Mu’tazilah dan Pemikiran Politiknya
Objek Kajian :
1.
Kajian Material : Ilmu Kalam
2.
Objek Formal : Pengertian, Sejarah, dan Pemikiran
Politik Mu’tazilah
Aliran mu'tazilah merupakan salah satu aliran teologi
yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis dalam islam,aliran ini muncul
pada abad pertama hijriyah.[1]
Sejarah
munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja aliran Mu’tazilah
tersebut muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan
khalifah Hisyam Bin AbdulMalik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin ‘Atha Al-Makhzumi
Al-Ghozzal. Secara umum, aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase
Abbasiyah (100 H – 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Generasi pertama
mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu
lama.
Kemudian
memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori,
diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran
baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad.
Orang-orang Mu’tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah
politik, tetapi kelompok Mu’tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam politik.
Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al
Qur’an adalah makhluk”. Memang pada awalnya Mu’tazilah menghabiskan waktu
sekitar dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap
netral dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab
mengapa mereka disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam
menanggapi problematika imamah-sebagai sumber perpecahan pertama- tetapi
mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal
manzilatain”. Akan tetapi dibawah tekanan Asy’ariah nampaknya mereka berlindung
kepada Bani Buwaihi.[2]
Aliran Mu’tazilah
mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan Usulul Khamsah : Tauhid
(Ke-Esaan), Al-Adlu (Keadilan), Al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman), Al-Manzilah Bainal Manzilataini (Tempat di antara dua
Tempat). Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Kebaikan dan
Melarang Keburukan).[3] Adapun tokoh-tokoh aliran Mu’taziliyah yang
terkenal di antaranya adalah : Washil
bin Atha’, lahir di Madinah,
pelopor ajaran ini, ‘Amru bin ‘Ubaid, sahabat Washil bin Atha’, Abu
Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq
Mu’taziliyah, An-Nazzam, murid
Abu Huzail al-Allaf, Abu ‘Ali
Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).[4]
Dalam
pandangan mu'tazilah kekuasaan dan kehendak Tuhan berlaku hanya dalam jalur
hukum-hukum yang tersebar ditengah alam semesta. Itulah sebenarnya mu'tazilah
mempergunakan ayat 62 surat al-ahzab (33), disamping ayat-ayat yang menjelaskan
kebebasan manusia yang disinggung dalam pembicaraan tentang freewiil predestination.
Kebebasan manusia yang memang diberikan tuhan kepadanya, baru bermakna kalau
tuhan mebatasi kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan tuhan, membuat tuhan
sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat tuhan
bersifat tidak adil atau zalim.[5]
Transendensialisasi Politik dan Politisasi
Nash Transenden
Transendensialisasi politik adalah
penggunaan agama untuk kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hal
ini selalu membawa implikasi munculnya fenomena politisasi ajaran atau nash
transenden, yakni memposisikan agama sebagai “jajahan” kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Jika kita perhatikan konteks sosial ketika doktrin Mu’tazilah
muncul, akan ditemukan bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah
masalah sifat Allah, terutama sifat Qudrah dan Iradah.
Apakah Tuhan secara azali telah menetapkan dan menghendaki perbuatan manusia
atau tidak.
Pertentangan antara perbuatan manausia
sebagai telah ditentukan azali atau tidak ini melahirkan perdebatan antara yang
meyakini kebebasan manusia dan yang menafikan kebebasan manusia. Kelompok yang
meyakini kebebasan manusia disebut mazhab Qadariyah (awal), disisi yang lain
kelompok yang menafikan kebebasan disebut mazhab Jabariyah. Dalam
analisis al-Jabiri, mazhab Jabariyah adalah merupakan kecenderungan ideologi
negara pada masa Dinasti Umayah untuk melindungi dan menutupi kebobrokan
moral pemerintah yang korup serta melegitimasi supremasi kekuasaan. Dalam
pandangan mereka Allah dengan pengetahuan-Nya yang qadim atas apa yang mereka
perbuat, yang menghendaki mereka berkuasa. Implikasinya kemudian adalah bahwa
Allah tidak akan menyiksa penguasa yang berdosa dengan alasan karena Allah
sendirilah yang mengangkat mereka sebagai penguasa.[6]
Politik
Al-Mihna
Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah
al-Makmun resmi menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara,
hal ini disebabkan sejak kecil al-Makmun telah dididik dalam tradisi Yunani
yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam fase kejayaan itu Mu’tazilah
sebagai golongan yang mendapatkan dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan
peristiwa Mihna.
