Objek Kajian :
Kajian Material : Ilmu Kalam
Kajian Formal : Historis, Pemikiran Hukum Islam dan Poiltik Ibnu Taimiyah
Historitas Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah bernama Ahmad bin Abdul Halim bin Salam bin Abdillah bin Abi Qosim bin Taimiyah. Beliau diberi gelar al-Imam al-Alamah al-Hujjah Taqiyuddin, berkunyah Abul Abbas al-Harrani. Lahir di Harran bulan Robi’ul Awal tahun 661 H. Beliau datang ke Damaskus bersama ayahnya. Wafat di kota tersebut tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 727 H.[10]
Ibnu Taimiyah berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ber-manhaj as-Salafy dan dekat dengan madzhab Hambali. Beliau seorang panglima perang dan seorang ulama. Beliau memimpin perang untuk memerangi tentara Tartar yang akan menguasai Baitul Maqdis. Pada zamannya Islam mengalami kemunduran, banyak orang yang taklid, berbuat bid’ah dan jauh dari akidah yang benar. Kemudian beliau muncul dan menyeru untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga beliau dikenal dengan pembaharu Islam. Dengan demikian dakwah beliau adalah untuk mengajak kepada akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan manhaj Salafy. Secara otomatis, masalah keimanan, tauhid, ibadah, fiqh, akhlak, dan tazkiyatun nafs adalah menurut konsep Sunni Salafy. Dalam kaitannya dengan paham Salafi, maka hampir tidak ada satu kitab maupun tulisan yang disampaikan oleh kaum Salafi kecuali merujuk kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah.
Banyak orang yang menulis riwayat hidup Ibnu Taimiyyah dan juga memujinya. Mereka menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyyah telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencari ilmu dengan berbagai cabangnya. Dalam berbagai ilmu pengetahuan, dia berada di depan di antara para ulama' yang ada dan hidup pada zamannya. Beliau melakukan kritik yang tajam tidak saja ke arah sufi dan para filosof yang mendewakan rasio- nya, tapi juga kepada teologi Asy’ariyah yang cenderung pasrah terhadap kehendak Tuhan. Kritik Ibnu Taimiyah selalu dibarengi dengan seruannya agar kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, serta memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad.
Beliau mulai menuntut ilmu pertama kali pada ayahnya dan juga pada ulama-ualam Damaskus. Di antara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab. Berbekal segala kemampuan yang dimiliki, Ibn Taimiyah berupaya membangun kembali masyarakat Islam di atas sendi-sendi Islam yang pokok, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah.31 Upaya yang dilakukannya berangkat dari asumsi dasar bahwa kaum Muslimin generasi pertama maju dengan pesat karena mereka berpegang kepada ajaran Islam dan menghormati al-Qur’an. Sebaliknya, kaum muslimin pada masanya lemah dan kurang dihargai komunitas agama lain karena mereka telah meninggalkan sumber ajarannya. Ia berkesimpulan bahwa tugas utama yang harus dijalankannya adalah menyeru umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, dalam memahaminya menggunakan pemahaman kaum muslimin generasi pertama untuk menguji madzhab-madzhab dan hasil pemikiran kaum muslimin dari masa ke masa. Satu langkah strategis yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ke arah itu adalah merumuskan kerangka dasar atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dalam karyanya Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir.
Metode Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyyah
Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmu' al-Fatawa (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith. Setiap ahli fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah kita kenal, masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan tempat kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu Taimiyyah bukanlah imam madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok, sebagaimana keempat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum fiqh yang ia istinbatkan bersandar kepada imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal. Menurut penyelidikan para sarjana ushul, fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hanbal didasarkan atas dalil-dalil hukum meliputi: Nash, Fatwa sahabat, Hadis Mursal dan Dhoif, serta Qiyas (analogi).
Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Negara
Paradigma pemikiran politik Ibnu Taimiyah tentang pembentukan Negara berdasarkan pemahamanya terhadap hadist Rasulullah SAW, yang mewajibkan seseorang harus dipilih menjadi pemimpin dalam sebuah perkumpulan yang kecil atau perkumpulan yang bersifat sementara. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadist yang artinya: Tidak halal bagi tiga orang yang berada di padang pasir dari bagian bumi ini (dalam rangka berpergian) kecuali hendaklah mereka menjadikan salah satu menjadi pemimpin di kalangan mereka. (H.R. Ahmad). Justru itu Ibnu Taimiyah menyatakan jika pada kelompok yang sedemikian kecil dipilih pemimpin, maka pada kelompok yang lebih besar dia berstatus masyarakat serta lebih di utamakan dan peluang adanya seorang pemimpin untuk mengatur tata dan kehidupan sosial dalam sebuah masyarakat. Ibnu Taimiyah merupakan salah satu ulama islam yang memiliki pandangan tentang politik yang modern, tapi dari cara pandang politik yang beliau kemukakan selalu berpegangan pada hukum syari’ah. Walaupun banyak dari para cendikiawan islam mengagangap beliau sudah menyimpang sehingga harus di penjara.
Ibnu Taimiyah mewakili pemikiran politik klasik dan pertengahan mengembangkan teori politik kedaulatan syariat, yaitu meletakkan syariat Islam sebagai hukum tertinggi dalam pemerintahan. Di sini berarti pemimpin Negara tidak mempunyai kuasa mutlak. Ibnu Taimiyah menyatakan, Negara adalah suatu organisasi, kerja sama masyarakat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah pemerintahan mempunyai tanggung jawab yang paling besar dalam masyarakat. Karena itu pemerintah adalah satu-satunya jalan untuk menyatukan agama Islam. Akan tetapi dalam agama Islam Al-Quran dan Hadist tidak menuntut di bentuk sebuah Negara Islam, dalam Al-Quran terdapat unsur-unsur yang esensial yang menjadi dasar pembentukan sebuah Negara.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam Negara Islam terdapat dua macam kekuasaan yaitu: kekuasaan para ulama yang disebut dengan syaikkul Ad-Diin, dan kekuasaan para raja atau kepada Negara. Mareka itu dipatuhi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ulama dipatuhi yang berkenaan dengan ibadah dan pernafsiran Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan penguasaan dipatuhi dalam hal-hal yang berhubungan dengan jiwa dan hukum-hukum yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta tindakan-tindakan yang diperintahkan dari Allah. Jika jelaslah disini bahwa peranan ulama sebagai penafsiran dan penasehat, sedangkan penguasa sebagai pelaksanaan hukum. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa antara hadis dan al-Qur’an jelas ada pertalian hubungan yang erat, dan karenanya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan kendatipun antara keduanya bisa dibedakan dari berbagai aspeknya. Hal inilah yang mendasari sikap ontologis dan epistimologis Ibnu Taimiyah dalam memandang al-Qur’an dan sunnah atau hadis sebagai sumber hukum Islam, dan ijtihad merupakan sumber hukum ketiga (peraturan Islam atau kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh Muslim yang berilmu.
Premis :
Ahmad bin Abdul Halim bin Salam bin Abdillah bin Abi Qosim bin Taimiyah (Ibnu Taimiyah) seorang ulama dan panglima perang yang menyeru umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, berdasarkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Metode berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadis.
Ibnu Taimiyah mewakili pemikiran politik klasik dan pertengahan mengembangkan teori politik kedaulatan syariat, yaitu meletakkan syariat Islam sebagai hukum tertinggi dalam pemerintahan.
Konklusi :
Ahmad bin Abdul Halim bin Salam bin Abdillah bin Abi Qosim bin Taimiyah atau dikenal dengan Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama dan panglima perang yang menyeru umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, berdasarkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan manhaj Salafy. Upaya yang dilakukannya berangkat dari asumsi dasar bahwa kaum Muslimin generasi pertama maju dengan pesat karena mereka berpegang kepada ajaran Islam dan menghormati al-Qur’an. Dalam pemikiran politiknya IbnunTaimiyah mewakili pemikiran politik klasik dan pertengahan mengembangkan teori politik kedaulatan syariat, yaitu meletakkan syariat Islam sebagai hukum tertinggi dalam pemerintaha.
Hariri Ulfa'i Rrosyidah (B91217119)