Nama : Eza Alroisi
Arhan Saputra
Kelas : A2
NIM : B01217015
ASY’ARIYAH DALAM TEOLOGI
Asy’ariah adalah nama suatu aliran dalam teologi Islam yang dikenal sebagai aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah.[1] Kata Asy’ariah diambil dari nama seorang tokoh pendiri aliran ini, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Pada mulanya al-Asy’ari adalah penganut aliran Mu’tazilah yang ternama, tetapi setelah berumur 40 tahun ia meninggalkan aliran Mu’tazilah dan mencetuskan paham baru yang dikenal sebagai aliran Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, keturunan Abu
Musa al-Asy’ari, seorang tahkim dalam peristiwa Perang Siffin dari pihak Ali.
Dia lahir di kota Bashrah tahun 260 H (873 M) dan meninggal tahun 324 H (935 M)
di Baghdad.[2] Pada
awalnya ia berguru kepada seorang pendekar Mu’tazilah waktu itu bernama Abu Ali
al-Jubai. Memang dahulunya al-Asy’ari ini merupakan penganut paham Mu’tazilah,
namun terasa baginya sesuatu yang tidak cocok dengan Mu’tazilah yang pada
akhirnya condong kepada ahli fiqih dan ahli hadits.
Setelah lama-lama berpikir dan merenungkan antara
ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadits, maka ketika
dia sudah berumur 40 tahun dia bersembunyi di dalam rumahnya selama 15 hari
untuk memikirkan hal tersebut. Tepat pada hari jumat, dia berdiri di atas
mimbar mesjid Bashrah dan secara resmi menyatakan keluar dari Mu’tazilah.
1. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari
dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping
itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati
orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2. Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan
intelektual dan birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran paham ini.Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam
bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan
ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan
karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Pengaruh
Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara formal
konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak
langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu
keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman
merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga
menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam.
Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai
satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
Premis
1 : Al-Asy’ari adalah didirikan oleh
Abu Hasan al-Asy’Ary karena ketidak sependapatan dengan paham Mu’tazilah.
Premis 2 :
Al-Asy’ari berpendapat kebalikan
dari pendapat aliran Mu’tazilah karena kekecewaan Abu Asy’ari dengan Al-Juba’I
Premis
3 : Aliran Al-Asy’ari berkembang pesat
hingga menuju ke Indonesia dengan bukti adanya organisasi Nahdlatul Ulama’ yang
berfaham Ahlussunnah Wal Jamaa’ah.
Konklusi :
Al-Asy’ari
pendirinya adalah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dengan paham yang berbeda dengan
aliran Mu’tazilah, Asy’ari ,enyebarkan pahamnya melalui para tokoh-tokoh
terkenal dengan argumentasi-argumentasi yang kuat, hingga sampai di Indonesia.
Pandangan
Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan
al-Asy’ari mengenai Alquran sebagai berikut:
“Hendaknya
kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti
qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang
diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya adalah satu
yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman.
Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah
atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan
rasul-Nya melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang
dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan
antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan yang disebut, sebutan
adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.
Sebagian
kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam Asy’ariyah adalah
Alqur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah ilmu
kalam. Oleh karena dasar yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami Alqur`an
dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam maka muncul beberapa penilaian terhadap
konsekuensi penggunaan ilmu kalam tersebut. Ada pun penilaian konsekuensi
tersebut antara lain sebagai berikut : pertama, Asy’ariyah mendahulukan
akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan; kedua, Menolak
hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena, menurut Asy’ariyah, hadits
ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan sebagian dari kalangan Asy’ariyah
dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash
bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf didahulukan atau nash dibelokkan agar sesuai dengan
kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana
mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku
dari tuhanku’.
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan,
Jakarta: UI-Press, 1986, h.64