Tuesday, April 9, 2019

[Hijratu R Nadzifa] Ibnu Taimiyah

Nama : Hijratu Rahmatin Nadzifa
Kelas : A2 / B01217021
Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyah
Objek kajian :
1.      Kajian Material : Ilmu kalam
2.      Kajian Formal : Historis, Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyah

Ibnu Katr berkata, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah salah satu dari ulama besar dan termasuk orang yang bisa benar juga bisa salah. Namun bila kesalahannya dibandingkan dengan yang benar, maka ibarat setetes air yang dimasukkan ke dalam lautan luas, karena kesa­ lahan tersebut pasti diampuni. Al­Hafiz Ibnu Hajar berkata, walaupun begitu, Ibnu Taimiyah adalah seorang manusia yang bisa salah dan benar. Maka apa yang benar dan itu yang terbanyak, harus diambil dan diperhatikan, sedangkan yang salah maka jangan diikuti, namun dia dimaafkan. Sebab para imam di masa beliau mengakui bahwa semua syarat boleh berijtihâd sudah ada pada diri mereka. Lebih lanjut beliau berpendapat bahwa pribadi Ibnu Taimiyah lebih bersinar dari pada matahari. Pemberian gelar Syaikhul Islam kepada beliau masih tetap abadi sampai sekarang dan gelar ini akan selalu abadi sampai masa yang akan datang. Sebagaimana gelar itu telah abadi di masa silam. Tidak ada orang yang akan mengingkari gelar ini kecuali orang yang tidak mengetahui kapasitas dirinya. Ibnu Taimiyah adalah sosok menumental sepanjang sejarah. Umat ini sangat membutuhkan pribadi multidimensi seperti beliau, ber­ wawasan luas, visioner dan tak kenal menyerah. Beliau adalah pro­ totipe ulama pembaharu yang memiliki pemahaman Islam yang ori­ sinil dan mendalam. Ilmu dan amalnya senantiasa membawa mamfaat dan kemaslahatan bagi umat.
a.                   Biografi Ibnu Taimiyah (661-728 H./1260-1328 M.) Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiy al­D³n Abu al­Abbâs Ah­ mad ‘Abd al­Hal³m bin al­Imâm Majd al­D³n Abi alBarakah ‘Abd al­Salâm bin Muhammad al­Khudari bin ‘Abd. Allah bin Taymiyah al­Harran. Ia lahir pada hari Minggu tanggal 10 Rabi’ al­Awwal 661 H. Bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 M., lahir tahun sesudah Bagdad jatuh ke tangan Hulagu Khan. Beliau dilahirkan di Harran yang terletak di sebelah utara Mesopotamia dan sebelah Tenggara Turki Modern. Keluarga Ibnu Taimiyah berimigrasi ke Damaskus ketika dia ber­ usia 5 tahun (667H/1268M), dengan membawa kitab­kitab yang ber­ harga dengan menggunakan beberapa pedati yang ditarik lembu un­ tuk menghindari kekejaman Mongol. Ibnu Taimiyah dilahirkan dari keluarga yang terhormat, zuhud, wara,’ dan takwa. Ayahnya dikenal sebagai pengajar dan penghapal hadis, mufassir, ahli ilmu uşűl, dan ilmu nahwu. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah belajar menghapal al­Quran dari ayahnya, mempelajari dan menghapal hadis. Muşţalahò al-Hadis alJarh wa al-Ta’dil, tafsir, fikih, uşűl al-fiqh, mantik, filsafat, kalam, aljabar, ilmu hitung, kimia dan ilmu falak. Lingkungan tersebut telah membentuk kepribadian Ibnu Taimiyah dengan mempelajari ilmu­ilmu yang hidup dan berkembang pada zamannya, sehingga ilmu yang dipelajarinya berkembang sedemikian rupa. Dengan kapasitas intelektual yang amat besar, sejak kecil Ibnu Taimiyah telah menunjukkan berbagai kemampuan yang luar biasa, sehingga dalam umur belasan tahun ia sudah dipercaya untuk sekali menggantikan ayahnya memberi kuliah di universitas masjid terse­ but. Pada awal abad ke­8 Hijriyah, seperti abad­abad sebelumnya, umat Islam terpecah ke dalam negara­negara kecil. Raja­raja negara tersebut memandang satu sama lain sebagai musuh yang setiap saat saling memerangi; mereka tidak lagi terkait dengan ajaran agama yang menyatakan bahwa muslim dengan muslim lainnya adalah saudara.
