Tuesday, April 9, 2019

[Fathiyah Khasanah] KHAWARIJ DALAM PERSPEKTIF POLITIK



KHAWARIJ DALAM PERSPEKTIF POLITIK


SEJARAH KHAWARIJ
“Khawarij pertama dan yang paling buruk tindakannya adalah orang ini yang disebut Dzul Khuwaishirah at-Tamimi. Dalam suatu riwayat Dia berkata kepada nabi: "Adillah!" lalu Nabi bersabda: "Celakalah kamu, Siapakah yang bisa adil kalau aku saja tidak adil?". Inilah khawarij pertama yang muncul dalam Islam. Masalah utamanya adalah dia puas terhadap pendapatnya sendiri yang andai ia diam berpikir tentu ia mengerti bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah . Pengikut orang ini adalah orang-orang yang memerangi Ali Bin Abi Thalib.” (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 81-82)
Dalam hadits tersebut juga disebutkan tentang terawangan Rasulullah yang menyatakan bahwa Dzul Khuwaishirah kelak akan mempunyai kawan-kawan yang ahli ibadah sehingga shalat dan puasa mereka jauh melampaui shalat dan puasa sahabat-sahabat besar saat itu. Penerawangan Rasul tersebut terbukti benar tatkala sejarah mencatat bahwa Dzul Khuwaishirah bergabung dengan para Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali dan akhirnya terbunuh di dalam perang Nahrawan. 
Ibadah keras mereka ternyata sama sekali tak bermanfaat ketika pola pikir yang mereka miliki bermasalah sehingga Rasulullah menggambarkan sosok Khawarij itu sebagai sosok yang membaca Al-Qur’an namun pesan-pesan al-Qur’an sama sekali tak bisa masuk. Mereka merasa perbedaan pendapat merupakan suatu kemungkaran sehingga harus diperingatkan dengan amar makruf nahi munkar, termasuk pada Rasulullah dan para Khalifah Rasyidah sekalipun yang notabene jauh lebih paham agama daripada mereka. Dari sinilah kemudian julukan al-Mâriqah (kelompok yang melesat menjauh) juga disematkan kepada pihak Khawarij.[1]
Mayoritas penulis umumnya menisbatkan Khawarij kepada kelompok yang muncul setelah adanya kesepakatan taḥkīm (arbitrase) ketika terjadi perselisihan antara Khalifah ‘Alī ibn Abī Ṭālib (w. 40 H/661 M) dan Mu‘āwiyah ibn Abī Sufyān (60 H/680 M) tahun 37 H (657 M) tatkala berkecamuk Perang Ṣiffīn sehingga perang itu dinyatakan sebagai titik awal pertumbuhan Khawarij. Namun al-Shahrastanī menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pemberontakan terhadap pemimpin adil yang telah disepakati oleh masyarakat disebut Khawarij, baik pemberontakan itu terjadi pada masa shahabat terhadap al-Khulafā’ al-Rāshidūn atau pada masa sesudahnya terhadap para tabi‘in dan para pemimpin lainnya pada setiap zaman.
Perpecahan tersebut dipicu oleh perbedaan pandangan di kalangan mereka, yang terkadang satu dan lainnya saling menuduh kafir. Terdapat beberapa kelompok utama di kalangan Khawarij, antara lain Azāriqah (dipimpin Abū Rāsyid Nāfi‘ ibn al-Azraq ibn Qais alḤanafī), Najadāt (dipimpin Najdah ibn ‘Āmir al-Ḥanafī), Ṣufriyyah (dipimpin ‘Abd Allāh ibn al-Ṣaffār), dan Ibāḍiyyah (dipimpin ‘Abd Allāh ibn Ibāḍ al-Tamīmī).[2]

POKOK-POKOK PEMIKIRAN KHAWARIJ
1.      Khilafah harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam,
2.      Setiap orang berhak menjadi khilafah asal sudah memenuhi syarat,
3.      Memalingkan ayat-ayat al-Quran yang tampak samar,
4.      Al-Quran adalah makhluk,
5.      Manusia berhak melakukan perbuatannya bukan tuhan.
6.      Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Utsman, menurut pendapat mereka telah menyimpang pada akhir masa khilafahnya dari keadilan dan kebenaran, karena itu ia selayaknya dibunuh atau dimakzulkan. Dan bahwasannya Sayyidina Ali juga telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah.
7.      Dosa, dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat.
8.      Khilafah tidak sah kecuali dengan adanya pemilihan bebas antara kaum muslimin dan tidak dengan cara apapun selain itu.
9.      Mereka sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang khalifah haruslah dari suku Quraisy. Mereka mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang saleh, dipilih oleh kaum muslimin, dapat menjadi seorang khalifah yang sah bagi mereka, terlepas dari kenyataan apakah dia seorang dari suku Quraisy atau bukan.
10.   Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan keadilan dan kebaikan.[3]
Apabila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan oleh kaum khawarij dapat dikategorikan menjadi tiga kategori,yang diaantaranya adalah politik yang berati kemahiran dalam bernegara, atau kemahiran untuk berupaya menyalidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi, dan hasrat manusia ingin memperoleh kekuasaan.[4]
Di samping berperan sebagai gerakan politik yang keras terhadap pemerintah, kaum Khawarij juga berperan sebagai aliran teologi Islam. Khawarij memadukan antara pemikiran teologi dan politik, serta membuat gagasan tentang kewajiban menggunakan hukum Allah SWT dengan adagium “La Hukma ila Lilah”.[5]

