NAMA : Eza Al Roisi Arhan Saputra
KELAS: A2
NIM : B01217015
POLITIK MU’TAZILAH
A.
Objek Kajian
a.
Formal : Ilmu Kalam
Muktazilah secara bahasa diambil dari kata اعتزز
الايئززتعلله يزز ل yang bermakna هنحز لعنز yang berarti memisahkan diri. Dalam Al-Quran disebutkan "(
)12 لِ ون ُيِ َتْ اعَ يلف ِ والي ُنِمْؤُ له ْمَلي ْنِإَ ل yang artinya jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan
bersamaku. Maka Muktazilah secara bahasa berarti memisahkan diri (alinfishaal
wat tanahhii) Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah kelompok yang
muncul pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas
teologi Islam. Pengikut Washil bin Atha yang keluar dari Majlis Hasan
Al-Bashri. Ada anggapan lain bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir,
dan karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia
diberi nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala berasal
dari kata akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti
tergelincir.
Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat
bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak
bisa berasal dari kata zalla.
Mu‟tazilah memiliki banyak nama, berikut ini penjelasan ringkas yang
menunjukkan dua pendapat tentang penamaan Mu‟tazilah. Satu pendapat berasal
dari pihak luar, dan satu pendapat lagi dari kaum Mu‟tazilah sendiri. Setelah
mengetahui arti kata Mu‟tazilah secara bahasa dan istilah dan nama lain
Mu‟tazilah, kita mempelajari asal penamaan Mu‟tazilah itu sendiri. Ketika
membahas asal Muktazilah, ahli sejarah terbagi menjadi dua kaca mata yaitu kaca
mata politik dan kaca mata agama. Pendapat yang mengatakan bahwa nama
Mu‟tazilah mulai muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan
al-Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I’tazala ‘Anna”.
Dari kata-kata tersebut muncullah kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi
Washil dan para pengikutnya. Pendapat
mayoritas ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti Al-Baghdadi dan As-Sahrastani. Mereka
meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha‟ telah berbeda dengan gurunya Hasan Bashri9.
Washil bin Atha‟ ber-pendapat bahwa bagi orang yang melakukan dosa besar sedang
ia tidak bertaubat, maka pada hari akhirat kelak ia berada di antara dua tempat
(antara surga dan neraka) yang diistilahkan dengan Al-Manzilah Baina
Al-Manzilatain. Washil bin Atha‟ kemudian memisahkan diri dari gurunya dan
diikuti oleh beberapa murid Hasan Bashri, seperti „Amr ibn „Ubayd. Atas
peristiwa ini Hasan al-Bashri mengatakan: “Washil menjauhkan diri dari kita
(I’tazala ‘anna)”. Kemudian mereka digelari kaum Mu‟tazilah. Ada riwayat lain
tentang penyebutan nama Mu‟tazilah sebagaimana disebutkan Ibnu Khalkan, Qatadah
ibn Da‟amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Bashrah dan menuju ke majelis „Amr
ibn „Ubaid yang disangkanya adalah Hasan al-Bashri. Setelah ternyata yang
didapatinya bukan majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu‟tazilah”. Semenjak itu mereka disebut kaum
Mu‟tazilah. Mu‟tazilah ini muncul disebabkan karena persoalan agama. Mu‟tazilah
inilah yang kemudian melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan.
Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum munculnya Muktazilah
yang dipelopori oleh Wasil bin Atha‟. Sebutan Mu‟tazilah ketika itu merupakan
julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan urusan politik, dan hanya
menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.
Secara khusus sebutan Mu‟tazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak
mau ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi
Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina
Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah. Kedua peperangan ini terjadi karena
persoalan politik. Akibat perang ini umat Islam terbagi menjadi beberapa
kelompok mengenai pelaku dosa besar yang dipelopori oleh Khawarij yang
menganggap bahwa Ali dan pendukung arbitase adalah pelaku dosa besar karena
mereka mengambil hukum tidak berdasarkan hukum Allah SWT sehingga mereka dicap
kafir. Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah, menurut mereka pelaku
dosa besar tetap mukmin dan persoalan dosanya dikembalikan kepada Allah SWT.
Reaksi dari dua kelompok tersebut, memicu timbulnya kelompok baru yaitu
Muktazilah, menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin dan kafir
(al-manzilah bainal manzilatain). Mu‟tazilah sempat eksis pada masa dinasti
Umayyah dan mengalami puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Berikut penjelasan
singkat perkembangan Mu‟tazilah pada masa Umayyah dan Abbasiyah.
C.
Premis
a.
Mu’tazilah secara bahasa yaitu i’tazala as sya’ wa ta’ziluhu yang
bermakna memisahkan diri. Dalam al-Qur’an disebutkan surat Ad-Dhukhan ayat 21
yang artinya (jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan bersamaku). Maka
secara bahasa berarti memisahkan diri (al-infishaal wat tanahhii) dan secara
istilah, mu’tazilah berarti nama sebuah kelompok yang mncul pada awal kedua
hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas teologi islam. Pengikut : Washil
bin Atha yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri. (Ahmad, 2017)
b.
Muktazilah muncul di masa Umayyah
dengan pendirinya Washil bin Atha‟. Mu‟tazilah pada fase pertama ini masih
bersifat sederhana yaikni berkisar tentang pelaku dosa besar, akan tetapi pada
masa ini muncul lima ajaran pokok Mu‟tazilah yang harus dipegang oleh
penganutnya. Pada masa ini Mu‟tazilah tidak menunjukkan sikap anti
pemerintahan, sehingga bisa tumbuh secara damai. “Dimasa pemerintahan Bani Umayyah,
kaum Mu‟tazilah dapat hidup tenteram karena tidak menunjukkan sikap ekstrim
terhadap pemerintahan yang berkuasa sehingga aliran ini tetap eksis dan
berkembang”.
c.
