Nama : M sultan hakim
Nim :
B01217028
Kelas : A2
Mu'tazilah
A Objek Kajian
a.
Formal: Ilmu Kalam
b.
Material: Ilmu Kalam Mu’tazilah dan Konsep
Teologi
B Penyajian Data
Mu’tazilah secara bahasa yaitu i’tazala as sya’ wa ta’ziluhu yang
bermakna memisahkan diri. Dalam al-Qur’an disebutkan surat Ad-Dhukhan ayat 21
yang artinya (jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan bersamaku). Maka
secara bahasa berarti memisahkan diri (al-infishaal wat tanahhii) dan secara
istilah, mu’tazilah berarti nama sebuah kelompok yang mncul pada awal kedua
hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas teologi islam. Pengikut : Washil
bin Atha yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri. (Ahmad, 2017)
Muktazilah muncul di masa Umayyah
dengan pendirinya Washil bin Atha‟. Mu‟tazilah pada fase pertama ini masih
bersifat sederhana yaikni berkisar tentang pelaku dosa besar, akan tetapi pada
masa ini muncul lima ajaran pokok Mu‟tazilah yang harus dipegang oleh
penganutnya. Pada masa ini Mu‟tazilah tidak menunjukkan sikap anti
pemerintahan, sehingga bisa tumbuh secara damai. “Dimasa pemerintahan Bani
Umayyah, kaum Mu‟tazilah dapat hidup tenteram karena tidak menunjukkan sikap
ekstrim terhadap pemerintahan yang berkuasa sehingga aliran ini tetap eksis dan
berkembang”.
Pada masa Umayyah, Filsafat mulai muncul dan semakin menampakkan diri
ketika khalifah Abdul Malik Ibn Marwan menjadikan Alexandria, Antioch dan
Bactra menjadi kota-kota pusat ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian memberi kan
pengaruh yang cukup besar bagi pemikiran umat Islam pada masa itu. Banyak dari
pemuka agama dan para intelektual Islam yang mulai terpengaruh dengan filsafat
yang lebih banyak menggunakan rasio dan akal ini, sehingga mereka mulai
membaurkan antara ajaran Islam dan filsafat Yunani tersebut, begitu pula dengan
aliran Mu‟tazilah yang memang tumbuh pada masa itu pula. (hatta , 2013)
Mu’tazilah memiliki landasan pokok yang mereka pegang erat, disebut
dengan al-Ushul al-Khamsah (lima landasan pokok). Seseorang disebut sebagai,
Mu’tazili (berfaham Mu’tazilah) jika dia beriman terhadap kelima landasan pokok
tersebut. Al-Khiyat{ berkata: “... seseorang tidak berhak menyandang nama ini
(Mu’tazilah) sebelum dia mengakui al-Ushul al-Khamsah: tauhid, keadilan, janji
dan ancaman, keadaan di antara dua keadaan (al-manzilah baina almanzilataini) dan
perintah kepada yang ma’ruf serta mencegah kepada yang munkar.” Jahmiyah dan
Mu’tazilah memiliki kesamaan dalam hal takwil dan menyelisihi qadar, namun Jahm
tidak dapat disebut berpaham Mu’tazilah karena berbeda dalam hal al-Ushul
al-Khamsah. (Zakiyah, 2013)
Dengan semakin bertambah besarnya pengaruh Mu’tazilah masuk ke
istana kekhalifahan al-Ma’mun, yang mencapai titik kulminasinya dengan
diakuinya paham Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara. Dengan mendapat
legitimasi dari negara, para tokoh Mu’tazilah tidak menyia-nyiakan kesempatan
untuk menyebarkan pahamnya kepada orang lain dengan jalan apapun dengan
memperalat penguasa yang sudah memiliki satu ide. Dalam hal ini terutama
tentang ajaran yang berkaitan dengan al-Quran sebagai makhluk. Sebenarnya ide
ini sudah dikemukakan oleh al-Ma’mun pada tahun 212 H,26 ditengah-tengah majlis
perdebatan yang ia sediakan. Akan tetapi belum diproklamirkan secara umum karena
kondisi belum memungkinkan. Adapun
argumentasi Mu’tazilah terhadap al-Quran sebagai makhluk adalah bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu.Sedang al-Quran adalah sesuatu, maka al-Quran adalah
makhluk.Menurut mereka hal ini sangat ditekankan sekali dalam al-Quran. (Safii, 2014)
Corak berfikir Mu’tazilah bahwa manusia bebas berkehendak dan
berperan aktif dalam menentukan perbuatannya. Manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam berfikir dan menentukan jalan hidupnya. Washil bin Atha’ pernah
menyatakan pendiriannya bahwa Tuhan bersifat bijaksana dan adil, Dia tidak
berbuat jahat dan berlaku zalim. Tuhan tidak menghendaki manusia berbuat
hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya, manusia sendirilah yang
sebenarnya mewujudkan perbuatan baik atau perbuatan jahat. Untuk terwujudnya
perbuatan-perbuatan tersebut, Tuhan telah memberikan daya dan kekuatan kepada
manusia. Tuhan tidak menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu
kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat. Mu’tazilah
berpandangan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi
manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, karena Tuhan tidak absolut
dalam kehendak-Nya, dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban
menepati janji, berkewajiban memberi rizki. Dalam hubungannya dengan perbuatan
manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena kebebasan itu telah
diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan kehendaknya. Daya yang
diciptakan Tuhan sudah ada sebelum terciptanya perbuatan, dan daya itu bersifat
efektif. Perbuatan diwujudkan oleh daya yang telah ada, perbuatan itu adalah
kehendak manusia sendiri. Mu’tazilah memandang manusia sebagai pemegang peranan
utama dalam mewujudkan perbuataannya, namun tanggung jawabnya pada diri manusia
itu sendiri.
