KHAWARIJ DALAM PERSPEKTIF POLITIK
SEJARAH
KHAWARIJ
“Khawarij pertama dan yang paling buruk tindakannya adalah orang
ini yang disebut Dzul Khuwaishirah at-Tamimi. Dalam suatu riwayat Dia berkata
kepada nabi: "Adillah!" lalu Nabi bersabda: "Celakalah kamu,
Siapakah yang bisa adil kalau aku saja tidak adil?". Inilah khawarij
pertama yang muncul dalam Islam. Masalah utamanya adalah dia puas terhadap
pendapatnya sendiri yang andai ia diam berpikir tentu ia mengerti bahwa tidak
ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah ﷺ. Pengikut orang ini adalah orang-orang yang memerangi Ali Bin
Abi Thalib.” (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 81-82)
Dalam hadits tersebut juga disebutkan tentang terawangan Rasulullah
yang menyatakan bahwa Dzul Khuwaishirah kelak akan mempunyai kawan-kawan yang
ahli ibadah sehingga shalat dan puasa mereka jauh melampaui shalat dan puasa
sahabat-sahabat besar saat itu. Penerawangan Rasul tersebut terbukti benar
tatkala sejarah mencatat bahwa Dzul Khuwaishirah bergabung dengan para Khawarij
yang memberontak terhadap Khalifah Ali dan akhirnya terbunuh di dalam perang
Nahrawan.
Ibadah keras mereka ternyata sama sekali tak bermanfaat ketika pola
pikir yang mereka miliki bermasalah sehingga Rasulullah menggambarkan sosok
Khawarij itu sebagai sosok yang membaca Al-Qur’an namun pesan-pesan al-Qur’an
sama sekali tak bisa masuk. Mereka merasa perbedaan pendapat merupakan suatu
kemungkaran sehingga harus diperingatkan dengan amar makruf nahi munkar,
termasuk pada Rasulullah dan para Khalifah Rasyidah sekalipun yang notabene
jauh lebih paham agama daripada mereka. Dari sinilah kemudian julukan
al-Mâriqah (kelompok yang melesat menjauh) juga disematkan kepada pihak
Khawarij.[1]
Mayoritas penulis umumnya menisbatkan Khawarij kepada kelompok yang
muncul setelah adanya kesepakatan taḥkīm (arbitrase) ketika terjadi
perselisihan antara Khalifah ‘Alī ibn Abī Ṭālib (w. 40 H/661 M) dan Mu‘āwiyah
ibn Abī Sufyān (60 H/680 M) tahun 37 H (657 M) tatkala berkecamuk Perang Ṣiffīn
sehingga perang itu dinyatakan sebagai titik awal pertumbuhan Khawarij. Namun
al-Shahrastanī menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pemberontakan
terhadap pemimpin adil yang telah disepakati oleh masyarakat disebut Khawarij,
baik pemberontakan itu terjadi pada masa shahabat terhadap al-Khulafā’
al-Rāshidūn atau pada masa sesudahnya terhadap para tabi‘in dan para pemimpin
lainnya pada setiap zaman.
Perpecahan tersebut dipicu oleh perbedaan pandangan di kalangan
mereka, yang terkadang satu dan lainnya saling menuduh kafir. Terdapat beberapa
kelompok utama di kalangan Khawarij, antara lain Azāriqah (dipimpin Abū Rāsyid
Nāfi‘ ibn al-Azraq ibn Qais alḤanafī), Najadāt (dipimpin Najdah ibn ‘Āmir al-Ḥanafī),
Ṣufriyyah (dipimpin ‘Abd Allāh ibn al-Ṣaffār), dan Ibāḍiyyah (dipimpin ‘Abd
Allāh ibn Ibāḍ al-Tamīmī).[2]
POKOK-POKOK
PEMIKIRAN KHAWARIJ
1.
Khilafah
harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam,
2.
Setiap
orang berhak menjadi khilafah asal sudah memenuhi syarat,
3.
Memalingkan
ayat-ayat al-Quran yang tampak samar,
4.
Al-Quran
adalah makhluk,
5.
Manusia
berhak melakukan perbuatannya bukan tuhan.
6.
Mereka
mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Utsman, menurut
pendapat mereka telah menyimpang pada akhir masa khilafahnya dari keadilan dan
kebenaran, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan. Dan bahwasannya
Sayyidina Ali juga telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah.
7.
Dosa,
dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap
pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat.
8.
Khilafah
tidak sah kecuali dengan adanya pemilihan bebas antara kaum muslimin dan tidak
dengan cara apapun selain itu.
9.
Mereka
sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang khalifah
haruslah dari suku Quraisy. Mereka mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang
saleh, dipilih oleh kaum muslimin, dapat menjadi seorang khalifah yang sah bagi
mereka, terlepas dari kenyataan apakah dia seorang dari suku Quraisy atau
bukan.
10.