b.                  Karya Ilmiah Ibn Taimiyah Sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang Carl Brockelmann, History of Islamic Peoples, (London: Rouledge & Kegan Paul Limited, 1994), h. 237. Ibid., h. 148­149. Lihat Atho’Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhy Munawar Rachamn (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet II, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 369. 441 Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010 kita kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu kitab­kitab fikih,fatwa­fatwa ulama, keputusan­keputusan Pengadilan Agama, dan peraturan perundangan di negeri­negeri Muslim. masing­masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khas tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri pula. Kitab pertama yang ia temui atau dikumpulkannya adalah kitab Fatâwa Ulamâ Najd yang dimiliki oleh Muhammad bin ‘Abd al­Lat³f sebanyak tiga jilid. Selanjutnya, di Hijaz ia mendapatkan kitab Fatâwa Aimmah al-Da’wah al-Najdain terbitan al­Maktabah al­Haram al­Makiy. Selanjutnya penyunting kitab ini melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Paris, Mesir, Syam, Damaskus, Bagdad dan beberapa negara lainnya untuk mengumpulkan tulisan Ibn Taimiyah. Kitab ini pertama kali dicetak pada tahun 1374 H atas saran Raja Saudi dan telah dicetak ulang beberapa kali. Cetakan terakhir dan paling komprehensif diterbitkan di Saudi Arabia dalam 37 jilid.
c.                   Metode Ijtihâd Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang hidup pada fase yang masyarakatnya hidup dalam taklid. taklid merupakan fase terburuk bagi dinamika pemikiran hukum Islam karena terjadi disalokasi, yakni menempatkan gagasan ulama sejajar dengan al­Quran dan Sunnah, bahkan “lebih tinggi” dari al­Quran dan Sunnah. Maka dari itu, mengganti, mengubah atau meninggalkan pendapat imam mazhab yang dianut menjadi “haram”. Kekeliruan itu terjadi karena pergeseran penghargaan terhadap ulama, yaitu dari ulama sebagai hamil al-lughah, kepada ulama sebagai syari’. Selain itu, fenomena pada periode taklid adalah ketidakberanian intelektual yang berimplikasi pada mandeknya hukum Islam atau fikih23 dan matinya kreativitas pemikiran Muslim yang disembelih di atas altar persatuan. Oleh karena itu, hukum Islam yang amat dinamis dan kreatif dalam perjalanan sejarahnya yang awal kini telah mengalami kemalangan serius dan sarat dengan muatan­muatan asing.
- Ijtihâd Bayâni Secara umum, ijtihâd bayâni dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, ijtihad yang berhubungan dengan cakupan makna lafaz, yang meli­ puti al-khas dan al-‘âm (khusus dan umum). Selanjutnya, lafaz khas sendiri terdiri atas al-mutlaq wa al-muqayyad dan al-amr wa al-nahy. Kedua, ijtihâd yang berhubungan dengan penggunaan lafaz, yang dapat dibedakan menjadi empat, yaitu al-haqiqat (hakikat) dan al-Majaz (majaz). Di antara al-haqiqat dan al-majaz terdapat yang sarih dan alkinayat. Ketiga, ijtihâd yang berhubungan dengan cara penunjukan makna lafal terhadap makna (dilâlah), yang meliputi a). penunjukan lafal terhadap makna segi cakupannya terdiri dari 1) dilâlat al-mutabaqat, yakni lafal yang menunjukkan pada kesem­ purnaan makna sesuai dengan pengertian awalnya; 2) dilâlat al-tadamum, yakni lafal yang menunjukkan kepada sebagian makna yang dicakupnya; 3) dilâlat alIltizâm, yakni penunjukan lafaz kepada kemestian berdasarkan akal atau kecerdasan yang tidak tertolak dari segi maknanya. b). penunjukan lafal terhadap kejelasan dan kesamaran makna lafal yang terdiri dari khafiy dilâlat dan zahir al-dilâlat yakni lafal yang maknanya tersembunyi karena diri (zatnya) atau persoalan lain. Khafiy dilalat terdiri atas empat macam, yaitu al-mutasyabihât, al-Mujmal, al-Musyikil dan al-Khafiy. Sedangkan zahir al-dilâlat terdiri atas al-nas, al-mufassar dan almuhkam, c) penunjukan lafaz terhadap makna dengan pendekatan dilâlat al-Iqtirân dan dilâlat al-Ilhâm
- Ijtihâd Qiyâsi Ijtihâd bi al-qiyâsi sering disamakan dengan istilah bi al-ra’yi. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ijtihâd bi alra’y adalah penerapan salah satu dari dua atau beberapa illat pada suatu kasus yang mengikat hukum. Sedangkan ‘Abd al­Wahab Khallaf mendefinisikan ijtihâd bi al-ra’y dengan kesungguhan usaha untuk mendapatkan kepastian atau ketentuan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nash, dengan berpikir menggunakan beberapa media yang ditunjuk oleh syariat guna menentukan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya. dengan perenungan dan pemikiran dalam upaya untuk mengetahui sesuatu yang dekat kepada al­Quran dan Sunnah; sama saja apakah ia lebih dekat kepada al­Quran dan Sunnah secara ayat per ayat (ayat dan sunnah tertentu), itulah yang disebut qiyâs, atau ia lebih dekat kepada tujuan umum (global) al­Quran dan Sunnah, dan itulah yang disebut dengan maslahat. Ibnu Taimiyah juga mengatakan qiyâs al-sah³h harus bersesuaian dengan nash. Semua Qiyâs yang bertentangan dengan dalâlah nash menurutnya, adalah qiyâs fâsid. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada nash yang bertentangan dengan qiyâs sebagaimana tidak adanya pertentangan antara ma’qul sar³h dengan al-manqul al-sah³h. Dengan kata lain, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa dalam syariat Islam tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan qiyâs. Penggunaan qiyâs yang benar tidak mungkin bertentangan, karena semua ajaran Islam memiliki maqâsid al-syari’iyah tersendiri. Maka dari itu, kesalahan dalam perumusan hukum itu sebenarnya kembali kepada kesalahan dalam memahami arti dari suatu nash atau karena interpretasinya yang salah dengan mengabaikan arti yang sebenarnya.