Mu’tazilah mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam
al-Qur’an, sunnatullah diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia
dijadikan sebagai tolak ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan
penelitian. Menurut Muamar ibn al-Abbad (wafat 220 H/835 M) salah seorang tokoh
sentral mu’atazilah berpendapat bahwa yang diciptakan Tuhan hanyalah
benda-benda materi saja, adapun “al-‘arad”atau “accidents” adalah kreasi
benda-benda materi itu sendiri dalam bentuk “nature” seperti, pembakaran oleh
api dan pemanasan oleh matahari atau dalam bentuk pilihan (ikhtiar) seperti,
antara gerak dan diam, berkumpul atau berpisahnya yang dilakukan binatang. Ini
menggambarkan paham naturalis atau kepercayaan pada hukum alam yang terdapat
dalam paham Mu’tazilah. (Zuhelmi, 2014)
C Premis
1.
Muktazilah muncul di masa Umayyah dengan pendirinya
Washil bin Atha‟. Mu‟tazilah pada fase pertama ini masih bersifat sederhana
yaikni berkisar tentang pelaku dosa besar.
2.
Mu’tazilah
memiliki landasan pokok yang mereka pegang erat, disebut dengan al-Ushul
al-Khamsah (lima landasan pokok). Seseorang disebut sebagai, Mu’tazili
(berfaham Mu’tazilah) jika dia beriman terhadap kelima landasan pokok tersebut.
3.
Corak
berfikir Mu’tazilah bahwa manusia bebas berkehendak dan berperan aktif dalam
menentukan perbuatannya. Manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
berfikir dan menentukan jalan hidupnya.
4.
Mu’tazilah
mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam al-Qur’an, sunnatullah
diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagai tolak
ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian.
D Kongklusi .
Muktazilah muncul
di masa Umayyah dengan pendirinya Washil bin Atha‟. Mu‟tazilah pada fase
pertama ini masih bersifat sederhana yaikni berkisar tentang pelaku dosa besar,
Mu’tazilah memiliki landasan pokok yang mereka pegang erat, disebut
dengan al-Ushul al-Khamsah (lima landasan pokok). Seseorang disebut sebagai,
Mu’tazili (berfaham Mu’tazilah) jika dia beriman terhadap kelima landasan pokok
tersebut. al-Ushul al-Khamsah: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, keadaan di
antara dua keadaan (al-manzilah baina almanzilataini) dan perintah kepada yang
ma’ruf serta mencegah kepada yang munkar.
Mereka juga
mengargumenkan bahwa al-Quran
sebagai makhluk adalah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu.Sedang al-Quran
adalah sesuatu, maka al-Quran adalah makhluk.Menurut mereka hal ini sangat
ditekankan sekali dalam al-Quran. Selain itu corak berfikir Mu’tazilah bahwa
manusia bebas berkehendak dan berperan aktif dalam menentukan perbuatannyaMu’tazilah
mengakui adanya hukum alam atau “sunnatullah”, dalam al-Qur’an, sunnatullah
diartikan sebagai hukum alam yang tidak berobah, ia dijadikan sebagai tolak
ukur oleh ilmuan untuk melakukan penyelidikan dan penelitian.
Daftar Pustaka
Ahmad, J. (2017, Desember 24).
Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar. Pengkajian Islam,
5-6. Retrieved Maret Minggu, 2019, from https://www.researchgate.net/publication/
hatta , m. (2013, januari). aliran
Muktazilah dalam Lintas Sejarah Pemikiran Islam. Ilmu Ushuluddin, 12(1),
89.
Safii. (2014, Juli-Desember).
Teologi Mu"tazilah: Sebuah Upaya Revitalisasi. Teologia, 25(2),
6&9.
Zakiyah, E. (2013). ASPEK PAHAM
MU’TAZILAH DALAM TAFSIR AL-KASHSHAf TENTANG AYAT-AYAT TEOLOGI. Tesis:
Studi Pemikiran Al-Zamakhshary, 41.
Zuhelmi. (2014). Epistemologi
Pemikiran Mu’tazilah dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di
Indonesia. Intizar, 20(1), 4-5.