Tuesday, April 9, 2019

[EZA] Politik Mutazilah


NAMA : Eza Al Roisi Arhan Saputra
KELAS: A2
NIM     : B01217015

POLITIK MU’TAZILAH


A.    Objek Kajian
a.     Formal  :       Ilmu Kalam
b.     Material:       Ilmu Kalam Mu’tazilah dan Konsep Teologi




Muktazilah secara bahasa diambil dari kata  اعتزز الايئززتعلله  يزز ل yang bermakna   هنحز لعنز yang berarti memisahkan diri. Dalam Al-Quran disebutkan "( )12 لِ ون ُيِ َتْ اعَ يلف ِ والي ُنِمْؤُ له ْمَلي ْنِإَ ل yang artinya jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan bersamaku. Maka Muktazilah secara bahasa berarti memisahkan diri (alinfishaal wat tanahhii) Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah kelompok yang muncul pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas teologi Islam. Pengikut Washil bin Atha yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri. Ada anggapan lain bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir, dan karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala berasal dari kata akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir.
Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak bisa berasal dari kata zalla.   Mu‟tazilah memiliki banyak nama, berikut ini penjelasan ringkas yang menunjukkan dua pendapat tentang penamaan Mu‟tazilah. Satu pendapat berasal dari pihak luar, dan satu pendapat lagi dari kaum Mu‟tazilah sendiri. Setelah mengetahui arti kata Mu‟tazilah secara bahasa dan istilah dan nama lain Mu‟tazilah, kita mempelajari asal penamaan Mu‟tazilah itu sendiri. Ketika membahas asal Muktazilah, ahli sejarah terbagi menjadi dua kaca mata yaitu kaca mata politik dan kaca mata agama. Pendapat yang mengatakan bahwa nama Mu‟tazilah mulai muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I’tazala ‘Anna”.
Dari kata-kata tersebut muncullah kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi Washil dan para pengikutnya.  Pendapat mayoritas ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti   Al-Baghdadi dan As-Sahrastani. Mereka meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha‟ telah berbeda dengan gurunya Hasan Bashri9. Washil bin Atha‟ ber-pendapat bahwa bagi orang yang melakukan dosa besar sedang ia tidak bertaubat, maka pada hari akhirat kelak ia berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka) yang diistilahkan dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain. Washil bin Atha‟ kemudian memisahkan diri dari gurunya dan diikuti oleh beberapa murid Hasan Bashri, seperti „Amr ibn „Ubayd. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan: “Washil menjauhkan diri dari kita (I’tazala ‘anna)”. Kemudian mereka digelari kaum Mu‟tazilah. Ada riwayat lain tentang penyebutan nama Mu‟tazilah sebagaimana disebutkan Ibnu Khalkan, Qatadah ibn Da‟amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Bashrah dan menuju ke majelis „Amr ibn „Ubaid yang disangkanya adalah Hasan al-Bashri. Setelah ternyata yang didapatinya bukan majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu‟tazilah”. Semenjak itu mereka disebut kaum Mu‟tazilah. Mu‟tazilah ini muncul disebabkan karena persoalan agama. Mu‟tazilah inilah yang kemudian melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan.
Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum munculnya Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha‟. Sebutan Mu‟tazilah ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.  Secara khusus sebutan Mu‟tazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah. Kedua peperangan ini terjadi karena persoalan politik. Akibat perang ini umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok mengenai pelaku dosa besar yang dipelopori oleh Khawarij yang menganggap bahwa Ali dan pendukung arbitase adalah pelaku dosa besar karena mereka mengambil hukum tidak berdasarkan hukum Allah SWT sehingga mereka dicap kafir. Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah, menurut mereka pelaku dosa besar tetap mukmin dan persoalan dosanya dikembalikan kepada Allah SWT. Reaksi dari dua kelompok tersebut, memicu timbulnya kelompok baru yaitu Muktazilah, menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin dan kafir (al-manzilah bainal manzilatain). Mu‟tazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Berikut penjelasan singkat perkembangan Mu‟tazilah pada masa Umayyah dan Abbasiyah.