Minha itu timbul sehubungan dengan
paham-paham khalqul qur’an. Mu’tazilah
berpendapat bahwa al-Qur an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan
huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena
diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Qur’an itu dikatakan qadim maka
akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya
musyrik. Pada tahun 212H Khalifah al-Ma’mun yang secara
terang-terangan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk menginstruksikan
Ishaq bin Ibrahim al-Khuzai anak paman Thahir bin al-Husain untuk dilaksanakan
politik al-Mihna (pengujian keyakinan) terhadap para ulama’ tentang keyakinan
mereka akan paham ini,tetapi mereka tetap tabah dan sabar.[7]
Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah ini pada awalnya merupakan
gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan
politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Mereka khususnya berusaha
mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya konflik dalam
internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat. Penamaan
kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya
perbedaan-perbedaan antara Washil Ibn Atha degan gurunya, Hasan al-Bashri, pada
abad ke II H tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa. Dalam hal ini
Harun Nasution menjelaskan bahwa banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah. Para
ahli sebenarnya telah mengajukan beberapa pendapat mereka, namun demikian belum
ada kata sepakat diantara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang
menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan
perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan
siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara
tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah
kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk
membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar
pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Abd al-Jabar menempatkan kepala
negara pada posisi yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala
negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat
Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara,
menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepala negara, asalkan ia
mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat
Islam sendiri.[8]
Konsepsi politik Mu’tazilah pada umumnya
menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat.
Menurut mereka, hal itu karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa
yang harus memimpin umat sepeninggal nabi Muhammad dan sesuai dengan firman
Allah dalam QS. Al-Hujrat: 13.[9] Syaikh
Abdurrahman bin Nashir Al Barrak di zaman sekarang aliran mu’tazilah masih ada. Namun bukan dengan nama “mu’tazilah”. Mereka
tidak dipanggil dengan nama “mu’tazilah”. Namun mereka membawa pemahaman
mu’tazilah, dan mereka sama seperti mu’tazilah dan mengagungkan mu’tazilah. Namun
terkadang orang-orang ini memiliki semua pemahaman mu’tazilah yang
disebut al ushul al khamsah (5
landasan), dan terkadang hanya sebagian ushul-nya saja.
Karena mu’tazilah memiliki
5 landasan. Barangsiapa yang menerapkannya dan meyakininya maka ia
seorang mu’taziliy 100%. Yaitu: At tauhid.
Apa yang mereka maksud dengan at tauhid? Yaitu maksudnya menafikan sifat-sifat
Allah, Al ‘adl.
Yang dimaksud adalah menafikan takdir, Al amr bin ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar.
Maksudnya adalah memberontak kepada penguasa Muslim, Al
manzilah baynal manzilatain. Ini terkait hukum terhadap pelaku dosa
besar, yaitu mereka di dunia ada di antara dua sisi, tidak mukmin dan tidak
kafir, Infazhul
wa’id. Ini mengandung keyakinan kekalnya pelaku dosa besar di
neraka. Dari 5
landasan tersebut ada yang menerapkan semuanya dan ada yang menerapkan
sebagiannya.[10]
Premis :
Premis :
1.
Pemikiran Mu’tazilah yakni keadilan tuhan,
membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar
membuat tuhan bersifat tidak adil atau zalim
2.
Dalam sejarah Mu’tazilah pernah terjadi Politik
al-Minha. Yakni dukungan dari penguasa untuk memaksakan
3.
Konsepsi politik Mu’tazilah
pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara itu merupakan
pilihan rakyat.
Konklusi :
Aliran Mu’tazilah memiliki pemikiran mengenai
keadilan Tuhan. Yakni membuat tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan
yang bila dilanggar membuat tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Berbicara
tentang sejarah politiknya, Mu’tazilah pernah melakukan Politik al-Minha,
bentuk tindakan pemaksaan ajarannya terhadap kelompok lain yang didukung oleh
penguasa sendiri. Sedang dalam konsepsi polotiknya, Mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara
itu merupakan pilihan rakyat.
[1] https://www.kompasiana.com/muhammad10511/5bb2f273677ffb3d9b7977a7/lebih-memahami-tentang-aliran-mu-tazilah?page=all diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.03
[2] https://bocahsastra.wordpress.com/2012/11/01/sejarah-munculnya-mutazilah/ diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.17
[3] http://fazlianarizki.blogspot.com/2013/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_9437.html
diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.29
[4] https://ranuwa.wordpress.com/2011/11/21/aliran-mutazilah/
diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.44
[5] https://www.kompasiana.com/fani92475/5bac3093c112fe49784cf284/doktrin-ajaran-mu-tazilah
diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.24
[6] https://abunaia.wordpress.com/2009/01/18/karakteristik-nalar-mutazilah/
diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.46
[7] https://matakedip1315.wordpress.com/2013/05/24/tokoh-mutazilah-beserta-pendapatnya/
diakses pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.34
[8] https://www.kompasiana.com/lismanto/55124444a333117156ba81be/politik-islam-mu-tazilah diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.49
[9] http://mcholieq.blogspot.com/2013/12/makalah-gerakan-dan-pemikiran-politik.html diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.57
[10] https://muslim.or.id/19746-fatwa-ulama-apakah-masih-ada-mutazilah-di-zaman-sekarang.html diakses pada
tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.07