Pada masa Umayyah, Filsafat mulai muncul dan semakin menampakkan diri
ketika khalifah Abdul Malik Ibn Marwan menjadikan Alexandria, Antioch dan
Bactra menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian memberi kan
pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat Islam pada masa itu. Banyak dari
pemuka agama dan para intelektual Islam yang mulai terpengaruh dengan filsafat
yang lebih banyak menggunakan rasio dan akal ini, sehingga mereka mulai
membaurkan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani tersebut, begitu pula dengan
aliran Mu‟tazilah yang memang tumbuh pada masa itu pula. (hatta , 2013)
d.
Mu’tazilah memiliki landasan pokok yang mereka pegang erat, disebut
dengan al-Ushul al-Khamsah (lima landasan pokok). Seseorang disebut sebagai,
Mu’tazili (berfaham Mu’tazilah) jika dia beriman terhadap kelima landasan pokok
tersebut. Al-Khiyat{ berkata: “... seseorang tidak berhak menyandang nama ini
(Mu’tazilah) sebelum dia mengakui al-Ushul al-Khamsah: tauhid, keadilan, janji
dan ancaman, keadaan di antara dua keadaan (al-manzilah baina almanzilataini) dan
perintah kepada yang ma’ruf serta mencegah kepada yang munkar.” Jahmiyah dan
Mu’tazilah memiliki kesamaan dalam hal takwil dan menyelisihi qadar, namun Jahm
tidak dapat disebut berpaham Mu’tazilah karena berbeda dalam hal al-Ushul
al-Khamsah. (Zakiyah, 2013)
e.
Dengan semakin bertambah besarnya pengaruh Mu’tazilah masuk ke
istana kekhalifahan al-Ma’mun, yang mencapai titik kulminasinya dengan
diakuinya paham Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara. Dengan mendapat
legitimasi dari negara, para tokoh Mu’tazilah tidak menyia-nyiakan kesempatan
untuk menyebarkan pahamnya kepada orang lain dengan jalan apapun dengan
memperalat penguasa yang sudah memiliki satu ide. Dalam hal ini terutama
tentang ajaran yang berkaitan dengan al-Quran sebagai makhluk. Sebenarnya ide
ini sudah dikemukakan oleh al-Ma’mun pada tahun 212 H,26 ditengah-tengah majlis
perdebatan yang ia sediakan. Akan tetapi belum diproklamirkan secara umum
karena kondisi belum memungkinkan. Adapun argumentasi Mu’tazilah terhadap al-Quran sebagai makhluk
adalah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu.Sedang al-Quran adalah sesuatu,
maka al-Quran adalah makhluk.Menurut mereka hal ini sangat ditekankan sekali
dalam al-Quran. (Safii, 2014)
f.
Corak berfikir Mu’tazilah bahwa manusia bebas berkehendak dan
berperan aktif dalam menentukan perbuatannya. Manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam berfikir dan menentukan jalan hidupnya. Washil bin Atha’ pernah
menyatakan pendiriannya bahwa Tuhan bersifat bijaksana dan adil, Dia tidak
berbuat jahat dan berlaku zalim. Tuhan tidak menghendaki manusia berbuat
hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya, manusia sendirilah yang
sebenarnya mewujudkan perbuatan baik atau perbuatan jahat. Untuk terwujudnya
perbuatan-perbuatan tersebut, Tuhan telah memberikan daya dan kekuatan kepada
manusia. Tuhan tidak menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu
kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat. Mu’tazilah
berpandangan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi
manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, karena Tuhan tidak absolut
dalam kehendak-Nya, dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban
menepati janji, berkewajiban memberi rizki. Dalam hubungannya dengan perbuatan
manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena kebebasan itu telah
diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan kehendaknya. Daya yang
diciptakan Tuhan sudah ada sebelum terciptanya perbuatan, dan daya itu bersifat
efektif. Perbuatan diwujudkan oleh daya yang telah ada, perbuatan itu adalah
kehendak manusia sendiri. Mu’tazilah memandang manusia sebagai pemegang peranan
utama dalam mewujudkan perbuataannya, namun tanggung jawabnya pada diri manusia
itu sendiri.
g.
Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam
al-Qur’an, sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia
dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan
penelitian. Menurut Muamar ibn al-Abbad (wafat 220 H/835 M) salah seorang tokoh
sentral mu’atazilah berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah
benda-benda materi saja, adapun “al-‘arad”atau “accidents” adalah kreasi
benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran oleh
api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti,
antara gerak dan diam, berkumpul atau berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini
menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan pada hukum alam yang terdapat
dalam paham Mu’tazilah. (Zuhelmi, 2014)
Daftar Pustaka
Ahmad, J. (2017, Desember 24). Muktazilah: Penamaan,
Sejarah dan Lima Prinsip Dasar. Pengkajian Islam, 5-6. Retrieved Maret
Minggu, 2019, from https://www.researchgate.net/publication/
hatta , m. (2013, januari). aliran Muktazilah dalam
Lintas Sejarah Pemikiran Islam. Ilmu Ushuluddin, 12(1), 89.
Safii. (2014, Juli-Desember). Teologi
Mu"tazilah: Sebuah Upaya Revitalisasi. Teologia, 25(2), 6&9.
Zakiyah, E. (2013). ASPEK PAHAM MU’TAZILAH DALAM
TAFSIR AL-KASHSHAf TENTANG AYAT-AYAT TEOLOGI. Tesis: Studi Pemikiran
Al-Zamakhshary, 41.
Zuhelmi. (2014). Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah
dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia. Intizar,
20(1), 4-5.