C.    Premis
a.   Mu’tazilah secara bahasa yaitu i’tazala as sya’ wa ta’ziluhu yang bermakna memisahkan diri. Dalam al-Qur’an disebutkan surat Ad-Dhukhan ayat 21 yang artinya (jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan bersamaku). Maka secara bahasa berarti memisahkan diri (al-infishaal wat tanahhii) dan secara istilah, mu’tazilah berarti nama sebuah kelompok yang mncul pada awal kedua hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas teologi islam. Pengikut : Washil bin Atha yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri. (Ahmad, 2017)
b.   Muktazilah muncul di masa Umayyah dengan pendirinya Washil bin Atha‟. Mu‟tazilah pada fase pertama ini masih bersifat sederhana yaikni berkisar tentang pelaku dosa besar, akan tetapi pada masa ini muncul lima ajaran pokok Mu‟tazilah yang harus dipegang oleh penganutnya. Pada masa ini Mu‟tazilah tidak menunjukkan sikap anti pemerintahan, sehingga bisa tumbuh secara damai. “Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, kaum Mu‟tazilah dapat hidup tenteram karena tidak menunjukkan sikap ekstrim terhadap pemerintahan yang berkuasa sehingga aliran ini tetap eksis dan berkembang”.
c.   Pada masa Umayyah, Filsafat mulai muncul dan semakin menampakkan diri ketika khalifah Abdul Malik Ibn Marwan menjadikan Alexandria, Antioch dan Bactra menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian memberi kan pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat Islam pada masa itu. Banyak dari pemuka agama dan para intelektual Islam yang mulai terpengaruh dengan filsafat yang lebih banyak menggunakan rasio dan akal ini, sehingga mereka mulai membaurkan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani tersebut, begitu pula dengan aliran Mu‟tazilah yang memang tumbuh pada masa itu pula. (hatta , 2013)
d.   Mu’tazilah memiliki landasan pokok yang mereka pegang erat, disebut dengan al-Ushul al-Khamsah (lima landasan pokok). Seseorang disebut sebagai, Mu’tazili (berfaham Mu’tazilah) jika dia beriman terhadap kelima landasan pokok tersebut. Al-Khiyat{ berkata: “... seseorang tidak berhak menyandang nama ini (Mu’tazilah) sebelum dia mengakui al-Ushul al-Khamsah: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, keadaan di antara dua keadaan (al-manzilah baina almanzilataini) dan perintah kepada yang ma’ruf serta mencegah kepada yang munkar.” Jahmiyah dan Mu’tazilah memiliki kesamaan dalam hal takwil dan menyelisihi qadar, namun Jahm tidak dapat disebut berpaham Mu’tazilah karena berbeda dalam hal al-Ushul al-Khamsah. (Zakiyah, 2013)
e.   Dengan semakin bertambah besarnya pengaruh Mu’tazilah masuk ke istana kekhalifahan al-Ma’mun, yang mencapai titik kulminasinya dengan diakuinya paham Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara. Dengan mendapat legitimasi dari negara, para tokoh Mu’tazilah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyebarkan pahamnya kepada orang lain dengan jalan apapun dengan memperalat penguasa yang sudah memiliki satu ide. Dalam hal ini terutama tentang ajaran yang berkaitan dengan al-Quran sebagai makhluk. Sebenarnya ide ini sudah dikemukakan oleh al-Ma’mun pada tahun 212 H,26 ditengah-tengah majlis perdebatan yang ia sediakan. Akan tetapi belum diproklamirkan secara umum karena kondisi belum memungkinkan. Adapun argumentasi Mu’tazilah terhadap al-Quran sebagai makhluk adalah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu.Sedang al-Quran adalah sesuatu, maka al-Quran adalah makhluk.Menurut mereka hal ini sangat ditekankan sekali dalam al-Quran. (Safii, 2014)
f.    Corak berfikir Mu’tazilah bahwa manusia bebas berkehendak dan berperan aktif dalam menentukan perbuatannya. Manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam berfikir dan menentukan jalan hidupnya. Washil bin Atha’ pernah menyatakan pendiriannya bahwa Tuhan bersifat bijaksana dan adil, Dia tidak berbuat jahat dan berlaku zalim. Tuhan tidak menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya, manusia sendirilah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan baik atau perbuatan jahat. Untuk terwujudnya perbuatan-perbuatan tersebut, Tuhan telah memberikan daya dan kekuatan kepada manusia. Tuhan tidak menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat. Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, karena Tuhan tidak absolut dalam kehendak-Nya, dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban menepati janji, berkewajiban memberi rizki. Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan kehendaknya. Daya yang diciptakan Tuhan sudah ada sebelum terciptanya perbuatan, dan daya itu bersifat efektif. Perbuatan diwujudkan oleh daya yang telah ada, perbuatan itu adalah kehendak manusia sendiri. Mu’tazilah memandang manusia sebagai pemegang peranan utama dalam mewujudkan perbuataannya, namun tanggung jawabnya pada diri manusia itu sendiri.
g.   Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam al-Qur’an, sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian. Menurut Muamar ibn al-Abbad (wafat 220 H/835 M) salah seorang tokoh sentral mu’atazilah berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi saja, adapun “al-‘arad”atau “accidents” adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti, antara gerak dan diam, berkumpul atau berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan pada hukum alam yang terdapat dalam paham Mu’tazilah. (Zuhelmi, 2014)










Daftar Pustaka


Ahmad, J. (2017, Desember 24). Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar. Pengkajian Islam, 5-6. Retrieved Maret Minggu, 2019, from https://www.researchgate.net/publication/
hatta , m. (2013, januari). aliran Muktazilah dalam Lintas Sejarah Pemikiran Islam. Ilmu Ushuluddin, 12(1), 89.
Safii. (2014, Juli-Desember). Teologi Mu"tazilah: Sebuah Upaya Revitalisasi. Teologia, 25(2), 6&9.
Zakiyah, E. (2013). ASPEK PAHAM MU’TAZILAH DALAM TAFSIR AL-KASHSHAf TENTANG AYAT-AYAT TEOLOGI. Tesis: Studi Pemikiran Al-Zamakhshary, 41.
Zuhelmi. (2014). Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia. Intizar, 20(1), 4-5.