Tuesday, April 9, 2019

[Fathiyah Khasanah] MU’TAZILAH DALAM PERSPEKTIF POLITIK



MU’TAZILAH DALAM PERSPEKTIF POLITIK

A.    OBYEK KAJIAN
1.      KAJIAN MATERIAL
Ilmu Kalam
2.      KAJIAN FORMAL

 
PERAN MU’TAZILAH DALAM POLITIK
Golongan mu’tazilah sering kita dengar sebagai golongan Islam rasionalis dimana ia cenderung mengedepankan akal dalam berijtihad. Golongan inilah sebagai pencetus lahirnya  Islam liberal dan golongan Islam rasionalis yang sekarang berkembang pesat sebagai golongan Islam kiri. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, cenderung bersikap netral terhadap politik yang berkembang pada saat itu. Ia tidak memihak terhadap perseteruan antara Ali dan Muawiyah. Ia cenderung memisahkan diri dari barisan antara aliran yang bertentangan dan lebih suka dalam urusan mereka, yakni mengaji Al-Quran dan hal-hal keagamaan lainnya, daripada harus berurusan dengan kepentingan politik antara pihak-pihak yang berseberangan pendapat secara politis.[1]
Kelompok Mu'tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu'tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar'i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu'amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagaimana pandangan Syi'ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.[2]
Meskipun kepala negara memiliki posisi sebagai pemimpin politik dan spiritual umat Islam, ia tidak memiliki sifat-sifat ma’shum sebagaimana pandangan syi’ah.
Karenanya kalangan mana dan siapaun boleh menjai kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, karena mereka yang paling tahu tentang keadaan mereka dan hal-hal yang mereka pilih. Namun demikian, Abd al-Jabbar mensyaratkan kepala negara harus:
1.      Merdeka. Karena pada saat itu perbudakan belum sepenuhnya dihapuskan.
2.      Mempunyai kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang lainnya. Karena kepala negara harus cerdas agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik sesuai syariat.
3.      Mengandung doktrin al-‘adl wa al-tawhid, sebagaimna ajaran Mu’tazilah.
4.      Bersifat wara’. Syarat ini penting agar kepala negara tidak menyalahi kewengan dan kekuasannya. Dengan demikian, segala kebijakan dan keputusan politiknya diarahkan semata-mata hanya untuk kepentingan umat Islam, bukan pribadi atau golongan.
Tentang bagaimana pemilihannya Abd al-Jabbar berpendapat ia dipilih berdasarkan musyawarah. Sudirman M. Johan mengemukakan beberapa cara : pertama, pengangkatan sejumlah orang yang diakui dalam masyarakat dan jumlah harus ganjil agar mudah untuk menghitungnya. Kedua, dengan jalan musyawarah yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama mendalam dan wawasan politik yang luas.[3]
Mu’tazilah tidak jauh berbeda dengan Khawarij dalam persyaratan menjadi imam, yaitu berilmu, adil dan berani, namun dalam hal keturunan, mereka cendrung berlebihan,mereka memang mebolehkan imam dari selain suku Quraisy, bahkan cendrung mengutamakan imam yang bukan dari Quraisy, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-syahrasatani, bahwa seandainya ada calon pemimpin dari suku Quraisy dan suku Nabatean, maka lebih baik mendahulukan orang Nabatean dari pada orang Quraisy, dan jika ada calon dari kaum Habasyi dan Quraisy yang pada kenyataannya mereka berdua sama-sama mengamalkan Al-quran dan Hadits, maka lebih baik mendahulukan habasyi ketimbang Quraisy, sebab Habasyi gampang diberhentikan dari keimamahan apabila terjadi penyimpangan dari dasar yang ada.[4]
Pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam karangannya melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam sendiri.[5]
PENGARUH PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH TERHADAP PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
Pemikir Indonesia kontemporer di atas, berlawanan dengan Mu’tazilah, mereka puas untuk hanya mengandalkan kitab suci sebagai dasar untuk mengetaui Tuhan. Namun mereka tetap menggunakan keutamaan akal sebagai alat solusi Islam terhadap persoalan sosial di dunia. Ini merupakan perhatian utama untuk mengembangkan teologi praktis yang bisa memberikan penafsiran Islam bagi realitas sosial dan politik, hal tersebut membedakan rasionalis klasik, yaitu Mu’tazilah, dari teolog modernis di Indonesia. Dengan cara ini kelihatan bahwa perbedaan antara teolog Mu’tazilah dan modernis, lebih pada penekanan aspek pengalaman esoteris agama.[6]
B.     PREMIS
1.      Mu’tazilah merupakan pencetus lahirnya Islam liberal dan golongan Islam rasionalis.
2.      Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, bersikap netral terhadap politik yang berkembang pada saat itu.
3.      Kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya.
4.      Kepala negara dipilih lewat jalan musyawarah.

C.     KONKLUSI
Mu’tazilah adalah pencetus Islam liberal dan golongan Islam rasionalis. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, bersikap netral terhadap politik yang berkembang pada saat itu. Kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara dipilih lewat jalan musyawarah.


Fathiyah Khasanah Ar Rahmah (B01217016)




[1] http://mcholieq.blogspot.com/2016/12/makalah-gerakan-dan-pemikiran-politik.html
[2] http://ulohtengpay.blogspot.com/2016/05/pemikiran-politik-sunnisyiahkhawarij.html
[3] http://trandingterpercaya.blogspot.com/2018/03/makalah-pemikiran-politik-timur-sunni.html
[4] http://hamzahsmile.blogspot.com/2016/11/pandangan-politik-syiah-khawarij-dan.html
[5] http://asrofudin.blogspot.com/2011/05/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij.html