibn Taimiyah. Hikmah yang dapat diambil dari
kisah Ibnu Taimiyah di atas ialah bahwa hukumhukum syariat tidak berubah
karena kebutuhan dan kemaslahatan, tetapi berhenti menerapkannya karena keadaan
darurat yang memaksa demikian.
Premis
:
1.
Ijtihâd Bayâni Secara umum, ijtihâd bayâni dapat dibedakan menjadi tiga.
Pertama, ijtihad yang berhubungan dengan cakupan makna lafaz, yang meli puti
al-khas dan al-‘âm (khusus dan umum). Selanjutnya, lafaz khas sendiri terdiri
atas al-mutlaq wa al-muqayyad dan al-amr wa al-nahy. Kedua, ijtihâd yang
berhubungan dengan penggunaan lafaz, yang dapat dibedakan menjadi empat, yaitu
al-haqiqat (hakikat) dan al-Majaz (majaz). Di antara al-haqiqat dan al-majaz
terdapat yang sarih dan alkinayat. Ketiga, ijtihâd yang berhubungan dengan cara
penunjukan makna lafal terhadap makna (dilâlah)
2.
Ijtihâd Qiyâsi Dengan kata lain, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa dalam syariat
Islam tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan qiyâs. Penggunaan qiyâs yang
benar tidak mungkin bertentangan, karena semua ajaran Islam memiliki maqâsid
al-syari’iyah tersendiri. Maka dari itu, kesalahan dalam perumusan hukum itu
sebenarnya kembali kepada kesalahan dalam memahami arti dari suatu nash atau
karena interpretasinya yang salah dengan mengabaikan arti yang sebenarnya.
3.
Ijtihâd Istilahi (al-Ijtihâd al-Istilahi) Kasus di atas yang membiarkan orang
minum khamar bukan karena alasan kemaslahatan umum, tetapi untuk mencegah mereka
dari saling membunuh yang memang menjadi kebiasaan mereka. Dalam konteks inilah
yang dimaksudkan kemaslahatan oleh Ibn Taimiyah. Hikmah yang dapat diambil dari
kisah Ibnu Taimiyah di atas ialah bahwa hukumhukum syariat tidak berubah
karena kebutuhan dan kemaslahatan, tetapi berhenti menerapkannya karena keadaan
darurat yang memaksa demikian.
Konklusi : Ibn Taimiyah
merupakan tokoh controversial dalam dunia Islam. Seorang pemikir bebas yang
yakin kepada keunggulan hati nurani individu dan seorang yg ingin melihat Islam
dalam kemuliaan sejati ia lalu mengecam kepada semua pencemaran dan pengaruh
asing yg marasuk ke dalam Islam. Karena sikap inilah ia dicaci dipukul dicambuk
dipenjarakan dan dianiaya lahir batin. Namun ia tetap nekad hidup berhenti menghadapi
penganiayaan.