- Ijtihâd Istilahi (al-Ijtihâd al-Istilahi) Ibnu Taimiyah dalam metodologi ijtihâdnya juga menggunakan ijtihâd istiilâhi berupa maslahah al- mursalah. Dikisahkan suatu ketika (di zaman Tartar) Ibnu Taimiyah bersama teman­temannya sedang berjalan di tengah suatu kaum yang sedang minum khamar. Salah seorang teman hendak melarang perbuatan keji mereka itu, tetapi Ibnu Taimiyah melarangnya. Ia tahu, Allah melarang minum khamar karena dapat mengakitbatkan lalai kepada Allah dan shalat, sedangkan mereka itu minum khamar agar lupa untuk saling bunuh.50 Kasus di atas yang membiarkan orang minum khamar bukan karena alasan kemaslahatan umum, tetapi untuk mencegah mereka dari saling membunuh yang memang menjadi kebiasaan mereka. Dalam konteks inilah yang dimaksudkan kemaslahatan oleh Ibn Taimiyah. Hikmah yang dapat diambil dari kisah Ibnu Taimiyah di atas ialah bahwa hukum­hukum syariat tidak berubah karena kebutuhan dan kemaslahatan, tetapi berhenti menerapkannya karena keadaan darurat yang memaksa demikian.
Premis :
1. Ijtihâd Bayâni Secara umum, ijtihâd bayâni dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, ijtihad yang berhubungan dengan cakupan makna lafaz, yang meli­ puti al-khas dan al-‘âm (khusus dan umum). Selanjutnya, lafaz khas sendiri terdiri atas al-mutlaq wa al-muqayyad dan al-amr wa al-nahy. Kedua, ijtihâd yang berhubungan dengan penggunaan lafaz, yang dapat dibedakan menjadi empat, yaitu al-haqiqat (hakikat) dan al-Majaz (majaz). Di antara al-haqiqat dan al-majaz terdapat yang sarih dan alkinayat. Ketiga, ijtihâd yang berhubungan dengan cara penunjukan makna lafal terhadap makna (dilâlah)
2. Ijtihâd Qiyâsi Dengan kata lain, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa dalam syariat Islam tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan qiyâs. Penggunaan qiyâs yang benar tidak mungkin bertentangan, karena semua ajaran Islam memiliki maqâsid al-syari’iyah tersendiri. Maka dari itu, kesalahan dalam perumusan hukum itu sebenarnya kembali kepada kesalahan dalam memahami arti dari suatu nash atau karena interpretasinya yang salah dengan mengabaikan arti yang sebenarnya.
3. Ijtihâd Istilahi (al-Ijtihâd al-Istilahi) Kasus di atas yang membiarkan orang minum khamar bukan karena alasan kemaslahatan umum, tetapi untuk mencegah mereka dari saling membunuh yang memang menjadi kebiasaan mereka. Dalam konteks inilah yang dimaksudkan kemaslahatan oleh Ibn Taimiyah. Hikmah yang dapat diambil dari kisah Ibnu Taimiyah di atas ialah bahwa hukum­hukum syariat tidak berubah karena kebutuhan dan kemaslahatan, tetapi berhenti menerapkannya karena keadaan darurat yang memaksa demikian.
Konklusi : Ibn Taimiyah merupakan tokoh controversial dalam dunia Islam. Seorang pemikir bebas yang yakin kepada keunggulan hati nurani individu dan seorang yg ingin melihat Islam dalam kemuliaan sejati ia lalu mengecam kepada semua pencemaran dan pengaruh asing yg marasuk ke dalam Islam. Karena sikap inilah ia dicaci dipukul dicambuk dipenjarakan dan dianiaya lahir batin. Namun ia tetap nekad hidup berhenti menghadapi penganiayaan.