      Yang unik dari sistem kepemimpinan (khilafah) dan demokrasi kaum Khawarij adalah bahwa pemimpin(khalifah) wajib dipilih oleh orang-orang yang merdeka (bukan budak). Dan pemimpin boleh berasal dari suku Quraisy ataupun selainnya, bahkan orang non-Arab dan budak sekalipun dapat dipilih sebagai pemimpin.

        Jelas ada perbedaan antara demokrasi Yunani dan demokrasi yang diusung oleh kaum Khawarij. Demokrasi Yunani kala itu hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja, para budak dan wanita sama sekali tidak dapat merasakan demokrasi. Sedangkan demokrasi kaum Khawarij berasaskan kebebasan asalkan dipilih oleh orang-orang yang merdeka, kaum budak tetap tak dapat menikmati demokrasi secara utuh.

       Namun sayangnya, demokrasi kaum Khawarij menjadi terasing dan tercampur dengan paham-paham ketuhanan, sehingga membuat demokrasinya tidak dapat berkembang secara massif. Hal ini disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dalam tubuh kaum Khawarij sendiri dan mengakibatkannya terpecah belah menjadi beberapa golongan. Mengingat kebanyakan dari kaum Khawarij adalah orang-orang Arab pedalaman (badui) yang memiliki watak keras dan tempramen, sehingga tak jarang terjadi perseteruan di dalam kaumnya sendiri.

      Meskipun begitu, sumbangsih terbesar kaum Khawarij merupakan jasa yang besar bagi umat Muslim. Karena menyentuh aspek-aspek kemanusiaan di dalamnya, seperti kebebasan nurani, kesadaran pluralisme, musyawarah, serta kejujuran dan pemufakatan (konsensus). Terutama tentunya di bidang demokrasi yang secara tulus disumbangkan oleh kaum Khawarij agar umat Muslim tak mudah terperdaya dengan slogan-slogan demokrasi yang diselubungi otoritarianisme.[6]
       Secara umum semua sekte Khawarij mengklaim sebagai jama‟ah Islam sejati dan pentingnya kesetiaan spiritual kepada jama‟ahnya. Pandangan itu mendorong sekte-sekte yang ekstrim menolak adanya hubungan kerjasama dengan kelompok di luar Khawarij, kecuali sekte Ibadiah. Menurut mereka, yang harus diperangi adalah pemerintahnya, dan bukan masyarakatnya. Namun, sikap moderat mereka tetap saja tidak menghapus karakteristiknya sebagai kelompok khawarij yang eksklusif dan mengisolir diri dari wilayah pemerintahan dan masyarakat yang mereka anggap kafir.[7]
       Khawarij mempunyai persamaan pandangan mengenai kepemimpinan dengan sunni pada umumnya. Mereka sepakat bahwa khalifah hendaknya diserahkan mutlak kepada rakyat untuk memilihnya, dan tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunan tertentu, seperti Quraisy atau keturunan Nabi.[8] Sikap politik mereka dalam peristiwa tersebut direpresentasikan melalui jargon la hukma illa Allah (hukum hanya milik Allah).[9]
         Dalam hal masa jabatan kepemimpinan kelompok khawarij berpendapat pemimpin dapat menjabat selama mungkin selagi ia tidak zalim, konsep masa jabatan seumur hidup kiranya pernah diterapkan diindonesia pada masa jabatan soekarno pada tanggal 15 mei 1963 yang mana pada saat itu MPRS menggelar siding umum II di Bandung yang mana amr putusan dari MPRS mengangkat soekarno menjadi presiden seumur hidup, namun beliau lengser dari masa jabatan setelah menandatangani surat pernyataan penyerahan kekuasaan di istana merdeka pada tanggal 20 februari 1967.[10]


Fathiyah Khasanah Ar Rahmah (B01217016)








[1] https://www.nu.or.id/post/read/102205/sejarah-kelompok-khawarij-ii-embrionya-di-masa-rasulullah
[2]  Al-Tahrir, Vol. 16, No. 2 November 2016 : 411 - 438
[3] http://mylizi.blogspot.com/2015/06/pemikiran-politik-khawarij-syiah.html
[4] https://www.kompasiana.com/ahmadzekiyulfawaid7330/5bb0d050bde5756d184b6514/sejarah-serta-doktrin-doktrin-dalam-aliran-khawarij
[5] https://kumparan.com/potongan-nostalgia/khawarij-salah-satu-aliran-keagamaan-pada-masa-dinasti-umayyah
[6] http://www.nu.or.id/post/read/80943/demokrasi-kaum-khawarij
[8] https://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya.htm#.XH36WIgzbIU
[10] https://kumpulanjurn.wordpress.com/2017/01/11/pemikiran-politik-khawarij/