Tuesday, April 16, 2019

[Hariri] Mu'tazilah dan Pemikiran Politiknya


Mu’tazilah dan Pemikiran Politiknya

Objek Kajian :
1.      Kajian Material : Ilmu Kalam
2.      Objek Formal : Pengertian, Sejarah, dan Pemikiran Politik Mu’tazilah


Aliran mu'tazilah merupakan salah satu aliran teologi yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis dalam islam,aliran ini muncul pada abad pertama hijriyah.[1]
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja aliran Mu’tazilah tersebut muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin AbdulMalik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin ‘Atha  Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Secara umum, aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiyah (100 H – 237 M) dan fase Bani Buwaihi (334 H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Kemudian  memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu’tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu’tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al Qur’an adalah makhluk”. Memang pada awalnya Mu’tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah-sebagai sumber perpecahan pertama- tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi dibawah tekanan Asy’ariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.[2]
Aliran Mu’tazilah mempunyai lima pokok ajaran yang disebut dengan Usulul Khamsah : Tauhid (Ke-Esaan), Al-Adlu (Keadilan), Al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman), Al-Manzilah Bainal Manzilataini (Tempat di antara dua Tempat). Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Keburukan).[3] Adapun tokoh-tokoh aliran Mu’taziliyah yang terkenal di antaranya adalah : Washil bin Atha, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini, ‘Amru bin ‘Ubaid, sahabat Washil bin Atha’, Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah, An-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf, Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).[4]
Dalam pandangan mu'tazilah kekuasaan dan kehendak Tuhan berlaku hanya dalam jalur hukum-hukum yang tersebar ditengah alam semesta. Itulah sebenarnya mu'tazilah mempergunakan ayat 62 surat al-ahzab (33), disamping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan manusia yang disinggung dalam pembicaraan tentang freewiil predestination.  Kebebasan manusia yang memang diberikan tuhan kepadanya, baru bermakna kalau tuhan mebatasi kehendak mutlaknya. Demikian pula keadilan tuhan, membuat tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat tuhan bersifat tidak adil atau zalim.[5]

Transendensialisasi Politik dan Politisasi Nash Transenden
Transendensialisasi politik adalah penggunaan agama untuk kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini selalu membawa implikasi munculnya fenomena politisasi ajaran atau nash transenden, yakni memposisikan agama sebagai “jajahan” kepentingan-kepentingan politik tertentu. Jika kita perhatikan konteks sosial ketika doktrin Mu’tazilah muncul, akan ditemukan bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah masalah sifat Allah, terutama sifat Qudrah dan Iradah. Apakah Tuhan secara azali telah menetapkan dan menghendaki perbuatan manusia atau tidak.
Pertentangan antara perbuatan manausia sebagai telah ditentukan azali atau tidak ini melahirkan perdebatan antara yang meyakini kebebasan manusia dan yang menafikan kebebasan manusia. Kelompok yang meyakini kebebasan manusia disebut mazhab Qadariyah (awal), disisi yang lain kelompok yang menafikan kebebasan disebut mazhab Jabariyah.  Dalam analisis al-Jabiri, mazhab Jabariyah adalah merupakan kecenderungan ideologi negara pada masa Dinasti Umayah untuk melindungi dan menutupi kebobrokan moral pemerintah yang korup serta melegitimasi supremasi kekuasaan. Dalam pandangan mereka Allah dengan pengetahuan-Nya yang qadim atas apa yang mereka perbuat, yang menghendaki mereka berkuasa. Implikasinya kemudian adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa penguasa yang berdosa dengan alasan karena Allah sendirilah yang mengangkat mereka sebagai penguasa.[6]

Politik Al-Mihna
Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah al-Makmun resmi menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara, hal ini disebabkan sejak kecil al-Makmun telah dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam fase kejayaan itu Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapatkan dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihna.
Minha itu timbul sehubungan dengan paham-paham khalqul qur’an. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim.  Jika al-Qur’an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik. Pada tahun 212H Khalifah al-Ma’mun yang secara terang-terangan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk menginstruksikan Ishaq bin Ibrahim al-Khuzai anak paman Thahir bin al-Husain untuk dilaksanakan politik al-Mihna (pengujian keyakinan) terhadap para ulama’ tentang keyakinan mereka akan paham ini,tetapi mereka tetap tabah dan sabar.[7] 

Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah ini pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Mereka khususnya berusaha mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat. Penamaan kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil Ibn Atha degan gurunya, Hasan al-Bashri, pada abad ke II H tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa. Dalam hal ini Harun Nasution menjelaskan bahwa banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah. Para ahli sebenarnya telah mengajukan beberapa pendapat mereka, namun demikian belum ada kata sepakat diantara mereka.

Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisi yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.[8] Konsepsi politik Mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat. Menurut mereka, hal itu karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat sepeninggal nabi Muhammad dan sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Hujrat: 13.[9]  Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak di zaman sekarang aliran mu’tazilah masih ada. Namun bukan dengan nama “mu’tazilah”. Mereka tidak dipanggil dengan nama “mu’tazilah”. Namun mereka membawa pemahaman mu’tazilah, dan mereka sama seperti mu’tazilah dan mengagungkan mu’tazilah. Namun terkadang orang-orang ini memiliki semua pemahaman mu’tazilah yang disebut al ushul al khamsah (5 landasan), dan terkadang hanya sebagian ushul-nya saja.

Karena mu’tazilah memiliki 5 landasan. Barangsiapa yang menerapkannya dan meyakininya maka ia seorang mu’taziliy 100%. Yaitu: At tauhid. Apa yang mereka maksud dengan at tauhid? Yaitu maksudnya menafikan sifat-sifat Allah, Al ‘adl. Yang dimaksud adalah menafikan takdir, Al amr bin ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar. Maksudnya adalah memberontak kepada penguasa Muslim, Al manzilah baynal manzilatain. Ini terkait hukum terhadap pelaku dosa besar, yaitu mereka di dunia ada di antara dua sisi, tidak mukmin dan tidak kafir, Infazhul wa’id. Ini mengandung keyakinan kekalnya pelaku dosa besar di neraka. Dari 5 landasan tersebut ada yang menerapkan semuanya dan ada yang menerapkan sebagiannya.[10]

Premis :
1.      Pemikiran Mu’tazilah yakni keadilan tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat tuhan bersifat tidak adil atau zalim
2.      Dalam sejarah Mu’tazilah pernah terjadi Politik al-Minha. Yakni dukungan dari penguasa untuk memaksakan
3.      Konsepsi politik Mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat.

Konklusi :
Aliran Mu’tazilah memiliki pemikiran mengenai keadilan Tuhan. Yakni membuat tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Berbicara tentang sejarah politiknya, Mu’tazilah pernah melakukan Politik al-Minha, bentuk tindakan pemaksaan ajarannya terhadap kelompok lain yang didukung oleh penguasa sendiri. Sedang dalam konsepsi polotiknya, Mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah atau kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat.

Hariri Ulfa'i Rrosyidah (B91217119)



[4] https://ranuwa.wordpress.com/2011/11/21/aliran-mutazilah/ diakses pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 11.44