MU’TAZILAH DALAM PERSPEKTIF
POLITIK
A. OBYEK KAJIAN
1. KAJIAN MATERIAL
Ilmu Kalam
PERAN MU’TAZILAH DALAM POLITIK
Golongan mu’tazilah sering kita dengar sebagai
golongan Islam rasionalis dimana ia cenderung mengedepankan akal dalam
berijtihad. Golongan inilah sebagai pencetus lahirnya Islam liberal dan
golongan Islam rasionalis yang sekarang berkembang pesat sebagai golongan Islam
kiri. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, cenderung bersikap netral terhadap
politik yang berkembang pada saat itu. Ia tidak memihak terhadap perseteruan
antara Ali dan Muawiyah. Ia cenderung memisahkan diri dari barisan antara
aliran yang bertentangan dan lebih suka dalam urusan mereka, yakni mengaji
Al-Quran dan hal-hal keagamaan lainnya, daripada harus berurusan dengan
kepentingan politik antara pihak-pihak yang berseberangan pendapat secara
politis.[1]
Kelompok Mu'tazilah selanjutnya berkembang
menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan
perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu'tazilah merambah kelapangan
siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara
tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah
kewajiban berdasarkan syar'i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk
membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar
pertimbangan rasio dan tuntutan mu'amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada
posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan
sosok yang luar biasa sebagaimana pandangan Syi'ah atau pendapat Sunni yang
lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya
kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu
melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam
sendiri.[2]
Meskipun kepala negara memiliki posisi
sebagai pemimpin politik dan spiritual umat Islam, ia tidak memiliki sifat-sifat
ma’shum sebagaimana pandangan syi’ah.
Karenanya kalangan mana dan siapaun boleh
menjai kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara
ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, karena mereka yang paling
tahu tentang keadaan mereka dan hal-hal yang mereka pilih. Namun demikian, Abd
al-Jabbar mensyaratkan kepala negara harus:
1. Merdeka.
Karena pada saat itu perbudakan belum sepenuhnya dihapuskan.
2. Mempunyai
kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang lainnya. Karena kepala
negara harus cerdas agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik sesuai
syariat.
3. Mengandung
doktrin al-‘adl wa al-tawhid, sebagaimna ajaran Mu’tazilah.
4. Bersifat
wara’. Syarat ini penting agar kepala negara tidak menyalahi kewengan dan
kekuasannya. Dengan demikian, segala kebijakan dan keputusan politiknya
diarahkan semata-mata hanya untuk kepentingan umat Islam, bukan pribadi atau
golongan.
Tentang bagaimana pemilihannya Abd al-Jabbar
berpendapat ia dipilih berdasarkan musyawarah. Sudirman M. Johan mengemukakan
beberapa cara : pertama, pengangkatan sejumlah orang yang diakui dalam
masyarakat dan jumlah harus ganjil agar mudah untuk menghitungnya. Kedua,
dengan jalan musyawarah yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan agama mendalam dan wawasan politik yang luas.[3]
Mu’tazilah tidak jauh berbeda dengan Khawarij
dalam persyaratan menjadi imam, yaitu berilmu, adil dan berani, namun dalam hal
keturunan, mereka cendrung berlebihan,mereka memang mebolehkan imam dari selain
suku Quraisy, bahkan cendrung mengutamakan imam yang bukan dari Quraisy,
sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-syahrasatani, bahwa seandainya ada calon
pemimpin dari suku Quraisy dan suku Nabatean, maka lebih baik mendahulukan
orang Nabatean dari pada orang Quraisy, dan jika ada calon dari kaum Habasyi
dan Quraisy yang pada kenyataannya mereka berdua sama-sama mengamalkan Al-quran
dan Hadits, maka lebih baik mendahulukan habasyi ketimbang Quraisy, sebab
Habasyi gampang diberhentikan dari keimamahan apabila terjadi penyimpangan dari
dasar yang ada.[4]
Pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash
tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam karangannya
melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena
kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam sendiri.[5]
PENGARUH PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH
TERHADAP PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
Pemikir Indonesia kontemporer di atas,
berlawanan dengan Mu’tazilah, mereka puas untuk hanya mengandalkan kitab suci
sebagai dasar untuk mengetaui Tuhan. Namun mereka tetap menggunakan keutamaan
akal sebagai alat solusi Islam terhadap persoalan sosial di dunia. Ini
merupakan perhatian utama untuk mengembangkan teologi praktis yang bisa
memberikan penafsiran Islam bagi realitas sosial dan politik, hal tersebut
membedakan rasionalis klasik, yaitu Mu’tazilah, dari teolog modernis di
Indonesia. Dengan cara ini kelihatan bahwa perbedaan antara teolog Mu’tazilah
dan modernis, lebih pada penekanan aspek pengalaman esoteris agama.[6]
B. PREMIS
1. Mu’tazilah merupakan pencetus lahirnya Islam
liberal dan golongan Islam rasionalis.
2. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, bersikap
netral terhadap politik yang berkembang pada saat itu.
3. Kepala negara ditentukan berdasarkan
pemilihan umat Islam sendiri, kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepala
negara, asalkan ia mampu melaksanakannya.
4. Kepala negara dipilih lewat jalan musyawarah.
C. KONKLUSI
Mu’tazilah adalah pencetus Islam liberal dan
golongan Islam rasionalis. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, bersikap
netral terhadap politik yang berkembang pada saat itu. Kepala negara ditentukan
berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, kalangan mana dan siapapun boleh
menjadi kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara dipilih
lewat jalan musyawarah.
Fathiyah Khasanah Ar Rahmah (B01217016)
[1] http://mcholieq.blogspot.com/2016/12/makalah-gerakan-dan-pemikiran-politik.html
[2] http://ulohtengpay.blogspot.com/2016/05/pemikiran-politik-sunnisyiahkhawarij.html