Ketaatan
kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di
jalan keadilan dan kebaikan.[3]
Apabila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan oleh
kaum khawarij dapat dikategorikan menjadi tiga kategori,yang diaantaranya
adalah politik yang berati kemahiran dalam bernegara, atau kemahiran untuk
berupaya menyalidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran
mengenai latar belakang, motivasi, dan hasrat manusia ingin memperoleh
kekuasaan.[4]
Di samping berperan sebagai gerakan politik yang keras terhadap
pemerintah, kaum Khawarij juga berperan sebagai aliran teologi Islam. Khawarij
memadukan antara pemikiran teologi dan politik, serta membuat gagasan tentang
kewajiban menggunakan hukum Allah SWT dengan adagium “La Hukma ila Lilah”.[5]
Yang unik dari sistem kepemimpinan (khilafah) dan demokrasi kaum Khawarij adalah bahwa pemimpin(khalifah) wajib dipilih oleh orang-orang yang merdeka (bukan budak). Dan pemimpin boleh berasal dari suku Quraisy ataupun selainnya, bahkan orang non-Arab dan budak sekalipun dapat dipilih sebagai pemimpin.
Jelas ada perbedaan antara demokrasi Yunani dan demokrasi yang diusung oleh kaum Khawarij. Demokrasi Yunani kala itu hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja, para budak dan wanita sama sekali tidak dapat merasakan demokrasi. Sedangkan demokrasi kaum Khawarij berasaskan kebebasan asalkan dipilih oleh orang-orang yang merdeka, kaum budak tetap tak dapat menikmati demokrasi secara utuh.
Namun sayangnya, demokrasi kaum Khawarij menjadi terasing dan tercampur dengan paham-paham ketuhanan, sehingga membuat demokrasinya tidak dapat berkembang secara massif. Hal ini disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dalam tubuh kaum Khawarij sendiri dan mengakibatkannya terpecah belah menjadi beberapa golongan. Mengingat kebanyakan dari kaum Khawarij adalah orang-orang Arab pedalaman (badui) yang memiliki watak keras dan tempramen, sehingga tak jarang terjadi perseteruan di dalam kaumnya sendiri.
Meskipun begitu, sumbangsih terbesar kaum Khawarij merupakan jasa yang besar bagi umat Muslim. Karena menyentuh aspek-aspek kemanusiaan di dalamnya, seperti kebebasan nurani, kesadaran pluralisme, musyawarah, serta kejujuran dan pemufakatan (konsensus). Terutama tentunya di bidang demokrasi yang secara tulus disumbangkan oleh kaum Khawarij agar umat Muslim tak mudah terperdaya dengan slogan-slogan demokrasi yang diselubungi otoritarianisme.[6]
Secara umum semua
sekte Khawarij mengklaim sebagai jama‟ah Islam sejati dan pentingnya kesetiaan
spiritual kepada jama‟ahnya. Pandangan itu mendorong sekte-sekte yang ekstrim
menolak adanya hubungan kerjasama dengan kelompok di luar Khawarij, kecuali
sekte Ibadiah. Menurut mereka, yang harus diperangi adalah pemerintahnya, dan
bukan masyarakatnya. Namun, sikap moderat mereka tetap saja tidak menghapus
karakteristiknya sebagai kelompok khawarij yang eksklusif dan mengisolir diri
dari wilayah pemerintahan dan masyarakat yang mereka anggap kafir.[7]
Khawarij mempunyai
persamaan pandangan mengenai kepemimpinan dengan sunni pada umumnya. Mereka
sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk
memilihnya, dan tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunan tertentu,
seperti Quraisy atau keturunan Nabi.[8]
Sikap politik mereka dalam peristiwa tersebut direpresentasikan melalui jargon
la hukma illa Allah (hukum hanya milik Allah).[9]
Dalam hal masa
jabatan kepemimpinan kelompok khawarij berpendapat pemimpin dapat menjabat
selama mungkin selagi ia tidak zalim, konsep masa jabatan seumur hidup kiranya
pernah diterapkan diindonesia pada masa jabatan soekarno pada tanggal 15 mei
1963 yang mana pada saat itu MPRS menggelar siding umum II di Bandung yang mana
amr putusan dari MPRS mengangkat soekarno menjadi presiden seumur hidup, namun
beliau lengser dari masa jabatan setelah menandatangani surat pernyataan
penyerahan kekuasaan di istana merdeka pada tanggal 20 februari 1967.[10]
Fathiyah Khasanah Ar Rahmah (B01217016)
[2] Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2
November 2016 : 411 - 438
[4]
https://www.kompasiana.com/ahmadzekiyulfawaid7330/5bb0d050bde5756d184b6514/sejarah-serta-doktrin-doktrin-dalam-aliran-khawarij
[5]
https://kumparan.com/potongan-nostalgia/khawarij-salah-satu-aliran-keagamaan-pada-masa-dinasti-umayyah
[8]
https://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya.htm#.XH36WIgzbIU